Mohon tunggu...
PK IMM FHUM
PK IMM FHUM Mohon Tunggu... Jurnalis - Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima

Jika engkau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah (Al-Ghazali)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Islam and Woman Relationship, di Mana Posisi IMMawati?

7 Juli 2022   14:29 Diperbarui: 7 Juli 2022   14:45 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Essy "Departemen Bidang Kader"

Ziaul Haque dalam Revelation and Revolution in Islam menjelaskan bahwa ada tiga reason bagi diutusnya para nabi kepada manusia: pertama, untuk menyatakan kebenaran; kedua, untuk melawan kepalsuan (bathil) serta penindasan (zulm); dan ketiga, untuk membangun komunitas atas dasar kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan dan kasih sayang.[1] Pandangan tersebut mengawali bantahan atas stigma yang menempatkan peranan perempuan hanya terbatas dalam urusan domestik sampai pada kiprahnya yang dilepaskan dariklasifikasi sosial.[2]

 Wacana diskriminasi perempuan saat ini menjadi sebuah tema perdebatan yang hampir-hampir menyeret ayat Al-Quran sebagai pembenarannya. Misalnya, adanya pandangan selama ini bahwa pria adalah sebagai pemimpin bagi perempuan, produk penafsiran bias gender dari Q.S. an Nisa'[4]: 34 "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar". Ayat tersebut menjadi dalil pembelaan bahwa laki-laki menempati posisi yang berada di atas wanita dalam urusan kepemimpinan.

 Memahami posisi wanita dalam pembenaran melalui ayat tersebut sejatinya harus di bandingkan dengan ayat-ayat yang lain juga. Salahsatunya adalah Qs-Al-Hujurat yang menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama dalam membentuk peradaban. "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS al-Hujurat [49]: 13). Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa harus ada korelasi antara perempuan dan laki-laki dalam ranah sosial untuk membentuk suatu peradaban yang unggul.

 Doktor R Biot, di dalam buku berbahasa Prancis yang telah diterjemahkan ke bahasa Arab, menegaskan: "Adalah sesuatu yang tidak dapat dinafikan bahwa kesempurnaan hidup manusia seluruhnya perlu tetap memandang adanya perbedaan jenis manusia. Kaum lelaki mesti menjaga sifat-sifat kelakian mereka supaya menjadi lelaki yang sebenarnya. Perempuan perlu menjaga keistimewaan agar terjamin kewanitaannya supaya menjadi perempuan yang sebenarnya. Tanpa pengkhususan itu, hidup ini seluruhnya akan tergugat." Jika di lihat uraian kritik Dr. R. Robiot tersebut, maka sangat tepat ketika Nabi Muhammad hadir sebagai pembebas terhadap belenggu kebodohan masyarakat jahiliyah yang memosisikan wanita sebagai aib kala itu.

 Dimana Posisi IMMawati

Sebagai sebuah organisasi yang yang menjunjung tinggi Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pedomannya, dengan tujuan untuk mengusahakan terbentuknya Akademisi islam yang Berahlak mulia dalam rangka mencapai Tujuan Muhammadiyah, IMM menempatkan perempuan sebagai lambang kemajuan, bahwa perempuan adalah role model yang membantah justifikasi peran wanita hanyalah sebagai ibu rumah tangga. Kita dapati saat ini perempuan sering mendapat paradigma negatif dan anggapan yang menyatakan bahwa peranan mereka  hanya terbatas dalam urusan domestik sampai pada kiprahnya yang dilepaskan dari klasifikasi sosial.[3] Disinilah kita lihat peran penting IMMawati dalam merubah stigma tersebut.

 Pada esensinya IMMawati adalah gelar atau nama yang diberikan terhadap mereka yang telah tuntas menunaikan kewajibannya dalam organisasi. Namun secara bersamaan, gelar tersebut juga membawa konsekuensi logis terhadap adanya pertanggungjawaban moral (Moral Accountability) dari gelar tersebut. Karena gelar bukan hanya sekedar huruf mati yang di labelkan dalam diri dengan tujuan agar dikenal banyak orang, namun hal yang paling mendasar perihal di dalam-nya adalah tanggungjawab dan kerja nyata sebagai perwujudan menjalankan tanggungjawab tersebut.

Kiprah perempuan menegaskan bahwa perempuan memiliki eksistensi yang sangat berpengaruh. Secara garis besar, ada tiga tugas utama kaum wanita yang ditetapkan oleh Islam, yakni sebagai sakinah, penenang, penenteram (QS ar-Rum [30]: 21), sebagai sumber kecintaan dan kasih sayang (QS ar-Rum [30]: 21), serta sebagai ibu rumah tangga dan pendidik anak (QS an-Nahl [16]: 72). Prinsip yang telah digariskan agama Islam ini memberikan hak setara kepada kaum wanita. Mereka diberikan kedudukan dan keistimewaan untuk menjalani kesempurnaan hidup.

Ada salah satu kutipan yang saya ambil bahwa "IMMawati adalah salah satu roda sekaligus roh dalam organisasi IMM yang sangat penting, bahkan paling utama yang di jaga dan dirawat". Hal tersebut membawa implikasi pemaknaan bahwa pilar utama dalam merawat kemajuan organisasi terletak pada perempuan.

Memikirkan tentang gelar yang didapatkan bukan hal sepele untuk dijadikan candaan, karena itu adalah pusat untuk membawa pemikiran prihal kewajiban dan harus dijalankan dengan hati-hati, nilai-nilai yang di tanamkan dalam proses perkaderan menjadi amanat yang harus di tunaikan. Pahaman liberasi dalam Trilogi Ikatan menjadi basis utama dalam menjelaskan bahwa IMMawati hadir sebagai liberating forces dari belenggu justifikasi primodial yang bekembang.

Bias pemaknaan perempuan sebagai pelengkap cukup membuat telinga kita resah. Paradigma tersebut sebelumnya hanya di adopsi oleh orang-orang jahiliyah, namun hingga kini mengakar bahkan tidak terbendung dalam kehidupan sosial. Tak ayal lagi, bahkan Ketua Umum Pimpinan Komisariat IMM FH UM Bima, Kakanda Raisul Amin Loamena dalam salahsatu artikelnya yang berjudul Busuknya Ham dan Demokrasi turut mengiyakan bahwa perempuan hanyalah sebagai saluran pemuas lelaki. Bahkan dalam tulisan tersebut memberikan suatu Analogi yang menyatakan bahwa Amerika yang menjunjung tinggi demokrasi sampai saat ini belum sepenuhnya rela memberikan bangku kekuasaan Presiden terhadap perempuan.[4]

Bagi saya, paradigma tersebut sangatlah bertentangan dengan pesan-pesan yang di bawa oleh Rasullah. Bahwa Rasulullah memuliakan wanita dengan tiga derajat lebih tinggi dari laki-laki. Hal ini membawa pemaknaan bahwa jika kita uji kelayakan kedudukan perempuan dan laki-laki, jelas laki-laki berada dua tingkat di bawah perempuan. Namun lagi-lagi kecelakaan berpikir cenderung terjadi dan di rawat oleh Ketua Umum IMM FH UM Bima.

Secara fisik, perempuan/IMMawati tidak diragukan lagi akan kelembutan hatinya, tetapi ada sebagian orang salah menafsirkan kelembutan hati perempuan, banyak yang menggagap lemah dan lebih ironisnya mereka menyebutkan bahwa perempuan itu mudah ditipu dayakan. Disinilah IMMawati dituntuk untuk menyikapi dengan sebuah tindakan pembuktian bahwa perkataan itu adalah  suatu fiksi belaka.

Jika kita membuka sejarah, beberapa perempuan hebat mampu memimpin bahkan mempraksarai lahirnya pemberontakan-pemberontakan besar yang menggegerkan dunia. Diantaranya R.A, Kartini, Lennin, Ny. Walidah dan masih banyak lagi tokoh-tokoh perempuan yang bahkan mengalahkan pergerakan kaum lelaki.

IMMawati memang tidak memiliki kekuatan fisik, tapi IMMawati memiliki hati yang lembut untuk mencintai sesama perempuan, baik dalam ruang lingkup organisasi maupun diluar organisasi. Peran penting IMMawati adalah mengusahakan agar perempuan-perempuan bukan hanya bisa belajar menutup auratnya, tutur kata dan batas-batas pergaulan mereka sedikit demi sedikit, tetapi juga harus mampu membendung arus pikiran yang selalu mendiskriminasi perempuan.

IMMawati memang tidak menggunakan kekerasan secara fisik dalam menanggapi setiap problem, karena mereka tahu batas-batas kode ertiknya. Namun, ketika bergerak, mampu menciptakan suatu kondisi yang bahkan mampu menghipnotis setiap manusia. Diamnya IMMawati bukan sebagai tanda kelemahan, melainkan sedang menyimak untuk mengambil sikap selanjutnya. Problem hari ini adalah ancaman untuk masa yang akan datang, sekiranya kita harus menyadari bersama akan hal itu. Semakin kita peka terhadap masalah, semakin mudah pula kita mengatur stuasi. Jangan sekedar melabelkan gelar pada dirimu, karena ikatan tidak butuh manusia apatis, melainkan manusia yang selalu peka terhadap situasi.

 

Daftar Pustaka

Harahap, L. W. (2022). PERAN PEREMPUAN DALAM DAKWAH KONTEMPORER. Jurnal Komunika Islamika: Jurnal Ilmu Komunikasi dan Kajian Islam, 9(1), 40-48.

https://www.kompasiana.com/pikomfhumbima/62a62cfafdcdb442c6562845/busuknya-ham-demokrasi

Muri'ah, S., & Muthohar, A. Islam dan Pembebasan Perempuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun