OlehYopi Evi Wijayanti (STAINU Jakarta) (NOMINASI 10 TERBAIK LOMBA MENGARANG CERPEN PP IPPNU 2012)
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintangan untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah
Seperti udara…kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…ibu…ibu
Ingin ku dekat dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa ku membalas…ibu…ibu
Tiga hari yang akan datang merupakan pertempuran di bangku sekolah. Setelah sekian lama berjuang untuk mempertahankan, kini merupakan detik-detik perjuangan. UAN mungkin bisa dikatakan sebagai momok yang menghantui ketika itu.
Waktu senja yang semakin gelap, turut membuat perasaan Fiyan semakin gundah, karena waktu gelap merupakan waktu dimana menunggu seorang perempuan tua yang pulang bekerja.Perempuan tua yang mampu menutupi kesedihan, kesendirian dalam menghadapi hidupnya.Seorang nenek yang dipanggil dengan sebutan emak yang tak pernah lelah bekerja demi mempertahankan hidupnya dan tak pernah menyerah atas segala yang menimpa dirinya. Ditinggalkan oleh suami tercinta ke dunia yang lebih kekal, ditinggalkan oleh putra-putrinya untuk menyusul sang ayahanda. Dan kini hanya tersisa satu putri semata wayangnya yang sangat ia sayangi.
“Fi …tok!tok! tok!... “
“Iya Mak, bentar…”
Suara gerimis yang mulai membasahi tanah-tanah kering membuat rambut emak basah. Baju yang menempel terlihat lusuh.Tapi raut wajah emak yang melontarkan kekhasan senyumnya beserta candanya, seolah terlihat tak pernah lelah dalam melakukan pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga.
“Sudah makan belum, Fi?” tanya emak dengan senyum dan canda khasnya.
“He…he…he… belum Mak. Tadi mau makan nggak jadi. Waktu mau keluar sudah keburu gerimis.”
“Ya sudah Fi, makan dulu, mak sudah bawakan makanan dari sana.”
Seorang perempuan tua yang sungguh luar biasa, yang sangat istimewa di hati Fiyan selain ibunya. Sosok perempuan yang tak pernah berhenti berjuang dari hiruk-pikuk masalah ataupuncobaan yang menimpanya.
Jarak yang cukup jauh untuk ditempuh hingga sampai ke pekerjaannya tanpa menggunakan kendaraan apapun yang dinaikinnya.Hanya dengan kedua kaki yang dianugerahkan Tuhan, emak mampu menapaki jarak kurang lebih 5 km hingga pada tempat tujuannya ia bekerja.Dimulai dengan keluarnya matahari hingga berganti keluarnya bulan.
“Fiyan, kamu ndak telpon ibumu toh?”
“Belum Mak, biar ibu saja nanti yang telpon. Lagian Fiyan takut kalau ganggu ibu sedang kerja.”
Seperti raut wajah yang amat lemas, jika Fiyan mendengarkan kata-kata mengenai ibunya atau pun bapaknya. Tapi emak selalu tak henti bertanya kabar tentang ibunya, walaupun terkadang kabar itu menyakiti hatinya.
“Emak nggak tahu Fi sama pikirannya ibumu. Kadang-kadang ibumu baik tapi kadang-kadang ibumu juga kasar sama emak.Padahal emak sudah rela untuk berkorban mandiri memperjuangkan hidup emak dan berusaha bahagiain ibumu dan cucu-cucu emak semua. Tanpa membuat ibumu repot untuk mengurus emak yang sudah tua ini. Jadi emak sedih kalau ibumu lagi kasar sama emak. Kemarin ibumu datang ke kos-kosan untuk minta uang, tapi emak nggak mau kasih karena uang emak yang dipinjam dulu belum dikembaliin. Terus ibumu marah, sampai berani ngelempar bak cucian baju di depan emak hingga kena jidat emak.”
Air mata yang sudah menumpuk pada bola mata emak, membuat bola mata Fiyan pun terhipnotis untuk mengikuti air mata emaknya yang sudah mulai mengalir membanjiri pipinya. Seorang ibu yang sangat menyayangi putrinya, walaupun ia harus sakit dan tersakiti. Kehidupan mengajarinya untuk menjadi seorang perempuan dan seorang ibu yang sabar dan kuat.
Dalam ruangan kecil, dengan ukuran kira-kira 4x4 meter, seorang perempuan tua dan gadis yang baru berusia 18 tahun saling berjuang untuk tidak menjatuhkan air mata mereka yang sudah menggumpal tebal.
“Emak dulu sudah janji, Fi, waktu ibumu berumur satu tahu dan hampirmeninggal dunia. Emak berjanji, emak nggakakan marah dan sabar menghadapi ibumu jika kelak nanti ibumu berani melawan emak. Sampai akhirnya ucapan itu benar terjadi.Jadi emak harus benar-benar sabar, walaupun emak kadang nggak tahan dengan perlakuan ibumu.”
Ingin rasanya Fiyan mengusap air mata emak yang jatuh dengan jari-jarinya.Tetapi Fiyan seperti berada dalam mimpi yang tak mampu menggerakkan jarinya untuk bergerak.Mendengar cerita dari emaknya, Fiyan merasa sangat benci kepada ibunya. Mengklaim akan perlawanan dan pemberontakan anak-anaknya kepada ibunya tak salah melainkan karma. Seorang ibu yang lebih mementingkan aktivitas dan pekerjaannya dari pada harus memperhatikan putri-putrinya. Karena dengan uang, menurutnya semua akan selesai. Seorang ibu yang mendidik putrinya dengan kekerasan. Membuat Fiyan lebih membenci ibunya jika mengingat apa yang telah dilakukan ibunya. Belum padam rasa benci Fiyan terhadap ibunya, dia juga amat kesal dengan ayah tirinya yang pilih kasih dan pilih-pilih sebagainya. Bukan hanya pada ayah tirinya, tetapi saudara-saudara yang bernasab sama dengan ayah tirinya. Sampai pernah ketika lebaran ‘Idul Fitri, Fiyan tersudutkan dengan pertanyaan yang tak mampu Fiyan respon.
“Oh ini tah anaknya saudaramu itu yuk?”
“Bukan mbak yuk, tapi dia adiknya.”
Mendengarkan percakapan seperti itu, Fiyan seperti ditembak oleh peluru yang menembus ke dalam jantungnya, karena posisinya sebagai anak tiri.
***
Sunyinya malam dengan suara angin yang berhembus dari kipas angin dalam ruangan yang berukuran sepetak kamar, yang berfungsikansebagai tempat tamu, ruang makan, dapur, tempat shalat, tempat tidur, belajar dan segalanya. Di mana seorang perempuan tua berjuang tanpa ada ujung dan henti.
“Mak, andai aku mampu bicara di depan Emak tentang perasaan Fiyan, Fiyan sangat sayang sama Emak dan ingin bahagiain emak.”
Renungan Fiyan yang semakin larut malam, membuat Fiyan tak kuat menahan lelah dan perihnya mata hingga akhirnya Fiyan pun tertidur.
“Dreeeeeeet… dreeeeet… dreeet”, nyala handphone bersamaan bunyi suara ayam yang terdengar, membuat emak terbangun dan ingin mengangkat dan menerima telepon yang berbunyi itu. Tapi sayang emak gak bisa cara mengoperasikan handphone yang berbunyi itu.
“Fiyan teleponmu bunyi, Fi, kayaknya ibumu, Fi.”
“Iya Mak, bentar Mak….”
Dengan keadaan baru tersadar dari tidurnya, dalam telepon Fiyan hanya banyak diam. Seolah dia mendengarkan lagu sedih.Fiyan pun tak kuasa menahan air matanya yang sudah tinggal berjatuhan. Tapi ia tak ingin sampai emaknya tahu, sehingga dia pun segera mengusapnya. Dalam pembicaraan di telepon, Fiyan merasa sangat kecewa dengan ibunya. Yang ia nilai sebagai ibu yang egois, kejam dan kasar, sertaseperti tak memberikan rasa perhatian kepada anak-anaknya. Ibunya seolah bersikap kekanak-kanakan, sehingga membuat Fiyan bertambah benci terhadap ibunya.
“Seharusnya ibu harus mampu mengayomi anaknya, yang ada di pikirannya hanya tentang kerja-kerja yang mampu menghasilkan uang. Aku benci,”guman Fiyan dalam hatinya tentang sosok ibunya.
“Fi gimana Fi, kata ibumu tadi, kok kamu diam terus toh Fi.”
“Nggak Mak, lagi malas saja ngomong sama ibu.Mungkin yang dibicarain nggak jauh-jauh dari kerja dan uang Mak. Jadi Fiyan agak malas responnya.”
***
Kebetulan hari Minggu merupakan hari libur kerja emak, jadi emak seharian penuh bisa bersantai di kosan dengan Fiyan. Di kamarmungil itu, Fiyan banyak mendapatkan cerita-cerita yang sebelumnya tak pernah terbayangkan akan didengarnya. Namun dengar cerita dari emak, Fiyan pada akhirnya mampu membuka hati untuk mengerti arti kehidupan dan memperjuangkan sebagaimana emaknya.
“Fi pesen emak yang kemarin jangan pernah dilupakan ya, karena bagaimanapun yang dilakukan ibumu sama kamu itu tetap dia yang melahirkanmu. Karena emak tahu Fi perjuangan ibumu untuk membesarkanmu ke dunia sampai kamu sebesar ini.Jadi pesan emak yang satu ini jangan pernah sampai dilupakan, ingat itu, Fi.”
“Memang kenapa Mak dengan perjuangan ibu, kok Emak belain ibu terus kesannya.Padahal ibu kan sudah berani kasar sama Emak?”
“Fi, ibumu itu kasihan, memang kelihatannya ibumu itu jahat dan keras seperti kurang peduli sama kamu.Tapi sebenarnya ibumu itu sangat sayang sama kamu, Fi, karena kamu anak satu-satunya yang dijadikan harapan ibumu untuk jadi temannya dan masa depannya.”
Lalu emak terdiam sejenak, seperti mengingat-ingat cerita masa lalu yang dipendamnya.
“Riwayat ibumu sewaktu masih dengan bapak kamu, sampai akhirnya bapak kamu ninggalin ibumu yang waktu itu kamu masih di kandungan, Fi.Bapakmu bilang cuma pamit sebentar mau kerja. Ternyata ibumu ditinggal nikah karena bapakmu ternyata sudah ditunangkan ketika menikah dengan ibumu, karena alasan bapakmu terlanjur sayang dan cinta mati sama ibumu sampai bapakmu berani melanggar kehendak orang tuanya, walaupun pada akhirnya ibumu yang disakiti.”
Seketika itu Fiyan terus menahan air mata yang mulai keluar dari bola matanya.Karena Fiyan tak mau sampai menangis di hadapan emaknya. Hanya diam seolah anak kecil yang mendengarkan dongeng sedih.
“Setelah ibumu ditinggal sama bapakmu, ibumu usaha mati-matian untuk menghidupi kamu, Fi, mulai dari jualan baju yang sudah nggak kepakai, jadi sales, jadi karyawan sampai ibumu pun juga naik turun jurang buat cari kayu bakar untuk dijual di pasar demi bisa beliin sekaleng susu dan makanan buat mu, Fi.”
Fiyan seperti tertusuk jarum panas. Rasanya ingin menjerit, meronta dan menangis sekencangnya dengan berkata “Bu, maafin Fiyan, Bu,” tapi itu laksana di dalam gua karena walaupun bersuara sekencang apapun. Di luar tak akan terdengar. Emak yang telaten bercerita, membuat dirinya sendiri tak terasa mengeluarkan tetes demi tetes air matanya.Tapi emak pun terus tak menyerah melanjutkan ceritanya.
“Mungkin itu semua juga bisa dikatakan hukuman untuk bapak dan ibumu yang kurang hati-hati waktu jalin hubungan dulu.”
“Maksudnya, Mak?” dengan nada yang cepat Fiyan pun reflek untuk bertanya.
“Ya, Fi, kamu sudah ada di kandungan ibumu sebelum menikah, Fi, sampai sempat dulu pernah ibumu berusaha ngegugurin kandungannya, tapi nggak berhasil. Mungkin memang itu takdir dan kehendak Sang Pencipta agar kamu bisa tahu kehidupan di dunia. Jadi kamu pun ikut berjuang di dalam kandungan, hingga sebesar ini sekarang.”
Mendengar kisah yang baru saja keluar dari mulut emak, bagaikan mendengar suara gempa bahkan lebih dahsyat melebihi gempa. Kata-kata “Di kandungan sebelum menikah dan pernah untuk digugurin,” terekam jelas dalam otak kanan, kiri, tengah bahkan organ yang paling kecil dan paling dalam, tanpa terkecuali. Air mata yang sudah tertahan, akhirnya jatuh pula basahi pipi, kekuatan dan semangat seperti hilang begitu saja dan tergantikan dengan malu dan hina.Tapi Fiyan pun segera menutupi kelemahannya itu dengan cepat mengusap air matanya hingga pipi terlihat kering kembali.
“Fi, tapi jangan pernah membenci ibumu dengan adanya kesalahan yang ibu bapakmu perbuat, karena ibumu sudah berusaha menebus kesalahan-kesalahan itu dengan memperjuangkan kamu agar bisa menatap masa depan yang terang. Ibumu hampir tak mengenal lelah, pagi-siang-malam bekerja demi kamu, sampai akhirnya ibumu merantau ke kota untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik lagi. Itu semua dilakukan untuk kamu Fi.Keringat, lapar, haus semua akan hilang jika ibumu sudah teringat sama kamu, Fi.”
“Ya Allah, besok aku akan melaksanakn Ujian Akhir Nasional, berikanlah aku kekuatan untuk bisa ikhlas dan sabar menerima kenyataan ini, ya Allah,” bisik Fiyan dalam hati dengan menghela nafas panjang.
“Ya sudah, Fi, emak mau belanja dulu buat makan kita. Kamu jaga rumah saja. Jangan lupa pesan emak untuk tak sesekalipunmembenci ibumu, Fi.”
***
Selepas emak pergi dan tak terlihat lagi dari penglihatan Fiyan. Ia tak lagi terbebani rasa malu untuk meronta dan menangis sesuai dengan keinginan hatinya. Air mata yang sudah penuh akhirnya terkeluarkan pula bersamaan dengan coretan di lembaran kertas putihnya.
Pincang bagai berjalan di atas bumi ini
Arah yang menentu tak mampu arahkan tekad
Sekuat perkasa, selemah ranting tua diri ini
Berguguran lepas dengan beriringnya tiupan angin
Tak kuasa bertahan tuk menopang diri
Hamparan lautan bagai tekad di tengah butirannya
Isak tangis pun, seolah air hujan yang mengalir deras
Allah, ya Rab,
Tak ada kata lain tuk curahkan isi hati ini
Dzat Penolong bagi ku yang terpuruk
Kuatkanlah hati hamba ya Rabb
“Betapa teganya kamu sakiti aku dan ibu, bapak. Sehingga aku seperti anak yang tak pernah punya bapak dan seperti anak yang hina.”
Suara yang sudah tak terkendali dengan nafas yang tersengal-sengal, membuat Fiyan sudah sedikit lega mengeluarkan rasa sakit di batin yang paling dalam. Suara sandal yang terdengar dari luar dan semakin lama mendekat jelas suaranya, membuat Fiyan tergopoh untuk membereskan sisa-sisa air matanya yang masih menempel di pipinya.
“Ayo Fi, bantuin emak masak. Biar kamu juga cepat makan. Ini emak beliin lauk kesukaanmu. Doyan kan sama ati ampela?”
Melihat emak, Fiyan seperti melihat seorang perempuanyang tak pernah tersentuh masalah. Emak yang tangguh, sabar, dan periang dengan kekhasan candanya membuat Fiyan terbawa pada perasaan yang tangguh pula seketika itu untuk menerima kenyataan yang telah terjadi.
“Ya, Mak, siap!” dengan suara tegas Fiyan menjawab perintah emaknya dengan tarikan nafas yang dalam untuk menunjukkan tidak adanya air mata yang dikeluarkan sebelumnya.
Dalam hati Fiyan pun berjanji untuk mengingat selalu pesan emak agar tidak lagi membenci ibunya. Mengingat perjuangan ibunya yang tak pernah menyerah walau diterpang badai sehingga mampu membesarkan Fiyan selama 18 tahun. Kini Fiyan hanya ingin fokus untuk memikirkan dengan apa ia akan membalas perjuangan ibunya selama ini.
“Dengan apa aku membalas ibu…. Walaupun jelasnya aku belum tahu dengan apa kumembalasnya. Tapi aku berjanji, mulai detik ini aku sebagai putri harapanmu, kan selalu berusaha tuk mampu membahagiakanmu, Bu”, bisik Fiyan dalam hatinya laksana mengucapkan ikrar suci kepada ibunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H