Saya sangat terkesan dengan yang baru saja saya saksikan di acara berita oleh salah satu stasiun tv swasta. Ibunda dari Bapak Andi Mallarangeng dengan sangat tegar memeluk dan melepas kepergian sang putra sebelum sang putra memenuhi panggilan pemeriksaan oleh KPK. Pelukannya seolah mengatakan "pergilah, Nak,. Doa ibu menyertaimu". Sinar matanya yang di dalamnya membendung air mata mengatakan "Jangan lemah nak, kau anak ibu yang tegar". Ia berusaha agar air mata itu tak boleh jatuh demi memberi transfer semangat dan kekuatan pada sang putra. Senyumnya yang mengandung segenap untaian doa ia usahakan sekuat tenaga agar tetap mengembang demi tak ingin senyum di sang putra hilang. Senyum itu seolah mengatakan "semua akan baik-baik saja, Nak.. Hadapilah dengan tersenyum". Bahkan, sang ibu tegar ini dengan ramah melayani pertanyaan wartawan. Beliau mengatakan bahwa beliau ingin agar sang putra bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan tegar pula dan tidak lemah.
Namun sang ibu tetaplah seorang wanita biasa. Pertahanannya hampir ambrol saat wartawan menanyakan apakah pihak keluarga ikhlas jika Bapak Andi ditahan. Air mata itu hampir jatuh, namun masih bisa ia kendalikan. Beliau menjawab bahwa pihak keluarga sudah ikhlas dengan apapun keputusannya nanti, termasuk jika putranya harus ditahan. Raut wajah yang tadinya masih terlihat santai seketika terlihat agak sedih. Ya, ibu mana yang tidak sedih jika putranya ditimpa ujian berat. Namun beliau sangat luar biasa mengendalikan dirinya, beberapa detik kemudian beliau mencoba kembali tegar sambil mengusap lengan wartawan seolah mengatakan 'saya kuat menghadapi ini'. Dan setelah tanyangan itu, pihak acara berita juga menayangkan wajah dan berita perkembangan Bapak Andi Mallarangeng. Saya lihat Pak Andi terlihat tegar dan menghadapinya dengan santai. Beliau menunjukkan sikap kooperatif dengan mengatakan bersedia dipanggil kapan pun diperlukan. Barangkali sikap santai dan tegar ini karena doa dan dukungan dari seluruh keluarga, khususnya sang ibu.
Begitulah seorang ibu. Baginya, sebesar dan setua apapun anaknya, di matanya anaknya tetaplah seorang anak. Seorang anak yang tetap butuh kehadiran dan ketegarannya sama seperti dulu ketika anaknya mengadu dijahili teman saat TK. Seorang anak yang tetap butuh senyumnya untuk menenangkan sang anak sama seperti saat dulu sang anak menangis karena jatuh dari belajar naik sepeda. Seorang anak yang tetap butuh doa dan ridhonya disetiap hela nafasnya.
Tulisan ini bukan untuk membela Bapak Andi. Terlepas dari apapun kasusnya, benar atau salah posisi Pak Andi, sebagai wanita, saya hanya mencoba mengambil pelajaran berharga dari yang dilakukan sang ibunda tersebut. Bahwa menjadi ibu itu adalah tugas yang luar biasa mulia dan tidak mudah. Bahwa ketegaran dan doa dari seorang ibu akan selalu dibutuhkan anaknya. Bahwa kita sebagai wanita, harus bisa menguasai diri untuk tetap tegar dalam keadaan apapun..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H