(Pin, no. 3)
Hembusan angin menerpaku. Lalu semuanya terasa dingin. Wajahku. Sekujur tubuhku. Membuatku menggigil. Sebuah tetesan jatuh di pangkuanku ketika aku menunduk sedikit. Membentuk noda gelap yang melebar pada rok yang kupakai. Dan ada tetesan lagi. Tetesan lagi. Lagi. Lagi...
Pelan kuseka hidungku yang terasa nyeri sekaligus gatal. Lalu di tanganku ada cairan yang sama. Merah. Pekat. Lengket. Anyir.
Darah?
Aku tersentak. Lalu ada yang terasa meleleh dari telingaku. Bau anyir menguar lagi. Kuseka lelehan itu. Dan aku mendapati cairan yang sama.
Darah! Dari hidungku. Dari telingaku. Dari seluruh pori-pori di wajahku. Lalu luka-lukaku yang belum sembuh kembali meneteskan darah.
Aku menengadah pada rembulan. Masih sama. Semerah darah. Semerah tubuhku dengan tetes-tetes pekat yang berdesakan meliar keluar dari tiap lubang dan luka yang ada.
Aku berpaling. Mencari wajah Mbok Minah. Ia tak lagi berteriak. Hanya berdiri tegak di tengah ambang pintu dengan bibir bergerak-gerak. Tanpa suara. Dengan mata menyiratkan ngeri yang sangat
“Sukma... Sukma...”