Ternyata, dunia politik itu penuh kejutan! Dan siapa yang menyangka bahwa kali ini, sorotan datang dari seorang pejabat yang seharusnya menjadi panutan di Palupuh, yaitu Camat Nong Rianto. Bukan hanya karena kedudukannya yang terhormat sebagai ASN dan kepala wilayah, tapi karena caranya yang sangat inovatif dalam mendukung Paslon AWR-MW. Dalam tulisan seorang penulis lepas, Azwar Chaniago, yang kebetulan sepertinya lebih dari sekadar pengamat netral, kita disuguhkan kisah tentang bagaimana Camat Nong Rianto, dengan penuh semangat, membuat para pendukung AWR-MW merasa cemas akan masa depan mereka.Â
Mari kita bahas sedikit lebih dalam tentang bagaimana cara Camat ini "memperkenalkan" demokrasi kepada masyarakat Palupuh. Ternyata, gaya kampanye Camat Nong Rianto bukan sekadar sebatas memberi arahan, tetapi lebih ke memaksa pilihan politik masyarakat, bahkan dengan cara yang tak kalah dramatis. Katakanlah ini adalah "kampanye cinta paksa" versi birokrasi. Di mata Camat, siapa yang tidak memilih Paslon AWR-MW bisa jadi sudah siap-siap mencatat nama mereka dalam buku hitam (atau mungkin buku putih yang lebih positif, ya, tergantung sudut pandang). Sebagai pemimpin daerah, seharusnya Camat memberikan contoh bagaimana menjaga netralitas, tetapi sayangnya, ini lebih mirip dengan upaya menciptakan "sistem pemilihan tunggal" di tingkat lokal, tentunya yang penuh dengan tekanan, intimidasi, dan sedikit ancaman halus di sana-sini. Bukan cuma soal "mendorong" warga untuk memilih Paslon AWR-MW, tetapi malah lebih jauh lagi, di beberapa kesempatan, ada laporan bahwa Camat ini melakukan intimidasi terhadap warga yang dianggap tidak mendukungnya.Â
Konon, jika Anda adalah salah satu warga yang "terlalu independen" dan tidak memilih seperti yang diinginkan sang camat, siap-siap saja untuk menjadi bagian dari daftar "terlarang" yang harus diwaspadai. Wow, demokrasi ala Nong Rianto memang tidak main-main! Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini adalah bagian dari cara-cara kreatif dalam kampanye? Atau justru sebuah pembelajaran bagaimana cara merusak citra calon yang sedang didukung? Jika Camat Nong Rianto merasa bahwa langkah-langkah tersebut akan menguntungkan Paslon AWR-MW, rasanya ia perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa dalam politik, pendekatan yang otoriter dan mengintimidasi itu justru berbalik arah dan berpotensi merugikan citra kandidat yang didukungnya.Â
Bayangkan, dalam sebuah pemilihan umum yang seharusnya berjalan secara adil dan bebas, malah ada pejabat yang menggunakan kekuasaannya untuk "memaksakan kehendak" kepada rakyat. Ini tentu bukan gambaran dari demokrasi yang sehat. Alih-alih meningkatkan popularitas Paslon AWR-MW, tindakan Camat yang memaksa masyarakat untuk mengikuti pilihan politiknya justru bisa membuat banyak orang bertanya-tanya: "Jika begini caranya, apakah mereka layak dipilih?" Apakah ini yang disebut dengan kampanye etis? Tentunya tidak. Malah, ini lebih mirip dengan versi paling buruk dari "kampanye paksa", di mana warga diberi pilihan antara mengikuti kehendak seorang camat atau menghadapi potensi 'penyimpangan politik' di wilayah mereka. Jika paslon AWR-MW benar-benar ingin menang, mereka harus berhati-hati dalam memilih siapa saja yang mendukung mereka.Â
Dukungan seperti ini bukan hanya berisiko menciptakan antipati di kalangan masyarakat, tetapi juga bisa merusak citra mereka yang berusaha berkompetisi secara jujur. Sebuah catatan penting untuk Paslon AWR-MW: Jika Anda ingin meraih kemenangan yang sejati, jangan biarkan diri Anda dipermalukan oleh dukungan yang salah. Kampanye yang berbasis pada tekanan dan intimidasi bukan hanya tak etis, tetapi juga tidak produktif. Demokrasi itu soal pilihan bebas, bukan soal siapa yang paling berani menekan dan mengancam. Bila Anda ingin masyarakat memilih Anda, pastikan mereka melakukannya karena mereka percaya, bukan karena takut dicatat namanya oleh seorang camat yang berperan lebih sebagai "petugas pemilih" daripada pelayan publik. Dan untuk Camat Nong Rianto, mungkin ini saatnya untuk kembali mempelajari apa itu netralitas dan bagaimana caranya mengelola wilayah dengan integritas, bukan dengan gaya intimidasi. Lagipula, rakyat Palupuh itu pintar, mereka bisa memilih siapa yang mereka inginkan tanpa harus diawasi oleh "pengawasan ekstra" ala Camat. Semoga di pemilihan berikutnya, yang memimpin tidak hanya tahu cara memberi arahan, tetapi juga memahami betul apa artinya menghormati kebebasan memilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H