[caption caption="Fiksiana Community/Nito"]Pin.
No.87
Dear Diary,
Aku ingin mengadu padamu. Tentang perasaan dan getar hatiku. Maukah kau bertelinga dan bergeming? Mendengar tapi membisu? Sudahlah, kuanggap saja kau bersedia.
Ssst... Aku bertemu dengannya, Ry. Di suatu tempat yang kukunjungi seminggu sekali. Ia laki-laki paling menarik yang pernah kulihat. Kehadirannya seolah mendobrak seluruh konsep ideal yang selama ini tertanam di benakku. Dia sungguh-sungguh kebalikan dari Brian.
Bila Brian berkulit bersih dan terang, maka laki-laki itu berkulit bersih, sehat, dan sedikit gelap. Bila wajah Brian begitu tampan, maka laki-laki itu terlihat biasa-biasa saja. Bila ada six pack tercetak nyata di perut Brian, maka laki-laki itu punya bentuk dad-bod yang sempurna. Bila Brian terlihat awet muda, maka aku melihat ada sedikit kerut di sudut-sudut luar mata laki-laki itu. Bila secara keseluruhan Brian terlihat sempurna, maka laki-laki itu sempurna dalam ketidaksempurnaannya.
Semua yang ada dalam dirinya mampu membuat hatiku jungkir-balik. Aku menyukai senyumnya. Aku menggilai tawanya. Aku merindukan kematangannya. Aku mendamba tenggelam dalam pelukannya. Sepertinya dada dan perutnya hangat dan empuk. Tak seperti milik Brian yang selalu membuatku seolah merasa terhempas ke sepotong papan apabila dia memelukku kencang.
Aku berlebihankah, Ry? Mungkin. Tapi bukankah orang yang sedang jatuh cinta itu cenderung suka berlebihan?
Hm... Aku menemukan sehelai rambut keperakan di balik uraian rambutku beberapa minggu yang lalu. Aku panik! Aku merasa terbanting. Merasa tua. Merasa tak lagi pantas menegakkan kepala di samping Brian.
Hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi salon dan mengubah keseluruhan warna rambutku menjadi burgundy. Aku berharap bila aku bertemu dengan laki-laki itu, dia mau sedikit saja melirik padaku. Tapi ternyata bukan laki-laki itu yang melirikku, melainkan Brian yang lebih ketat menempelku.
Lalu aku berusaha mengubah penampilanku melalui gaun-gaum yang lebih berwarna. Alih-alih laki-laki itu melihatku lebih lama, justru Brian yang nyaris tak pernah melepaskan tatapan matanya dariku.