Mohon tunggu...
Pimpinan Pusat Ippnu
Pimpinan Pusat Ippnu Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

belajar berjuang bertakwa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Dari Jeddah

25 Februari 2013   06:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:44 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

OlehNiken Larasati (Jombang, Jawa Timur) (NOMINASI 10 TERBAIK LOMBA MENGARANG CERPEN PP IPPNU 2012)



Aku duduk di atas sebatang pohon. Pandangan jatuh pada sebatang pohon menyendiri di tengah padang hijau. Di bawah pohon itu, seseorang membaringkan tubuhnya di atas rerumputan hijau. Wajahnya mendongak seperti sedang menatap sebentuk awan yang menyerupai binatang peliharaannya, kerbau.

Kemudian, pandangan kualihkan pada salah seorang temanku yang bergelantungan di pohon yang yang sama. Ia merogoh sakunya. Kemudian mengeluarkan sebatang rokok. Menyulutnya, kemudian menghembuskan asap ke mukaku.

Seorang temanku yang satunya lagi, menyelipkan paksa sebatang rokok itu ke dalam mulutku. Tenggorokan sakit, perut mual seolah hendak muntah ketika segulung asap masuk. Karena aku tak pernah mengisap rokok sebelumnya. Lalu aku membuang rokok itu jauh-jauh.

“Payah, kau! Banci!” ejek temanku.

“Merokok itu tidak baik untuk kita yang masih kelas enam SD. Karena itu bisa membuat kita mati sia-sia. Sekarang terserah kalian mau ngatain aku apa.”

Aku kembali mengedar pandangan ke sekelilingku. Jauh di timur, gedung menjulang tinggi, di kotaku. Sebagian besar bangunan gedung itu, mulai dari atap dan dindingnya terbuat dilapisi keramik. Bila malam, lampu-lampu penerang akan berkedip-kedip dari kejauhan, memancarkan cahaya warna-warni.

“Dengar-dengar, Mbak Risma bukan kakak kandungmu ya!” kata temanku yang bergelantungan di atas pohon.

“Ah, ya, ibu juga pernah bilang kayak gitu. Kalau Mbak Risma dulu adalah anak terlantar. Waktu bayi, Mbak Risma pernah dibuang oleh orangtua kandungnya. Akhirnya dipungut oleh bapakmu,” sahut temanku yang lain.

“Itu semua tidak benar. Mbak Risma adalah kakak kandungku,” teriakku.

“Atau... atau jangan-jangan Mbak Risma adalah anak haram bapakmu.”

Teman-temanku saling pandang, lalu tertawa. Aku memandang wajah keduanya. Jemari tangan kukepalkan erat-erat. Ingin rasanya aku berteriak keras,Lidah sengit kalian telah berapi-api, keji

Kemudian aku turun dan pergi dengan berlari. Melewati lebih banyak cabang jalan, tak beraspal. Aku terus berlari, hanya memandang sekilas pada sekelilingku. Di pinggir jalan, seekor anjing mondar-mandir, mengibas-ngibaskan ekornya. Dan seorang anak muda memarkir motor tanpa plat di pematang sawah.

Pada area kebun dekat rumahku, aku melihat Mbak Risma berpakaian seragam biru putih, berjalan ke arah rumah, pulang. Mbak Risma cantik. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai, tanpa digelung.

Ah ya, kau perlu tahu, Mbak Risma duduk di bangku SMP kelas tiga. Dan sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir nasional, sama sepertiku.

“Mbak Risma,” teriakku. Ia menoleh ke belakang, ke arahku. Lalu aku berlari menghampirinya. “Mbak Risma, kau adalah kakak kandungku yang sangat kusayangi,” kataku, memeluknya. Tapi lengan tanganku terlalu pendek untuk memeluknya erat-erat.

***

Di rumah, aku suka memandangi sebuah potret hitam putih wanita berkebaya. Potret itu tergantung di dinding ruang tamu. Kata Mbak Risma, itu adalah potret ibu kami. Tapi sayang, sejak aku masih kecil, aku tak pernah melihatnya. Ingin rasanya bersimpuh di kaki ibu atau setidaknya berucap: Kuingin peluk hangat darimu, Ibu.

Tapi itu hanya keinginan, karena memang ibutak pernah ada. Ketika aku bertanya kepada ayah, akan diam tak menjawab.

Tiba-tiba aku mendengar suara bapak marah-marah. Lagi-lagi bapak marah pada Mbak Risma. Padahal Mbak Risma tidak pernah berbuat salah apapun. Herannya, jika aku bersalah, bapak tidak akan pernah marah. Lalu aku berlari ke dapur, bersembunyi di balik pintu.

“Bapak sudah tidak punya uang untuk membiayaimu sekolah. Besok kau tidak usah pergi ke sekolah. Kau akan kupinangkan pada Gus Hamid. Lelaki terkaya di desa ini. Berdandanlah yang cantik!”

“Aku tidak mau, Pak. Risma masih ingin sekolah seperti anak-anak lain.”

Braaaaakk,” tangan bapak menggebrak meja, keras-keras. Air kopi di cangkir loncat. Tumpah.

Kedua tangan bapak berkacak pinggang. Mbak Risma tertunduk. Tak berani membantah lagi. Air matanya jatuh berlinang di pipi.

Aku kesal lantaran bapak memaksa Mbak Risma agar mau dipinang Gus Hamid. Jika tidak, bapak akan menjualnyakepada rentenir di desa seberang. Gerahamku bertaut erat ketika memandang bapak dengan mata tajam. Lalu, kuambil sebuah vas bunga di sampingku.Kemudian vas itu melayang, tapi hanya mengenai diding, beberapa senti dari ayah. Pecahan vas berserakan di lantai.

“Kalau Ibu tahu, dia pasti marah kepada Bapak! Perempuan juga punya perasaan dan punya keinginan. Sama seperti lelaki. Belajar yang lebih tinggi,” teriakku.

Aku menatap bapak penuh amarah. Bapak menoleh kepadaku, tidak bicara. Lalu pergi. Aku langsung menghampiri Mbak Risma, memeluknya.

Anak lelaki seperti aku adalah kebanggaan bapak. Pantas ia sampai berhutang kepada tetangga untuk menyembelih seekor kambing dan beberapa ayam, demi sebuah pesta akikah ataupun ulang tahun ku. Tapi tak pernah untuk Mbak Risma. Mungkin karena Mbak Risma lahir sebagai perempuan. Sedangkan bapak selalu beranggapan bahwa anak perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh, akhirnya bakal jadi seorang istri yang selalu berada di pawonandan mengurus anak dan suami. Pemikiran bapak benar-benar sangat dangkal.

“Aku sayang Mbak Risma. Jaga diri Mbak Risma baik-baik ya!” kataku, masih memeluknya. “Aku mau pergi ke sungai dulu. Mau main.”

***

Di tepi sungai, aku memanjat sebatang pohon yang ramping, mengedar pandang dari atas pohon. Sebuah truk lewat mengangkut bertandan-tandan rambutan. Sopir truk itu ternyata Gus Hamid, lelaki tua yang akan meminang Mbak Risma. Ingin sekali-kali aku berlari ke truk itu. lalu kupecahkan kacanyadengan lemparan batu. Biar lelaki beristri tiga itu enggan ke rumahku.

Tatapanku kembali menyisir ladang di lembah bukit. Sebentar lagi jam raksasa di halaman rumah Pak Lurah akan berdentang. Hari sudah menjelang senja. Jika aku tak ingin celaka, aku harus cepat pulang. Karena desaku pernah gempar lantaran kehilangan lima anak remaja, terlebih di daerah angker jembatan Kartalarang. Jembatan yang membentang sungai menganga bagai mangkuk tanpa isi. Bila petang berubah pekat dan cericit kelelawar terdengar ingar, maka tak satupun anak remaja berkeliaran keluar. Para orangtua akan melarang anaknya keluar rumah pada waktu lengang, terlebih maghrib.

Dalam perjalanan pulang, aku mendengar suara lelaki di gubuk Mbah Minah. Karena penasaran, aku bergegas menuju gubuk itu. Aku berdiri di atas setumpuk batu bata. Tanganku berpegang pada tiang bambu antena. Lalu kudekatkan mataku ke celah kecil dinding kayu, mengintip siapa yang bercakap.

Aku kaget ternyata bapak sedang bertikai dengan Mbah Minah. Telingaku dipasang baik-baik mendengarkan percakapan mereka.

“Kemana Sarni berada?” tanya Bapak.

Hanya itu kalimat yang kudengar. Selebihnya, terdengar samar. Tapi aku sempat melihat bapak membanting beberapa barang milik Mbah Minah. Aku mencoba menerka dan mungkinkah Mbah Minah punya hutang pada bapak? Ah entahlah. Sebelum bapak keluar dan mendapatiku sedang mengintipnya, aku langsung turun dari tumpukan batu bata, lalu bersembunyi di balik semak lebat.

Saat aku keluar dari balik semak, mata Mbah Minah sempat menangkapku. Lalu ia memanggilku dan mengajak masuk ke gubuknya. Padahal aku sudah dilanda cemas, jam raksasa sudah berdentang keras.

Di dalam gubuknya. Api unggun pada cerobong asap menyeruak dari seonggok ranting-ranting kering itu, menari-nari. Aku terhenyak memandang kobaran api unggun yang bagai hendak menjerat mataku. Kemudian Mbah Minah duduk di hadapanku dan mengulurkan sesuatu padaku.

“Ini adalah sebuah surat suara, rekaman dari Jeddah, Arab Saudi. Dari ibumu,” katanya. “Sebelum kau mendengar rekaman itu. Mbah ingin menceritakanmu sesuatu. Tentang Ibumu dan anak Mbah.”

Aku membenahi letak dudukku dan mulai mendengar kisahnya.

“Ibumu adalah seorang TKW di Arab Saudi. Dengan harap bisa mengubah nasib buruk keluarganya yang selalu dililit hutang terpaksa pergi. Tapi nasib Ibumu tak seberuntung TKW lain. Di sana, ia mendapat perlakuan kasar, bahkan tidak digaji majikannya. Hingga suatu malam, ketika anak majikannya pulang ke rumah dengan keadaan mabuk, ibumu nyaris diperkosa. Tapi untung ia bisa melarikan diri. Ibumu terus berlari hingga sampai ke sebuah tempat asing. Tempat yang penuh dengan TKW terlantar. Di kolong jembatan Jeddah.”

Mbah Minah menarik nafas, aku menyimak.

Ibumu berharap agar pemerintah Indonesia menjemputnya dan para TKI lain untuk pulang ke tanah air Indonesia. Tapi hari demi hari, pertolongan pemerintah tak kunjung datang. Sampai pada hari kelima, ibumu meninggal di kolong jembatan Arab Saudi karena terkena penyakit paru-paru, lanjut Mbah Minah.

“Lalu, bagaimana surat suara itu bisa sampai ke tangan Mbah Minah?”

“Sebelum ibumu meninggal, ada wartawan dari Indonesia yang datang ke Arab Saudi. Wartawan itu menemukan keberadaan para TKI di kolong jembatan. Ia mewawancarai salah seorang TKW yang tengah tertidur dengan alas kardus bekas, yang tak lain adalah ibumu. Lalu wartawan itu mencatatrinci kisah sedih ibumu. Kemudian dipublikasikan di media massa. Ibumu mengungkapkan inginnya untuk mengirimkan pesan padamu, Panji.

Akhirnya wartawan itu merekam suara ibumu beberapa saat sebelum menutup mata selamanya. Tapi sebelum akhirnya surat itu sampai ke tangan Mbah, wartawan itu telah meninggal di kantor pos Arab Saudi.”

Kulihat tetesan air mata mengalir pada pelupuk pipi Mbah Minah. Aku seolah berada di tempat lain dan cerita Mbah Minah telah menyeretku ke masa sebelum surat itu sampai ke tangan Mbah Minah.

“Apakah Mbah mengenal wartawan itu?”

“Ya, Mbah sangat mengenalnya. Wartawan itu adalah anak bungsu Mbah.”

“Bagaimana ceritanya wartawan itu meninggal di kantor pos?”

“Ia sakit demam tinggi. Ia terus berbaring di tempat tidur hingga lupa mengirim surat itu. Ia baru ingat setelah enam hari surat itu terselip di laci meja. Karena tidak bisa pulang ke Indonesia, ia buru-buru mengirim surat suara itu, beserta catatan yang ingin ia sampaikan pada media massa ke kantor pos. Sesampainya surat itu ke tangan pegawai pos, mendadak ia pingsan. Orang-orang berhambur mendatanginya. Saat itulah denyut nadinya berhenti. Ia meninggal sebelum melakukan pembangunan dan memperjuangkan hak orang-orang teraniaya.”

Kemudian Mbah Minah mengulurkan surat suara itu. Aku menerimanya.

“Aku salut pada Ibumu. Ia umpama seorang perempuan bertangan lebih dari dua. Ia mampu melakukan segalanya, yang belum tentu lelaki bisa melakukan pekerjaan perempuan. Tapi Ibumu bisa membuktikan bahwa ia adalah perempuan yang tangguh. Menjadi tulang punggung keluarga di saat bapakmu menganggur.”

***

Pada rekaman itu tertulis tanggal 17 September 1998. Kuputar rekaman itu.

“Teruntuk anakku tersayang, Panji. Mungkin ketika kau mendengar rekaman ini, kau sudah beranjak remaja atau dewasa. Mungkin juga Tuhan sudah memanggil Ibu dan tidak bisa menemani hari-harimu. Tapi, Ibu akan selalu berdoa yang terbaik untukmu dari tempat ibu berada. Kelahiranmu adalah anugerah terbesar yang ibu dan bapakmu tunggu-tungu, setelah lama kami menanti. Kaulah anak pertama ibu yang kusayangi, Nak. Ibu hanya bisa mengucapkan satu kalimat untuk mewakili sepanjang tahun yang akan kau lalui: selamat ulang tahun untuk tahun ini dan tahun yang akan datang.”

Sontak aku terkejut mendengar salah satu kalimat kata dari rekaman itu. Aku, anak pertama. Lalu, Mbak Risma anak siapa?

“Panji... Panji...” tiba-tiba aku mendengar suara bapak memanggil-manggilku. Aku segera keluar menemuinya dan memberitahukan rekaman itu.

“Apakah mungkin kalau Mbak Risma bukan kakak kandungku, Pak?”

Sejenak bapak terdiam, lalu berbicara.

“Risma memang bukan anak kandungku. Ibumu menemukan Risma di depan rumah kita, lalu mengadopsinya sebagai anak.”

“Itu tak benar,” teriak Mbah Minah dari ambang pintu, lalu menghampiri kami. “Risma adalah anak kandungmu. Anak dari Sarni. Setelah kau menodai anakku, Sarni, dia telah berbadan dua dan mengandung anakmu. Tapi kini Sarni telah meninggal ketika melahirkan Risma. Sekarang di mana Risma, cucuku,” kata Mbah Minah pada Bapak.

Mendengar itu bapak langsung terkejut. Tubuhnya jatuh bertopang pada kedua lutut. Lalu, aku melihat air mata Bapak telah jatuh. Itulah kali pertama Bapak khawatir dan menangisi Mbak Risma. “Aku telah membiarkan Risma terus berlari ke Jembatan Kartalarang, tanpa kularang. Aku terus memaksanya menikah dengan Gus Hamid, tapi ia tetap tidak mau.”

Sontak aku terkejut mendengar ucapan bapak. Sesuatu yang tajam seperti telah menusuk ulu hatiku, membuat mataku seketika berair.

“Biadab, kau! Kau sudah menjadikan lima anak di desa ini sebagai tumbal. Sekarang kau biarkan anak kandungmu yang jadi korban agar kau bisa mendapatkan kekayaan,” maki Mbah Minah geram.

Mendadak wajah bapak pucat. Sangat cemas. Kemudian berlari bak kesetanan seraya berteriak memanggil Mbak Risma. Tapi di sekitar jembatan, tak ditemui siapapun. Sepi. Yang tertinggal di atas jembatan hanya gelang motif tengkorak milik Mbak Risma. Perlahan, bingkai air mataku telah jatuh, menangis. Sejak hari itu, aku tak pernah lagi bertemu Mbak Risma. Dan Mbak Risma hilang seperti ditelan bumi. Dan bapakku jadi gila.

“Ibu pasti marah terhadap perilaku Bapak yang sangat keji.O, ini seperti karma!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun