Mohon tunggu...
Siti Niroresmi Puspitaningdyah
Siti Niroresmi Puspitaningdyah Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswi S1 Pariwisata Universitas Gadjah Mada

Selain suka makan saya juga suka jalan-jalan~

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetaraan dan Pemberdayaan Perempuan dalam Ekowisata

6 Desember 2022   13:50 Diperbarui: 6 Desember 2022   14:01 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: UNESCO

Perkembangan pariwisata di Indonesia mampu beranjak secara pesat jika menilik dari banyaknya angkatan kerja baik pria maupun perempuan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sutrisna (2011) yang berjudul "problematika perempuan bekerja di sektor pariwisata (studi kasus perhotelan)" menjelaskan bahwa persoalan gender selalu  menyertai pekerja perempuan di sektor pariwisata yang mengakibatkan keterbatasan aktivitas kaum perempuan di lingkungan publik sebagai bentuk diskriminasi, marjinalisasi, hal ini terlihat pada disparitas upah dan gaji. Kebanyakan orang masih memandang perempuan sebelah mata karena dianggap tidak kompeten. Munculnya stigma menjadi tantangan utama bagi perempuan untuk turut andil dalam sektor pariwisata.

Padahal jumlah tenaga kerja perempuan yang bekerja pada sektor pariwisata lebih banyak dibandingkan tenaga kerja pria, angkanya bahkan mencapai 60 hingga 70 persen (UNWTO, 2008). World Tourism Organization (UNWTO) menyadari bahwa pariwisata mampu memberikan kesempatan bagi perempuan, kemudian UNWTO meresmikan program Women in Tourism Empowerment Programme (WITEP) bersama dengan UN Women pada Oktober 2011 yang memiliki tujuan untuk mendorong gender equality sekaligus memberdayakan perempuan (UNWTO, 2011).

Berbicara mengenai perkembangan keterlibatan perempuan di pariwisata beberapa dekade terakhir telah lahir sebuah gerakan bernama ekofeminisme. Gerakan ini lahir sebagai bentuk protes kaum perempuan terhadap tirani budaya patriarki yang ditujukan kepada mereka dan lingkungan. Para ekofeminis ini kemudian menerapkan pandangannya pada berbagai bidang termasuk pariwisata (David, 2015). Sebenarnya gerakan seperti ekofeminisme memang bisa memberikan dampak positif seperti penghapusan eksploitasi namun, adakala oknum yang memanfaatkan keadaan untuk menyalurkan keinginan pribadi serta mengatasnamakan kaum perempuan. Ekofeminisme sejatinya akan diterima dengan baik jika mampu mempertahankan visi misinya sejak awal.

Hadirnya ekowisata sebagai salah satu alternative tourism karena adanya permintaan wisatawan untuk mendapatkan pengalaman wisata lebih kearah activity based daripada destination-based dirasa mampu membawa pengaruh positif untuk perempuan yang ikut serta di dalamnya. Ekowisata juga merupakan salah satu elemen penting dalam usaha pembangunan berkelanjutan. Kebijakan pembangunan dalam sektor ekowisata dirangkap berdasarkan keistimewaan domestik tiap negara. Ekowisata sudah muncul sejak tahun 1990 kemudian diangkat kembali oleh The Internasional Ecotourism Society (TIES). Definisi ekowisata sendiri menurut TIES (1990) merupakan bentuk wisata yang bertanggung jawab pada kawasan alam tanpa menyisihkan kelestarian lingkungan serta terus berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Sebetulnya kunci utama dari pengembangan ekowisata pada suatu destinasi berada di partisipasi masyarakat setempat, namun juga perlu dukungan serta pendampingan dari pemerintah, akademisi, komunitas lokal walaupun bukan yang utama.

Pemberdayaan perempuan dalam ekowisata dirumuskan oleh Scheyvens (1999) melalui indikator-indikator berupa dimensi ekonomi, psikologi, sosial, dan politik. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dalam pariwisata dapat diketahui dengan penghitungan Resident Empowerment through Tourism Scale (RETS). RETS adalah konsep yang digunakan untuk mengukur kondisi berdaya masyarakat akibat adanya pariwisata. Pengukuran kondisi berdaya tersebut didasari pada penilaian tanggapan masyarakat akan pariwisata di kawasannya. Konsep ini dirumuskan oleh Boley & McGehee (2014) dengan mengadopsi teori pemberdayaan pariwisata oleh Scheyvens (1999). Seperti disebutkan sebelumnya pada teori Scheyvens, terdapat empat dimensi pemberdayaan perempuan dalam pariwisata, yaitu pemberdayaan ekonomi, psikologis, sosial, dan politis. Akan tetapi, dalam konsep RETS hanya tiga dimensi pemberdayaan yang diukur, yakni pemberdayaan psikologis, sosial dan politis (Boley & McGehee, 2014). Pemberdayaan secara ekonomi tidak masuk dalam perhitungan RETS karena dianggap semata-mata terfokus pada kesejahteraan ekonomi masyarakat saja sehingga tidak dapat diaplikasikan kepada individu. Sebenarnya pembangunan pariwisata merupakan kegiatan yang multidimensional, tidak hanya semata perkara ekonomi saja. Selain itu, pemberdayaan secara ekonomi dapat didapati melalui perolehan data sekunder, seperti penghasilan dan sumber tenaga kerja (Boley & McGehee, 2014: 86).

Salah satu upaya pemberdayaan perempuan melalui ekowisata dilakukan di Desa Bahoi. Desa Bahoi berada di Kabupaten Minahasa Utara, Kecamatan Likupang Barat mempunyai potensi ekowisata bahari yang sangat menarik karena tidak hanya mempunyai kawasan mangrove yang luas, tetapi juga pantai pasir putih dan terumbu karang yang sangat indah. Sehingga kawasan ini mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai ekowisata bahari sebagai salah satu destinasi wisata di provinsi Sulawesi Utara selain Taman Nasional Bunaken (Muliya, 2015).

Pengelolaan ekowisata di Desa Bahoi didasarkan pada kemampuan serta ketrampilan masyarakat baik pria maupun perempuan. Beberapa peran perempuan seperti mengelola homestay, mereka yang terlibat adalah mereka yang rumahnya lolos kualifikasi homestay. Selain itu perempuan juga mengelola wisata kuliner, mengelola website dan marketing serta membuat kerajinan tangan berupa anyaman.

Dilihat dari tingkat keterlibatan perempuan pada pengelolaan ekowisata Desa Bahoi memang cukup baik, namun jika dikulik lagi pelibatannya hanya terbatas pada bidang homestay, kuliner, dan ketrampilan lain yang dianggap cocok jika dikelola oleh perempuan, masih minim dalam aspek gender equality. Untuk mendukung kesetaraan serta pemberdayaan perempuan secara maksimal sudah sepatutnya perempuan diberi kesempatan untuk berperan secara aktif dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi pengembangan ekowisata.

"Seharusnya gender sudah bukan menjadi isu lagi. Sudah saatnya semua pihak memainkan peran yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Selama masing-masing individu memiliki kompetensi yang mumpuni, kenapa harus dibatasi dengan isu gender? Sebagai perempuan tentu tidak perlu mengkotak-kotakkan diri. Kita akan melakukan pekerjaan sesuai porsi dan kemampuan kita, tanpa ada batasan gender." (Wiwik Mahdayani, 2020).

Satu temuan kunci yang muncul dari pembahasan diatas bahwa kaum perempuan sebenarnya tidak melulu dirugikan dari pengembangan ekowisata yang kurang tepat. Sebaliknya, mereka bisa mendapatkan manfaat besar dari beberapa perencanaan yang disusun dengan baik dan dalam kasus lain mereka telah berhasil mengambil tindakan untuk memastikan bahwa kemajuan ekowisata dapat sesuai dengan kepentingan langsung mereka seperti peningkatan kepercayaan diri dan keinginan untuk memperluas pendidikan. Namun kemungkinan ada peluang lebih lanjut bagi perempuan untuk terlibat dalam ekowisata belum terkejar secara memadai, karena sebagian besar usaha pengembangan ekowisata sejauh ini belum ada yang berhasil untuk mempertimbangkan secara eksplisit bagaimana mereka dapat mengadakan produk yang lebih baik dengan secara aktif menggabungkan pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki kaum perempuan.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun