Mohon tunggu...
Piman Votrayyer
Piman Votrayyer Mohon Tunggu... -

Senang petang, malam, dan secangkir cokelat panas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk Sahabatku yang Jauh di Sana

26 Oktober 2011   12:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:28 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku kenal kamu sejak pertama masuk kuliah dan kita satu kelas. Tapi aku mulai dekat denganmu sejak semester dua. Aku suka sifatmu, sikapmu, gayamu. Kamu yang datang dari tanah Sumatra hanya untuk kuliah di Jawa begitu supel, mudah bergaul, meski gayamu apa adanya--sedikit cupu, sederhana, dan semua teman di kelas rata-rata menyukaimu dan suka bergaul denganmu, baik cewek atau pun cowok. Berbeda denganku, sedikit pilih-pilih teman, gak suka bergaul, tertutup, dan teman-teman pun hampir tak peduli denganku, ya kecuali mereka menanyakan sesuatu yang mereka tidak tahu. Semester dua, mula aku mendekatkan diri denganmu. Sejujurnya, aku lebih suka punya teman sedikit tapi dekat dan setia daripada banyak teman, tapi tak ada yang terasa spesial. Mungkin itulah bedaku dengan cowok kebanyakan, termasuk kamu. Tapi, aku sangat suka semua yang ada pada dirimu. Aku ingin jadi teman dekatmu. Setiap aku cerita denganmu, selalu terasa nyaman dan hangat. Hingga akhirnya, kita bisa dekat dan mengikrarkan diri menjadi sahabat. Ya, sahabat. Bagiku kamulah sahabat satu-satunya yang mengerti aku. Kamu pun demikian, kamu mau jadi sahabatku dan jadikan aku sahabat satu-satunya bagimu--ya, meski aku agak 'cemburu' melihat banyak sekali teman yang ingin dekat denganmu. Awal kita bersahabat, banyak sekali masalah dan godaan. Dan, aku sadari bahwa aku sumber masalah itu! Kebanyakan aku yang memulai perkara. Kamu mungkin kaget dengan sikap asliku, ya sifatku yang belum kamu ketahui sebelumnya. Nampak cowok, elegan, cool, damai, seperti kebayakan cowok lainnya. Tapi begitu dekat dengamu, aku mulai memperlihatkan sifat-sifat yang menurutmu sangat kekanak-kanakan bahkan terkesan seperti cewek. Misalnya aku yang terlalu posesif, gak suka kamu dekat-dekat yang lain, marah kalau kamu cuek dan gak perhatian, dan seabreg sifat-sifat yang menjijikan. Beberapa kali kita bertengkar, bahkan sampai beradu fisik. Kamu pernah menamparku berkali-kali karena tingkahku yang menjijikan. Hingga suatu saat, aku sadari bahwa ada sesuatu yang kusembunyikan dari diriku. Tentang hati, perasaan, dan bahkan... orientasi seksualku. Suatu malam, saat kau menginap di tempatku, aku begitu tak kuat menahan hasrat dan keinginanku untuk bisa berbagi cinta denganmu. Malam itu pun, aku mulai melakukan aksi busukku, mengumbar hawa nafsu dan mencengkrammu sepenuh keinginanku. Sejak saat itu pula, kamu marah. Ya, kamu marah besar! Seperti ingin kamu ludahi aku. Kamu nampak ingin membunuhku dengan gelas yang kau lempar hingga pecah berkeping-keping. Saat itu, pupus sudah harapanku untuk bisa jadi sahabatmu. Aku meminta maaf berkali-kali dan kamu campakkan aku. Yang paling menyakitkan adalah saat kamu bilang, "Mulai hari ini, jangan anggap aku itu ada. Jangan kamu sapa aku di kelas, kampus, di mana pun kamu bertemu aku." Ya, meski kamu bilang itu dengan tenang--ciri khas gayamu--tanpa emosi, tapi begitu dalam hingga ke ulu hati. Hingga beberapa hari kemudian, satu tangan kamu ulurkan untukku. Pertanda maafku, kamu terima. Oh, Tuhan! Terimakasih, Kau masih berikanku kesempatan untuk jadi sahabatmu. Kamu mulai bertanya ini dan itu. Bertanya mengapa orientasi seksualku seperti ini. Aku ceritakan dengan detail padamu. Awalnya aku malu, serasa aku makhluk yang menjijikan di depanmu. Tapi, saat ku bertanya, "Masih maukah kamu jadi sahabatku?" Lalu kamu menjawab, "Insya Allah, aku akan selalu jadi sahabatmu." Lalu aku bertanya, "Meskipun aku begini?" Dan, kamu menjawab penuh kepastian, "Apapun, kapanpun, dan bagaimanapun. Aku akan berusaha membantumu agar terlepas dari duniamu." Aku tak bisa berkata-kata, hanya menitikan air mata penuh haru. Semester demi semester, kita lalui bersama. Hingga kita memutuskan untuk tinggal satu kos bersama. Aku bahkan sempat berpacaran dengan seorang cewek. Aku selalu meledekmu, "Kapan kamu mau punya pacar? Jangan-jangan kamu gak doyan cewek, ya..." Ungkapku sambil tertawa terbahak-bahak. Kamu hanya tertawa. Kita selalu jalan bareng. Menyusuri suatu tempat yang baru berdua. Ngegembel berdua. Tak punya duit berdua. Pernah suatu saat, kita tak punya uang sepeser pun. Tiba-tiba kamu "merayu" si Uda di warung nasi Padang langgananmu. Akhirnya, kamu berhasil menghutang satu bungkus nasi Padang yang kita lahap berdua. Ah, sudah habis kata-kataku untuk mengungkap itu semua. Hingga datanglah wisuda itu. Akhirnya kita bisa melalui masa-masa susahnya jadi mahasiswa. Ngerjain tugas di rental komputer sampai larut, hingga akhirnya kita berdua patungan membeli laptop. Patungan membeli buku. Dimarahin dosen karena datang terlambat. Ahhh, tidak ada lagi itu semua!!! Kita sekarang sama-sama sudah jadi sarjana! Ya, sarjana. Tapi... itulah yang membuatku tidak suka. Sarjana! Seperti janjimu, kelak kalau kamu sudah lulus kuliah dan jadi sarjana, kamu akan kembali ke kampung halamanmu di tanah Sumatra. Meski aku pernah ke sana, dan kamu pun sudah terbiasa tinggal di rumah keluargaku, tapi kali ini sangat berbeda. Kamu akan pulang ke Sumatra tanpa aku tahu, kapan kamu akan kembali. Dua bulan sudah, sejak puasa lalu, kamu pulang ke Sumatra. Kamu mulai mencari kerja di sana, aku mulai mencari kerja di sini. Sekarang, kamu sudah bekerja di sana. Satu kebahagian bagiku. Tapi satu kesedihan yang teramat berat bagiku. Kamu sudah bekerja. Itu artinya, tidak ada lagi kesempatan kembali ke sini, ke tanah Jawa. Ke tempat keluargaku. Ke kamar kos kita. Tiga tahun bersamamu. Kamu selalu ada di sampingku. Aku selalu ada di dekatmu. Tapi kali ini... Hampa rasanya. Kosan sepi. Di kamar aku sendiri, tidur aku sendiri. Mencari makan sendiri. Tak punya uang, bersusah payah sendiri. Sahabatku, bukankah kamu tahu kalau aku berbeda denganmu? Aku pilih-pilih dalam berteman, aku tidak suka bergaul, aku tidak nyaman bersama orang lain. Itu membuatku tak punya banyak kawan, selain dirimu. Hmm, mungkin, kini aku harus belajar tanpamu. Aku harus mulai membiasakan diri hidup tanpamu. Aku harus sadari itu. Sampai kapanpun, kita tidak mungkin hidup bersama. Sahabat, terima kasih karena sudah menemaniku selama 3 tahun di sini. Kini, kita hanya bercerita melalui SMS dan telepon. Tak bisa lagi aku jambak rambutmu, tak bisa lagi kamu jewer kupingku saat pagi jika aku bangun kesiangan dan terlambat shalat shubuh. Tak bisa lagi aku bawelin kamu jika kamu malas mandi. Tak bisa lagi kamu hapus air mataku jika kuingat dirimu.

Sahabatku, semoga kamu selalu bahagia.

Aku menyayangimu.

- Piman Votrayyer -

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun