Mohon tunggu...
Ayu Wilujeng
Ayu Wilujeng Mohon Tunggu... wiraswasta -

Semua orang berhak punya mimpi. @Lujeng_Ayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalau Cinta, Katakan! (Bagian 10)

24 November 2013   23:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:43 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bab X

Humairah mengikuti kemanapun kaki Wira melangkah. Dengan sabar May berbaur bersama kesibukan Wira. Semua mata memandang kedua sejoli ini. Ada pandangan sinis yang menyertai mereka berdua. Tapi ada juga dukungan dari teman-teman yang lain. May tidak memperhatikan itu, yang dia tahu hanyalah bagaimana mensejajarkan langkah kakinya dengan langkah kaki Wira yang panjang-panjang itu. May lelah, tapi dia gembira.

Di kejauhan ada dua pasang sorot mata tajam yang memperhatikan Wira dan May. Sepasang mata itu adalah milih Doni dan Kiki. Mereka berdua merasakan kekecewaan yang teramat dalam. Doni hanya mampu menghela nafas panjang. Bukan berarti dia kalah, namun dia sedang menenangkan hatinya yang bergolak panas. Di balik semua cemburunya itu, tersimpan tekad kuat untuk membuktikan kepada May bahwa dialah yang pantas mendampinginya.

Berbeda dengan Doni yang ingin membuktikan rasa sayangnya tanpa menyakiti siapapun, Kiki marah melihat orang yang dicintainya berpaling sangat cepat ke arah siswi baru. Bukan hanya cemburu yang menguasainya, tapi juga amarah dan dendam. Kiki tahu apa yang harus dilakukannya. Siswi baru itu perlu mendapat ketegasan yang lebih tegas dari sebelumnya.

“Lho, Don itu bukannya yang kamu bonceng tadi?” tanya Wawan, salah satu yang bertugas menjaga keamanan di gerbang sekolah.

Doni hanya mengangguk mendengar pertanyaan dari temannya itu.

“Kok malah sama Wira? Ceweknya Wira tho Don?” tanya Wawan lagi.

“Calonku itu! Enaknya aja ceweknya Wira. Huuuuuuuuhh!” sahut Doni.

“Hahaha. Kayaknya aku tahu ini ceritanya gimana. Hahaha. Maju terus Don, jangan mau kalah.” Kata Wawan menyemangati. “Tapi ya jangan mikir pacaran terus, tuh kerjaan banyak tuh!”

Doni yang mendengar kata-kata penghiburan dari Wawan malah senyum-seyum saja. Dia jadi tersadar dari lamunanya. Masih banyak yang harus dia selesaikan malam ini. Tugas hari ini masih menumpuk, semua masih membutuhkannya. Sementara, urusan May harus dia tinggalkan dulu.

***

“Maaf ya May, kamu jadi ngikutin aku ngecek pos kayak gini. Kamu pasti capek, dingin juga udaranya.” Kata Wira sambil terus berjalan menuju pos selanjutnya.

“Nggak apa-apa. Aku bawa jaket kok.” May segera mengeluarkan jaketnya. “Lagian aku seneng lihat kamu perhatian sama anak-anak. Dari pada aku diem sendiri nggak jelas kan mending lihat kegiatan kamu.”

Wira berhenti berjalan. Diarahkan tatapan kedua matanya ke arah May berdiri. Ada keriangan di wajahnya saat mengetahui ada seseorang yang begitu sabar menemaninya.

Humairah tersipu malu, saat kedua mata tajam milik Wira itu terus menatapnya. May melihat jelas ada raut kegembiraan tergambar di wajah tampan teman sebangkunya itu. Apakah sebentar lagi dia akan mendengar pertanyaan yang dia tunggu-tunggu? Saat ini keadaan sekelilingnya sepi, hanya ada dirinya dan Wira yang sedang saling menatap. May sudah tidak sabar menanti kalimat selanjutnya dari Wira.

“May, sejak kenal sama kamu kata temen-temen aku berubah.” May bingung. “Aku yang dulu cuek, dingin, ketus, sekarang jadi bisa senyum.” Kata Wira sambil tersenyum malu. “Aku bisa lebih ramah sama orang lain. Aku tahu, perubahan ini karena aku dekat sama kamu.”

May sadar, Wira sedang memujinya. Wira menyukainya. Itu sudah jelas terbukti dari semua yang dia katakan. May sudah tidak sabar menunggu kata-kata Wira selanjutnya. May sudah sangat menunggu kalimat cinta itu menyapanya.

“Makasih ya May.” Kata Wira sambil menggandeng tangan May. “Kita lanjutkan ke pos berikutnya. Setelah itu aku antar kamu ke UKS. Nanti setelah tengah malam, kamu bisa ikut aku lagi buat ikut melihat kegiatan anak-anak PMR dan Pecinta Alam di luar lingkungan sekolah.”

Hanya itu. Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Wira. May bahkan tak menyadari bahwa tangan Wira masih mengenggam tangannya, menuntunnya menuju pos ekstra kulikuler berikutnya.

Sepertinya malam ini bukan malam yang dia nantikan. Pernyataan cinta itu belum juga bisa dia dengarkan. Atau apakah memang masih membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk memiliki cinta itu? Entahlah. Karena yang May tahu, dia sudah jatuh cinta kepada Wira. Berharap cowok itu juga memiliki perasaan yang sama.

Wira segera melanjutkan kewajibannya, mengontrol dan mencatat setiap pos yangdibuat ekskul Drumband dan Paskibraka di dalam lingkungan sekolah. Malam ini ada dua ekskul yang melakukan pelantikan anggota baru. Dua ekskul melakukan segala tes pengetahuan dan uji disipin di dalam sekolah, dua ekskul lainnya melakukannya di luar lingkungan sekolah. Malam ini giliran pos-pos yang berada di dalam sekolah yang dia pantau, sedangkan pos-pos di luar sekolah akan dia pantau nanti selewat tengah malam.

Setelah semua pos sudah dia ketahui letak dan keamanannya, Wira mengantarkan May ke ruang UKS. May bukan panitia, bukan juga peserta. May adalah tamu istimewanya. Maka dengan istimewa, May diberikan tempat istirahat paling layak, yaitu UKS.

Di ruang UKS nampak beberapa siswa sedang duduk dan berbincang-bincang. May tahu mereka, namun dia belum pernah mengenalnya.

“Fin, nitip May di sini ya.” Kata Wira sesampainya di ruang UKS. “Dia temen sekelasku, tamu istimewah nih.” Lanjut Wira sambil tersenyum lebar. “Kamu jaga sama siapa?”

“Sama Keke.” Jawan Fina singkat.

“Keke mana? Lha kamu ngapain Nif disini?” tanya Wira lagi.

“Keke lagi shalat.” Jawab Fina.

“Yo aku tiduran aja, nanti nyusul yang lain belakangan. Ngantuk aku.” Jawab Hanif sambil naik ke salah satu tempat tidur periksa di UKS.

“Oh. Ya udah, aku mau ke ruang OSIS dulu. Nitip May di sini ya.” Kata Wira kepada Fina. “May, kamu di sini aja. Kamu bisa istirahat sebentar, nanti malam kita lanjut lagi. Kalau mau minum, itu ada tinggal ambil aja.”

May patuh, dia hanya mengangguk kecil mendengar kalimat demi kalimat meluncur dari bibir cowok yang dia harapkan. Ada kekecewaan tersembunyi yang hanya May rasakan sendiri. Dia merasa, sekali lagi, kesepian. Dia fikir dengan kedatangan Wira, kesepian itu hilang sudah. Namun ternyata, kehadiran Wira hanya sementara. Lagi-lagi Wira harus meninggalkannya.

Sepeninggal Wira, May memilih duduk di kursi kosong di sebelah Fina. Gadis yang baru diketahui namanya itu diam saja sambil sibuk bermain laptop. Humairah bingung, bagaimana caranya membunuh sepi ini?

May tidak tahu harus berbuat apa, sampai akhirnya seorang gadis lain masuk ke dalam ruangan.

“Lho, sakit dek?” sapa Keke sambil bergegas menuju May.

May yang mendapat pertanyaan tiba-tiba itu tentu saja bingung. Dia di sapa dengan sebutan ‘dek’, lalu ditanya apakah sedang sakit. May berfikir, mungkin gadis ini salah orang.

“Ini May, temen sekelasnya Wira. Bukan siswi kelas X.” Sahut Fina tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. “Wira bilang, sementara May biar di sini sama kita.”

“Owalah aku fikir anak kelas X. Hehehe.” Kata Keke tersenyum renyah. “Aku Keke. Kamu siapa namanya?”

“Humairah, tapi panggil saja May.” Jawab May sambil mengulurkan tangan. “Aku nggak ikut pelantikan, cuma pengen tahu aja seperti apa kegiatannya.”

“Oh, sebentar-sebentar. Kamu ini yang anak baru beberapa bulan yang lalu itu ya? Aku denger tuh ada anak baru, tapi di kelas IPS. Itu kamu ya?” tanya Keke ramah.

“Iya. Aku sama adekku pindah ke sekolah ini. Adekku di kelas X.6 tapi nggak ikut pelantikan juga.” Jawab May mulai merasa nyaman.

“Ya udah kamu di sini aja. Nanti bantuin aku juga ya. Hehehe.” Kata Keke lagi.

“Bantu apa?”

“Bantu ngurusin adek-adek yang sakit.” Jawab Keke. “Kalau pelantikan kayak gini suka banyak yang sakit. Tapi biasanya menjelang tengah malam sih. Soalnya kegiatan malam itu lumayan berat. Kalau sekarang sih masih materi-materi aja sama guru-guru pembimbing.”

“Oh iya, Insya Allah.” Jawab May singkat.

“Kamu pendiam ya May? Beda sama aku yang cerewet. Hehehe.” Lanjut Keke. “Kamu deket ya sama Wira? Hayo, jangan-jangan ada apa-apa nih sama Wira?”

“Eh, apa-apa gimana? Aku sama Wira temen sekelas aja kok.” Jawab May gugup.

“Ah masak sih? Kok Wira sampai bela-belain anter kamu ke sini? Itu udah pasti ada apa-apa. Lha wong kalau sama Kiki aja beda banget. Cueeeeeeekk banget! Ya kan Fin?”

“Nggak tahu deh.” Jawab Fina ketus.

“Ih Fina, ditanya kok gitu banget.”

“Emang kalau sama Kiki gimana?” tanya Maypenasaran.

“Hihihi. Penasaran kan?” May hanya tersenyum menanggapi kata-kata Keke. “Kiki itu udah suka sama Wira sejak kelas X dulu, tapi sampai sekarang sikap Wira masih sama, cuek banget. Tapi Kiki juga nggak pernah putus asa, dia tetep bersemangat buat ngedapetin Wira. Pasti sekarang-sekarang ini si Kiki lagi sebel deh.”

“Kenapa?”

“Ya karena Wira malah deket sama kamu May. Hehehe. “Kamu cantik sih, pantes aja Wira suka.”

“Ehm... Keke, aku pengen nanya. Kamu kok kayaknya santai banget ngomongin Kiki?” tanya May.

“Hahaha. Ya emang seharusnya gitu kan?”

“Eh tapi kan, kamu lagi ngomongin orang lho. Kok....”

“Keke itu temen sebangkunya Kiki di kelas. Keke juga temennya Kiki sejak TK, SD, SMP dulu. Dia udah kebal sama jutek-juteknya si Kiki. Makanya Keke enteng aja ngomongin Kiki.” Sela Fina.

“Aku kan nggak ngomongin yang jelek-jelek tentang Kiki, aku ngomong yang sebenernya.” Jawab Keke sambil nyengir.

“Wah, awetya kalian berdua. Kok bisa ya dari kecil sekolahnya samaan terus?” sahut May keheranan.

“Hehehe. Jangan heran gitu dong May. Aku kan jadi malu. Emang kamu nggak menyadari sesuatu ya May?” tanya Keke.

“Hah? Menyadari? Maksudnya menyadari apa?”

“Coba kamu perhatiin mukanya si Keke deh.” Kata Fina.

May mengerutkan kening tanda sedang berfikir dan mengamati. Dipandanginya wajah Keke yang ada di depannya. Semakin dekat dan tambah dekat. Tapi apa yang dimaksud oleh Keke dan Fina belum juga dia ketahui. Wajah Keke cantik, alis mata hitam dan lebat, rambut hitam legam panjang dibiarkan terurai menjadi mahkotanya. Dagunya lancip dan ada satu lesung pipit yang mempermanis wajahnya. Pipi Keke agak tembem, membuat wajah teman barunya itu terlihat lucu.

“Ehm, kenapa sama muka Keke? Tembem?”

“Hahaha.” Fina spontan tertawa.

“Ih Mairah kok ikut-ikutan orang lain sih. Pake bilang aku tembem segala.” Keke merajuk. “Jangan diperhatikan pipiku dong May, tapi perhatikan wajahku ini lho mirip siapa.”

“Hahaha. Aku bilang apa, kamu tuh tembem!” sahut Fina, masih tertawa.

“Wis tho Fin. Kamu lak seneng banget tho ngetawain aku.”

“Mirip siapa ya? Mirip siapa memangnya?”

“Aduh, Mairah ini matanya kurang awas. Aku ini saudara kembarnya Kiki. Jadi gimana, sudah melihat kemiripanku ndak sama si Kiki?” kata Keke sambil tersenyum senang.

May kaget ketika menyadari wajah Keke memang sangat mirip dengan Kiki. Hanya saja warna rambut Keke lebih gelap dari pada rambut Kiki yang pirang. Keke juga punya lesung pipit, tapi Kiki tidak. Keke memiliki wajah yang agak bulat, mungkin efek pipi tembemnya makanya wajah Keke lebih terlihat lucu dan menyenangkan. Kalau Kiki wajahnya tirus, didukung dagu yang lancip dan alis lebatnya semakin menonjolkan sisi jutek dalam dirinya.

“Oh! Iya, kamu mirip Ke sama Kiki. Bedanya rambut dan pipi kamu aja. Sama lesung pipit kamu Ke. Terus... sedikit perbedaan di sikapnya juga.” Kata May malu-malu”

“Hahaha. Kamu jangan takut-takut gitu. Santai.”

“Jadi alasan kamu bisa dengan santainya mengomentari Kiki adalah karena kamu....”

“Karena aku saudara kembarnya Kiki, aku bebas mau ngomongin dia apa aja. Hehehe. Kiki itu baik kok, cuma agak jutek aja sedikit.” Kata Keke sambil nyengir.

“Maaf ya Ke.” Kata May.

“Maaf? Kok maaf May?” tanya Keke bingung.

“Masalah aku dekat sama Wira.”

“Oh. Ya aku sebagai saudara Kiki pengen dia mendapatkan apa yang dia mau. Tapi bukan berarti aku harus musuhin kamu kan May? Dan memaksa Wira buat suka juga sama Kiki.” Kata Keke menjelaskan. “Namanya perasaan ya biarkan saja mengalir. Lagian kita-kita ini kan masih kelas dua SMA, masih jauh kalau ngomongin jodoh.”

“Iya sih.” Jawab May pelan.

“Cuma ya kamu siap-siapa aja May kalau-kalau si Kiki makin jutek sama kamu.” Sahut Fina, masih sibuk dengan laptopnya.

“Udah May, santai aja.” Kata Keke lagi. “Kamu pindahan dari Jakarta ya? Gimana sih suasana Jakarta May?”

May tersenyum mendengar pertanyaan Keke.

“Jakarta itu panas, macet, bising.” Jawab Humairah sambil membayangkan kota kelahirannya. “Tapi aku sayang Jakarta, aku kangen Jakarta.” May menghela nafas dan melanjutkan kalimatnya. “Semacet apapun Jakarta, di sana aku dilahirkan. Sepanas apapun udara di Jakarta, di sanalah pertama kali aku bernafas. Dan sebising apapun Jakarta, suara-suara itu tetap bisa membuatku tidur lelap selama ini.”

“Wih, kamu pinter banget bikin kata-kata. Kamu harus gabung sama anak-anak mading May.” Kata Keke.

“Mading?”

“Iya, biar kata-kata kamu yang puitis tadi bisa ditempel di mading terus dibaca banyak orang.” Kata Keke semangat.

May tersenyum mendengar ocehan Keke. Dia senang, setidaknya ada satu lagi teman yang ramah kepadanya. Dalam hati May berharap, semoga dengan adanya Keke malam ini tetap akan menyenangkan.

“Ke, seandainya Wira nanti nggak ke sini nyamperin aku...”

“Kamu bisa tetap di sini sama aku May. Tapi maaf sebelumnya, karena nanti kamu nggak bisa tidur nyenyak lho kalau di sini.” Kata Keke mengingatkan.

“Makasih ya Ke.”

Empat makhluk dalam UKS itu akhirnya sibuk dengan urusannya masing-masing. Fina masih dengan laptopnya, Keke sibuk dengan HP, Hanif masih sibuk dengan mimpi indahnya dan Humairah dipersilahkan menyibukkan dirinya dengan buku bacaannya.

“May, tiduran aja kalau capek.” Kata Fina.

“Iya, Fin makasih.”

Malam semakin larut. Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Biasanya jika di rumah, jam segini Humairah sudah lelap memeluk guling. Namun malam ini berbeda karena May sedang berada di tengah-tengah kegiatan di sekolah barunya.

May merasa kesepian. Sebuah novel yang sengaja dia bawa dari rumah tak cukup menghibur kesendiriannya. Di luar masih terdengar suara gaduh para peserta dan panitia. May ingin bergabung dan menyaksikan apa yang sedang berlangsung, namun May ragu untuk melangkahkan kakinya keluar ruangan.

“Ngelamun mbak?” Sapa Hanif yang akhirnya tersadar dari tidur lelapnya.

“Eh? Oh, sudah bangun?”

“Hehehe. Menghina nih?”

“Lho, kok menghina? Kan aku cuma nanya aja.”

“Hehehe. Iya iya mbak.” Hanif beranjak dari tempat berbaringnya lalu melongok keluar ruangan. “Ehm, masih renungan kayaknya.”

Fina sudah meletakkan kepalanya di meja, sepertinya dia sedang menuju lelap. Keke sendiri sudah rebahan di salah satu kamar pasien walau matanya masih terjaga.

“Nggak ada yang mau keluar nih?”

“Kalau keluar, siapa yang jaga UKS Nif?” tanya Keke.

“Mbak’e ndak kepengen lihat tho? Biar tahu pelantikan itu seperti apa.” Hanif memberikan tawaran bagus kepada May.

“Hmmm... gimana ya. Aku di sini aja, nemenin Keke.” Jawab May setengah hati.

“Halah May, kamu kalau pengen jalan-jalan ya nggak apa-apa lho. Aku kan nggak nyuruh kamu terus-terusan di sini nemenin aku.” Sahut Keke.

“Tuh, ayo mbak.” Ajak Hanif.

“Hmmmm....”

“Udah sana May. Kapan lagi kamu bisa ngelihat pelantikan kayak gini.” Kata Keke sambil melempar senyum.

Jadilah malam ini May bisa menikmati indahnya malam. Melihat langsung kerlip bintang di langit sekolahnya. Udara malam ini dingin, namun May tak menghiraukan dingin itu. Di hati dan pikirannya hanya ada Wira. Selalu Wira yang memenuhi dirinya.

Dengan Hanif di sampingnya, May menuju lapangan tengah. Lapangan yang biasa digunakan untuk bermain voli maupun sepak bola anak-anak Pahlawan. Di sana, kata Hanif, sedang berlangsung sebuah kegiatan bernama renungan malam.

bersambung......

( @Lujeng_Ayu )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun