Mohon tunggu...
Pijar Udayana
Pijar Udayana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bimbingan dan Konseling

Hobi membaca buku dan menonton YouTube

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Kearifan Lokal di Malang: Menjaga Identitas Budaya di Tengah Modernitas

24 Oktober 2024   10:56 Diperbarui: 24 Oktober 2024   11:14 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era globalisasi yang semakin mengglobal, identitas budaya sering kali menjadi taruhannya. Budaya-budaya lokal yang sarat nilai, makna, dan sejarah mulai terkikis oleh pengaruh modernitas yang menjanjikan kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup. Malang, salah satu kota besar di Jawa Timur, bukanlah pengecualian dari fenomena ini. Kota yang dikenal dengan keindahan alamnya dan pesona wisata ini juga memiliki kekayaan budaya yang masih hidup di tengah gempuran perubahan zaman.

Salah satu kearifan lokal yang masih bertahan di Malang adalah tradisi ngalap berkah, praktik spiritual di mana masyarakat melakukan ziarah ke makam tokoh-tokoh yang dihormati atau meminta berkah dari mereka yang dianggap memiliki kekuatan spiritual. Tradisi ini, meskipun terdengar kuno bagi sebagian orang, mengajarkan banyak hal, termasuk rasa syukur, penghormatan kepada leluhur, dan kepercayaan pada kekuatan yang lebih tinggi. Dalam perspektif budaya, ngalap berkah bukan sekadar aktivitas spiritual, tetapi juga merupakan bentuk pengakuan akan keterikatan manusia dengan sejarah dan nilai-nilai kearifan lokal yang telah ada sejak berabad-abad.

Namun, di balik keteguhan sebagian masyarakat mempertahankan tradisi ini, muncul tantangan yang tak bisa diabaikan. Generasi muda, yang hidup di tengah kemajuan teknologi dan serba digital, sering kali merasa terasing dengan tradisi tersebut. Bagi mereka, dunia virtual, media sosial, dan budaya pop jauh lebih menarik dibandingkan melakukan ritual ziarah atau menghadiri upacara adat. Fenomena ini menunjukkan adanya jurang yang semakin lebar antara generasi tua yang ingin melestarikan budaya lokal dan generasi muda yang terpikat oleh dunia modern yang serba instan dan praktis.

Meski begitu, ada angin segar yang menunjukkan bahwa modernitas dan tradisi tidak selalu bertentangan. Di tengah derasnya arus modernisasi, muncul generasi muda yang kembali mencari jati diri melalui eksplorasi budaya lokal. Banyak anak muda yang mulai tertarik mempelajari sejarah nenek moyang mereka, bahasa daerah, serta upacara-upacara adat yang selama ini dianggap usang. Ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan bentuk kesadaran bahwa budaya lokal adalah bagian penting dari identitas mereka. Dengan kata lain, modernisasi tidak selalu menghapus tradisi, tetapi bisa menjadi sarana untuk memperbarui dan memperkaya kearifan lokal.

Salah satu contoh bagaimana budaya lokal dan modernitas bisa saling melengkapi adalah melalui pemanfaatan teknologi untuk melestarikan dan mempromosikan budaya daerah. Banyak komunitas di Malang yang menggunakan media sosial, blog, atau platform video seperti YouTube untuk memperkenalkan adat istiadat mereka kepada dunia. Melalui konten-konten digital, budaya lokal yang dulunya terbatas pada wilayah geografis tertentu kini bisa diakses oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia. Penggunaan teknologi untuk memperkenalkan budaya lokal ini menunjukkan bahwa tradisi tidak harus dihadapkan dengan modernitas sebagai sesuatu yang saling bertentangan. Justru, teknologi bisa menjadi alat yang efektif untuk melestarikan dan memperluas jangkauan kearifan lokal.

Selain itu, pendidikan juga memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan budaya lokal. Sayangnya, banyak kurikulum pendidikan yang terlalu fokus pada aspek akademik dan cenderung mengabaikan pengajaran tentang kearifan lokal. Sekolah-sekolah di Malang, misalnya, lebih banyak memberikan perhatian pada mata pelajaran seperti matematika, sains, dan bahasa asing, tetapi kurang memberikan ruang bagi pelajaran tentang budaya dan sejarah lokal. Akibatnya, banyak anak muda yang tumbuh tanpa pemahaman mendalam tentang warisan budaya mereka sendiri. Padahal, pendidikan budaya sejak dini sangat penting untuk menanamkan rasa bangga dan cinta terhadap identitas lokal.

Untuk menghadapi tantangan ini, salah satu solusinya adalah mengintegrasikan pelajaran budaya lokal ke dalam kurikulum pendidikan formal. Misalnya, di tingkat sekolah dasar, siswa bisa diajak untuk belajar tentang sejarah Malang, bahasa Jawa, serta upacara adat yang masih dijalankan oleh masyarakat. Sementara itu, di tingkat sekolah menengah, siswa bisa didorong untuk melakukan penelitian atau proyek-proyek yang berkaitan dengan pelestarian budaya lokal. Dengan cara ini, generasi muda tidak hanya akan memahami nilai-nilai budaya lokal, tetapi juga akan merasa terlibat secara aktif dalam melestarikannya.

Selain pendidikan formal, komunitas budaya juga perlu didorong untuk terus berperan aktif dalam melestarikan kearifan lokal. Di Malang, terdapat banyak komunitas yang berusaha menjaga warisan budaya seperti seni tari tradisional, wayang kulit, atau upacara adat yang dilakukan pada hari-hari tertentu. Komunitas-komunitas ini tidak hanya melibatkan generasi tua, tetapi juga membuka pintu bagi generasi muda untuk ikut serta dalam kegiatan budaya. Partisipasi aktif dari masyarakat, terutama generasi muda, adalah kunci untuk memastikan bahwa budaya lokal tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman.

Pada akhirnya, pelestarian budaya lokal tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau lembaga pendidikan, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. Setiap individu memiliki peran untuk menjaga agar nilai-nilai budaya tidak hilang di tengah arus globalisasi. Dengan memadukan modernitas dan kearifan lokal, Malang bisa menjadi contoh bagaimana sebuah kota yang maju tetap mempertahankan identitas budayanya. Modernitas dan tradisi bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Sebaliknya, keduanya bisa berjalan seiring dan saling melengkapi, menciptakan harmoni yang unik dan memperkaya kehidupan kita.

Dengan demikian, tantangan terbesar yang kita hadapi bukanlah modernitas itu sendiri, melainkan bagaimana kita, sebagai masyarakat yang berakar pada budaya lokal, dapat mengelola modernitas tersebut agar tidak melunturkan identitas kita. Di sinilah pentingnya pendidikan, partisipasi masyarakat, dan pemanfaatan teknologi dalam menjaga agar budaya lokal tetap relevan dan terus diwariskan kepada generasi yang akan datang. Jika kita bisa melakukan ini, maka modernitas bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperkuat dan mempromosikan kearifan lokal ke seluruh dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun