Ketika merenungkan Pilpres 9 Juli 2014 ini, tiba-tiba saya bertemu dengan artikel ini: http://criticallegalthinking.com/2013/06/10/democracy-or-capitalism/ Isinya antara lain secara filosofis demokrasi selalu berbanding terbalik dengan kapitalisme. Kapitalisme selalu mengusung paham bahwa yang berkuasa adalah yang mempunyai modal, terutama ekonomi (uang) dan politik (kuasa). Maka, kapitalisme menuntut orang untuk mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya. Semakin banyak modalnya, semakin ia berkuasa. Sementara itu, demokrasi membagi kekuasaan ekonomi dan politik kepada semua orang. Konflik antara kapitalisme dan demokrasi ada pada persoalan distribusi: kapitalisme berkepentingan untuk untuk mengumpulkan modal. Bagi dia adalah rasional - dapat diterima nalarnya - Â bila semakin lama seorang kapitalis semakin banyak mengumpulkan modal, baik ekonomis, politis dan sosial. Dia berpikir pembagian modal (baca: kesejahteraan) bagi golongan yang lebih rendah berdasarkan akumulasi modal-modal lain yang sebelumnya sudah mereka dapatkan.
Mereka yang bermodal sedikit, hanya akan dapat mengakumulasi sedikit saja, dan sebaliknya. Mereka yang bermodal besar akan berusaha mempertahankan dirinya dengan mengakumulasi modal sebanyak-banyaknya supaya orang lain (entah yang bermodal berimbang maupun yang dibawahnya) tidak merebut kekuasaannya. Semakin lama orang semakin mengumpulkan modal, secara psikologis ia akan kebanggaan dan kesuksesan. Umumnya, para kapitalis tidak bermain sendiri, melainkan ikatan keluarga akan mempersatukan mereka. Misalnya saja: keluarga borjuis Perancis abad 19. Kapitalisme yang berlebihan akan berubah menjadi diktatorisme.
Demokrasi memainkan peran berbanding terbalik dengan kapitalisme. Demokrasi yang sejati menjamin pembagian modal, baik ekonomi, sosial maupun politik kepada semua orang. Akumulasi modal pada segelintir orang supaya ia bisa berkuasa dilawan dengan sistem pemilihan umum, seperti yang esok hari kita lakukan. Dengan sistem pemilihan yang transparan dan adil, diktatorisme kapitalis bisa dihindarkan karena mereka yang bermodal kecil berada pada posisi yang sama dengan mereka yang bermodal besar, sehingga akumulasi modal oleh para kapitalis tidak terjadi.
Meski demikian, tidak setiap demokrasi, bahkan yang paling transparan sekalipun, memuaskan seluruh warga. Bila demokrasi dirasa tidak menjamin peningkatan kesejahteraan secara signifikan, sebagian besar warga akan kembali setuju dengan diktatorisme kapitalis. Mungkin, itulah yang terjadi dengan bangsa Indonesia akhir-akhir ini dengan romantisisme Suharto. Slogan "isih penak jamanku" muncul di mana-mana.
Pertanyaanya, mengapa demokrasi di Indonesia tidak berjalan seperti yang diharapkan? Tentu, sudah banyak ulasan tentang ini. Ada banyak faktor, entah bersifat teknis maupun filosofis. Secara teknis, wilayah geografis yang sangat luas dan berupa kepulauan mungkin salah satu penyebabnya. Atau mungkin ketidaksiapan perangkat pemilihan umum seperti sumber daya manusia (baik panitia pemilihan maupun pemilih), tingkat pendidikan sebagian besar orang yang rendah, biaya yang tinggi dan sebagainya, membuat proses pemilihan tidak segera membuahkan kesejahteraan sosial.
Secara filosofis, mungkin model "partisipasi" yang diperjuangkan oleh paham demokrasi masih berbenturan dengan alam pikir bawah sadar feodalistik masyarakat Indonesia. Bukan bermaksud merendahkan cara pikir feodalisme maupun orang Indonesia, namun mungkin sistem kerajaan yang sudah berabad-abad mendarah daging dan terus menerus sampai sekarang direpresentasikan ulang dalam berbagai bentuk mimikri pemberian kekuasaan, masih menguasai benak kebanyakan orang Indonesia. Itulah mengapa debat kandidat presiden dan wakil presiden tidak mempunyai efek signifikan bagi para pemilih. Orang memilih bukan secara rasional bahwa ia berpartisipasi dalam pemberian kekuasaan kepada orang yang mempunyai rasionalitas yang baik, tetapi berdasarkan adagium-adagium tradisional yang tidak terkait dengan kekuasaan politis, misalnya: bibit-bobot-bebet, dia dari keturunan macam apa, apakah dia beribadah rajin atau tidak, apakah dia mampu hafal Al Quran atau tidak, bagaimana dedeg-piadege (perangainya), bagaimana cara dia berbicara, bagaimana wibawanya, dan seterusnya. Para pendukung masing-masing calon juga akan menjadi sangat fanatik. Bahkan, argumen irasonalpun akan mudah dilontarkan dan orang lain mempercayainya.
Pada masa sekarang ini para politisi dan kapitalis selalu saling membutuhkan. Para politisi yang menyerukan demokrasi membutuhkan modal yang besar, karena demokrasi di Indonesia berbiaya tinggi. Sementara itu, bagi para kapitalis, Indonesia adalah pasar yang sangat besar. Maka dari itu, setiap partai di Indonesia dan di negara manapun, pasti membutuhkan dukungan modal para kapitalis. Partai bukan melulu alat perjuangan ideologi, tetapi bisa jadi menjadi alat konlomerasi para kapitalis. Tentu, tak ada makan siang gratisan! Ini wajar. Dengan mengeluarkan modal untuk mendukung partai tertentu para kapitalis akan berusaha untuk mendapatkan kembali modal yang telah ia gelontorkan. Maka, alangkah mengerikannya bila yang empunya partai adalah seorang kapitalis itu sendiri. Itu bukan hanya partai politik. Itu sebuah perusahaan!
Yang mengetahui, dialah yang akan menguasai, begitu kata Michel Foucault. Siapa yang mengetahui alam pikir bawah sadar/mental orang Indonesia, dialah yang akan menguasai orang Indonesia. Begitu para kapitalis tadi mengetahui alam bawah sadar orang Indonesia (dan ini persoalan yang mudah bagi mereka karena mereka terbiasa dengan riset selera pasar), merekalah yang akan menguasai orang Indonesia secara halus. Mereka akan menawarkan partai atau tokoh mereka menggunakan cara berpikir feodalistik yang masih hidup di benak orang Indonesia. Dan orang Indonesia secara bawah sadar akan mengiyakan.
Di sisi lain, pekik orang-orang kritis yang menggunakan kata "LAWAN!", "REVOLUSI", Â "ANTI DIKTATOR" dan sebagainya secara bawah sadar akan ditolak dan dianggap tabu oleh orang-orang yang masih mempercayai feodalisme sebagai sumber kekuasaan. Secara bawah sadar orang-orang feodalistik berpikir itu adalah kata-kata kasar dan tidak layak diberikan pada pimpinan.
Pemilihian Presiden tahun 2014 ini hanya memunculkan dua calon: Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Dua-duanya didukung partainya masing-masing dan koalisi atau kerjasamanya dengan partai-partai lain. Masing-masing kubu juga membutuhkan modal. Di kubu PH ada banyak pemilik modal, demikian juga di kubu JKWJK. Kubu JKWJK mencoba mematahkan pat gulipat partai dengan kapitalis ini dengan membuka rekening gotong-royong dan slogan Revolusi Mental. Menurut saya ini langkah yang baik dan maju dalam proses demokrasi kita. Di kubu PH kemudian juga membuka jenis rekening yang sama. Namun, pat gulipat kapital dengan demokrasi ini sulit dipisahkan karena saling membutuhkan. Â Dan yang mengerikan adalah apabila para pemodal itu melakukan segala macam cara supaya tujuannya berhasil: akumulasi keuntungan atas modal. Bahkan, seruan moralpun tidak sangat kuat untuk menghancurkan persatuan modal dengan politik ini.
Kampanye, baik itu negatif, positif, hitam atau putih memang sangat melukai perasaan kita sebagai sesama saudara sebangsa. Namun, bukan berarti kampanye negatif yang jahat itu tidak berhasil membuat orang menentukan pilihan. Banyak orang, meskipun terluka perasaannya, tetap terpengaruh juga oleh kampanye jahat itu. Dalam hal ini, kita bisa melihat betapa rasionalitas (model Barat) masih belum begitu menguasai alam pikir orang Indonesia. Sepertinya, apa yang dikatakan Ben Anderson bahwa bagi orang Indonesia (Timur/Asia) sumber kekuasaan bukan dari akumulasi pemberian warga, tetapi dari wahyu (Tuhan atau titisan nenek moyang) memang benar. Orang tidak membaca kampanye negatif/hitam secara rasional tetapi menghubungkannya dengan kejadian masa lalu yang jauh, misalnya siapa Bapaknya, apakah dia titisan Sukarno dan Suharto, apakah dia komunis atau tidak, dan sebagainya. Dengan pilpres ini kita akan tahu siapa orang Indonesia sebenarnya saat ini.