Negeri ini adalah negeri penghasil tembakau, dimana tembakau adalah bahan dasar untuk membuat rokok. Rokok sendiri mulai di kenal sudah cukup lama, sejak abad 19 sudah banyak kebiasaan merokok di masyarakat. Sejak zaman Kolonial Belanda mendominasi perdagangan di negeri ini, orang merokok sudah bisa kita temui dimana-mana, baik dari kalangan rakyat jelata hingga ke pejabat.
Dulunya rokok hanya berbentuk dari rajangan tembakau yang dibungkus dengan daun jagung (kelobot), lebih dari 100 tahun lalu. Adalah Nitisemito warga Kudus yang memulai industri rokok di negeri ini karena dia adalah orang pertama yang memberi merek dagang pada produknya, yaitu dengan nama Kodok Nguntal Ulo (Katak Makan Ular), di bawah perusahaan Tjap Bal Tiga H.M Nitisemito.Â
Rokok ini laris karena mereknya jadi bahan tertawaan, secara tidak langsung ini adalah sebuah promosi gratis.
Entah disengaja atau tidak, apa yang dilakukan Nitisemito adalah strategi promosi yang cerdas. Tanpa merek, sebuah produk akan sulit dikenal.
Geliat Nitisemito di industri rokok bisa dibilang satu perjuangan dengan British American Tobacco yang berdiri tahun 1902 di Inggris, hanya selisih beberapa tahun saja.
Berjalannya waktu, dari negara jajahan akhirnya Indonesia menjadi negara yang merdeka. Industri rokok pun tetap berjalan karena permintaan pasar selalu ada. Ratusan merek rokok baru mulai bermunculan di era kemerdekaan, terutama di sekitar Kudus, Jawa Tengah.
Merokok adalah sebuah gaya hidup yang bisa kita temui di mana saja. Dengan mudahnya kita bisa melihat orang merokok di mana saja di negeri ini.
Ini tidak lepas dari begitu mudahnya kita bisa mendapatkan rokok. Mulai dari warung kecil sampai di supermarket. Kemudahan penjualan rokok ini karena industri rokok termasuk industri yang memasukkan pajak cukup besar untuk memenuhi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara).
Bila kita lihat sekilas, pada tahun 2007 pemerintah menerima 43,54 triliun dari cukai tembakau, maka pada 2016 cuka tembakau mampu memberikan pemasukan sebesar 137,94 triliun kepada pemerintah.
Ini adalah sebuah nilai fantastis. Bila dibandingkan, jumlah pemasukan dari cukai tembakau ini bisa untuk mengcover seluruh biaya BPJS Kesehatan di Indonesia selama beberapa tahun.
Ironisnya, Menteri Kesehatan dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, pada saat membuka kegiatan Indonesia Conference on Tobacco or Health (ICTOH) pada 30 Mei 2014, beban pemerintah akibat rokok dan tembakau lebih tinggi ketimbang besaran kontribusi cukai tembakau terhadap penerimaan negara. Kerugian ekonomi secara makro akibat penggunaan tembakau dinilai Kemenkes menunjukkan tren meningkat.