Mohon tunggu...
Ayu Wilujeng
Ayu Wilujeng Mohon Tunggu... wiraswasta -

Semua orang berhak punya mimpi. @Lujeng_Ayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalau Cinta, Katakan! (Bagian 4)

27 September 2013   13:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:19 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IV

“Pa aku sekelas lho sama Rena.” Ujar Iqbal ketika mereka sekeluarga berkumpul malam itu.

“Bagus deh, jangan lupa belajar yang rajin. Biar nggak malu sama Rena.” Kata papa coba menasehati.

“Malu-maluin lah kalau sampai nilai kamu jeblok dek.” Sahut Humairah.

“Oh tidak. Pasti nilaiku bagus terus dong.” Kata Iqbal meyakinkan keluarganya. “Eh kak, kamu sekelas sama siapa?”

“Sama orang.” Jawab Humairah lantas meninggalkan keluarganya menuju tempat tidur.

“Yeeeeeee.....” Iqbal pun ditertawakan kedua orang tuanya.

Di kamar, May sedang bengong menatap jendela. Pemandangan di luar tampak gelap, hanya terlihat beberapa bintang yang sedang memancarkan cahayanya. Di tempat neneknya, bintang masih terlihat walaupun sedikit. Berbeda dengan di Jakarta, jarang sekali dia bisa menikmati indahnya bintang di langit.

“Hmmm... Apa kabar Jakarta?” tanya May kepada dirinya sendiri.

Humairah melamunkan kota kelahirannya. Baru dua hari meninggalkan Jakarta, rindu yang dia simpan seakan-akan sudah siap meledak. Hari pertama di sekolah lumayan, teman-temannya cukup baik walaupun belum semua dia kenal. Sejauh ini May yakin semua akan baik-baik saja.

“Hufft!” May menghela nafas panjang.

“Kak, kangen Jakarta ya?” tiba-tiba Iqbal sudah muncul di ambang pintu. “Udah kak, Surabaya juga asyik kok. Coba kakak nikmati aja dulu, jangan terlalu memikirkan Jakarta.” Kata Iqbal.

“Apa sih dek?” keluh Humairah. Tanpa menanggapi keluhan kakaknya, Iqbal segera meninggalkan kakaknya sendirian.

May coba mengikuti jalan pikiran Iqbal. Dia tahu, tidak ada gunanya mengingat-ingat suatu masa yang sudah berlalu dari kehidupannya. Sekarang saatnya untuk memulai yang baru lebih baik dari yang terdahulu. May berjanji akan lebih menikmati hidup barunya, mencintai Surabaya dan bersenang-senang dengan semua teman barunya.

***

“Selamat pagi May.” Sapa Doni yang baru datang.

“Pagi.” Jawab May singkat sambil tersenyum.

“Wah kamu barusan senyum ya May? Wah aku mimpi apa ya semalam?” Dengan hebohnya Donimemuji senyuman Humairah.

“Hei apaan sih Don kamu itu.” Tegur May yang risih mendapat pujian nggak jelas dari teman barunya.

“Eh kamu itu nyadar apa ndak tho May? Kan dari kemarin kamu itu jarang senyum. Muka kamu itu tegang seharian.” Humairah diam saja mendengar Doni mengomentarinya.

“Pagi.” Wira datang.

“Pagi.” Jawab May singkat.

Hari kedua May masuk sekolah di SMA Pahlawan, semua berjalan lancar sesuai harapannya. Malahan May sudah mendapatkan tanda-tanda bahwa ada satu cowok yang mengaguminya. Tapi May belum mau meyakini itu, terlalu dini untuk menyatakan bahwa Doni adalah pengagumnya.

Jika Doni memberikan isyarat bahwa dia mengagumi Humairah, makaWira sangat berbeda sikapnya dari Doni. Wira, seperti yang selama ini dikatakan teman-temannya, tetap menjadi cowok cool dan cuek di sekolah. Ketika duduk bersama May di kelas, Wira lebih banyak diam atau sibuk sendiri dari pada berbincang dengan May. Harusnya May bersyukur, dengan begitu dia akan tetap bisa berkonsentrasi memperhatikan penjelasan guru. Tapi May malah mengaharapkan sikap Wira sama seperti Doni.

“Ra, mau ke ruang OSIS ya?” tanya May saat bel istirahat berbunyi.

“Iya.” Jawab Wira sambil tersenyum.

“Hmmm....” May terlihat canggung.

“Ada apa?” tanya Wira akhirnya.

“Nggak ada apa-apa sih.” Jawab May ragu. “Jadi tiap istirahat kamu nongkrongnya di ruang OSIS?”

“Nggak juga sih, biasanya kalau di sekretariat nggak ada yang harus aku lakukan ya aku ke kantin.” Jawab Wira sambil bersiap meninggalkan kelas. “Mau ikut?” ajak Wira tiba-tiba.

“Heh? Apa? Eh.. ikut kemana ya?” tanya May bingung.

“Ya ikut ke ruang OSIS. Mau?”

“Mau.” Jawab May akhirnya.

Humairah pun akhirnya mengikuti langkah kaki Wira meninggalkan kelas. Di belakang Wira, diam-diam May tersenyum senang. Rupanya sudah ada yang membuat hati May betah di kota Surabaya ini.

“Kalian mau kemana?”tanya Doni yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ada sebuah bola basket di tangannya.

Wajah Doni berbeda dengan wajah yang selama ini dilihat May. Doni terlihat serius, tidak ada mata yang berbinar-binar di wajah itu. May dan Wiradiam saja mendapat pertanyaan Doni.

“Mau kemana?” tanya Doni sekali lagi.

“Kenapa?” tanya Wira.

“Cuma mau tahu, kalian berdua mau kemana?”

“Aku mau ikut Wira ke ruang OSIS.” Jawab May akhirnya. “Kenapa Don?”

“Ada urusan di sana May?” tanya Doni lagi.

“Apa hanya pengurus OSIS saja yang boleh ke sana?” tanya May lagi.

“Siapapun boleh kok ke ruang OSIS.” Jawab Wirasambil menatap lekat-lekat ke arah mata Doni. “Kita ke sana dulu ya Don.”

Dan Doni tak lagi menghalangi kedua temannya meninggalkan kelas. May terus mengikuti Wira, dia segan untuk menoleh kepada Doni. Ada yang aneh dengan sikap Doni, dan itu terlihat jelas dari sikapnya.

“Sepertinya Doni suka sama kamu May.” Kata Wira sambil tersenyum.

“Hah? Apa?” May kaget mendengar pernyataan Wira. “Kok bisa?”

“Ya bisa May, lha kamu cewek dan Doni cowok.” Jawab Wira. Lagi-lagi dengan tersenyum.

“Bukan itu maksudnya. Kamu bisa bilang dia suka aku itu karena apa? Dia bilang sama kamu?”

“Hehehe. Memang kamu nggak ngerasain ya kalau Doni suka sama kamu?” May diam, memikirkan perkataan Wira. “Sejak awal kamu datang, Doni sudah memperlihatkan ketertarikkannya sama kamu.”

May diam saja. May bingung harus menjawab apa. Dia memang merasakan jika sikap Doni terhadap dirinya berbeda dengan sikap teman-temannya yang lain. Tapi bukankah baru dua hari mereka bertemu. Apakah perasaan suka itu bisa tumbuh begitu cepat?

Sesampainya di ruang OSIS, Wira mempersilahkan May masuk. Di sana ada beberapa siswa yang sedang berkumpul. Ada yang sedang menggunting kertas untuk ditempel ke mading, ada yang sedang iseng bermain gitar, ada yang sibuk mencatat ini dan itu. Suasana ruangan OSIS sungguh riuh.

“Sapa bos?” tanya Dina.

“Oh murid baru ya?” tanya Dwi.

“Ihiiiiirr.”Goda Arya, cowok yang sedang bermain gitar. “Tumben bawa-bawa cewek. Ada sesuatu nih.”

“Halah apa tho kamu itu Ar. Ini namanya May, Humairah. Nah dia pindahan dari Jakarta kemarin, sekelas sama aku.” Wira mewakili May untuk memperkenalkan diri.

“Lho, di kelasku juga ada tuh anak baru mas. Wah kita sama-sama punya temen baru mas semester ini.” Kata Nia, siswi yang sibuk menggunting.

“Oh di kelasmu juga ada murid baru?” tanya Wira.

“Kamu kelas berapa?” tanya Humairah.

“Aku kelas satu mbak, kelasku di X.6. Ndak sekalian pengen tahu namaku mbak? Hehehe.” Jawab Nia.

“Nama kamu siapa? Hmmm... temen baru kamu itu namanya Iqbal ya?” tebak Humairah.

“Wah kok mbak May tahu tho?” May hanya tersenyum saja menanggapi keheranan adik kelasnya itu. “Oh iyo, namaku Nia mbak. Sampeyan kok tahu tho nama temen baruku itu Iqbal?”

“Ya tahu, kan Iqbal itu adikku.” Jawab May sambil mempersembahkan senyum cantiknya.

“Owalaaaaah.” Serempak semua yang ada di ruang OSIS berucap.

“Hehehe. Kalian kompak sekali.” May tertawa geli melihat teman-teman barunya. “Dan pasti di X.6 ada yang namanya Rena.” Tebak May sekali lagi.

“Kamu sok tahu banget May.” Ledek Wira.

“Ooooohh aku tahu!” teriak Nia. “Kalau mbak May ini mbak’eIqbal, berarti mbak May ini sepupuan tho sama Rena?” Nia bangga bisa menjawab.

“Yap, betul sekali.” Hari ini menyenangkan buat Humairah.

***

“May, kamu di sinitinggal dimana tho?” tanya Wira saat keduanya duduk di kantin om Choy.

“Tinggal di deket laut.” Jawab May sekenanya.

“Hah? Deket laut?” Wira bingung dengan jawaban May. “Di Kenjeran maksud kamu? Dimananya?”

“Bukan di Kenjeran.Tapi di deket Kenjeran.” Jawab May mengoreksi.

“Ya maksudkamu dengan ‘di deket Kenjeran’ itu dimana?”

“Hmmm... Jalan apa ya, agak susah nama jalannya.” May berfikir keras untuk mengingat alamat rumah barunya. “Pokoknya ada asem-asemnya Ra.”

“Hah?” Wira pun semakin bingung. “Karang Asem bukan?”

“Nah iya betul!” seru Humairah. “Kamu tahu jalan Karang Asem Ra?”

“Tahu dong. Kan anak-anak Pahlawan juga sering maen-maen ke laut, ya pasti lewat Karang Asem.” Jawab Wira sambil memakan baksonya. “Kamu beli rumah di sana?”

“Oh enggak, itu rumah nenekku.” Jawab Humairah. “Eh di sini kantinnya kok yang beli rata-rata cewek sih?” tanya May yang tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.

“Iya ini kan kantinnya om Choy.”

“Lha terus? Om Choy nggak suka gitu sama pembeli cowok?” tanya May penasaran.

“Hehehe. Nggak gitu. Jadi entah sejak kapan bermulanya, pokoknya kantin yang ini jadi kantin cewek. Padahal sih aslinya kantin umum.” Kata Wira mulai menjelaskan. “Lha kantin sebelah berubah jadi kantin cowok. Padahalsih nggak ada peraturan yang menyatakan kalau kantin om Choy adalah kantin cewek dan kantin pak Tri adalah kantin cowok.” Kata Wira sambil memandang kantin pak Tri.

“Lho, terus ngapain kamu di sini? Kan ini kantin cewek.” May histeris memperingatkan posisi Wira saat itu.

“Hahaha. Hei, kamu itu lho kok jadi histeris. Kan aku tadi bilang, semua kantin di sini tuh kantin umum. Nggak ada perbedaan jenis kelamin May. Suka-suka aku mau jajan di sini. Kamu juga boleh jajan di sebelah kok. Hehehe.”

“Oh, hehehe. Terus di Pahlawan ada berapa sih kantinnya? Katanya di belakang ruang kepsek juga ada kantin ya?” tanya May.

“Iya. Kantinnya bu Nita. Tapi yang datang ke sana biasanya para guru sama siswi yang uang jajannya banyak. Hehehe.” Kata Wira sambil tertawa.

“Oh harga jajan di sana mahal ya?” tebak May.

“Sebenernya bukan harganya yang mahal, tapi menunya aja yang istimewa.” Kata Wira mulai bercerita lagi. “Jadi di sana itu menunya ada rawon, soto, kare ayam juga ada. Masih banyak sih macem-macemnya. Terus kantinnya lebih bersih aja, ya karena deket ruang guru mungkin ya.”

“Jadi ada tiga ya semuanya.” Kata May menyimpulkan.

“Ada empat. Satu lagi di dekat kelas X.6. Nah di sanalah kantin yang paling heboh. Karena siswa cowok dan cewek jajan bareng-bareng.” Kata Wira mengkoreksi. “Namanya bu Sum, orangnya bawel tapi baik banget. Udah kayak ibunya anak-anak gitu deh. Banyak tuh yang jajan di sana, rame, heboh. Yang nggak mau keribetan pas lagi jajan di sana ya mending jajan di siniaja.”

Humairah hanya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Wira. Jadi di SMA Pahlawan ini ada empat kantin yang siap melayani para siswa saat jam istirahat. Banyak juga kantinnya dan May baru sempat menginjakkan kakinya di satu kantin. Iseng-iseng dia pengen juga nyobain satu per satu kantin yang ada di sini.

Waktu menunjukkan pukul setengah dua siang, beberapa menit lagi bel pulang berbunyi tanda seluruh siswa pulang ke rumah masing-masing.

“Eh May, pulang bareng yuk.” Kata Wira ketika Humairah siap meninggalkan kelas.

“Apa?” Maykaget mendengar tawaran teman sebangkunya. “Pulang bareng?”

“Iya, kenapa? Nggak mau ya?” tanya Wira.

“Oh bukan, bukan gitu maksud aku. Tapi kan aku bawa sepeda Ra ke sekolah.” kata Wira menolak halus tawaran Wira.

“Oh kamu bawa sepeda motor tho. Kok baru tahu ya aku kalau kamu bawa motor May. Kamu parkir di sebelah mana?” tanya Wira.

“Eh bukan motor Ra, bukan. Se-pe-da. Yang dikayuh pake kaki itu lho.”

“Sepeda? Sepeda ontel May?” Wira bengong mendapati kenyataan bahwa gadis secantik May ternyata harus ngontel ke sekolah.

“Iya.” Jawab May lirih.”Malu-maluin ya? Sebenernya ini kali pertama sih aku pake sepeda kayuh gitu. Di Jakarta aku naek taxi atau diantar papa.”

“Malu-maluin? Ya enggak dong. Di sini juga rata-rata naek sepeda ontel kok. Cuma aku heran aja, ada gitu cewek secantik kamu mau ngontel. Salut!” jawaban Wira sudah dipastikan berhasil membuat pipi Humairah semerah tomat.

“Makasih.” Jawab May malu-malu.

“Eh, ehmm.. Ya udah kalau begitu.” Wira baru tersadar jika beberapa detik yang lalu bibirnya telah memuji kecantikan May. “Ehmmm... aku duluan ya May. Sampai besok.”

May girang melihat bahwa Wira juga salah tingkah. Apakah ini berarti debar-debar di hatinya juga dialami oleh Wira? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Siang ini rasa lapar di perut Humairah mendadak hilang digantikan dengan kebahagiaan yang membuncah di dadanya. Dengan semangat dia mengayuh sepeda menuju rumah. Iqbal dan Rena yang setiap hari bersepeda bersamanya tak luput dari rasa heran. Namun Humairah tak memperdulikan dua saudaranya itu. Di telinganya masih terngiang suara Wira yang memuji dirinya cantik.

bersambung...

( @Lujeng_Ayu )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun