Mohon tunggu...
Adnan Anwar
Adnan Anwar Mohon Tunggu... -

Indahnya berbagi ilmu dan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Teman Baru

26 Mei 2011   09:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:12 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Udara di sini membuat seluruh tubuhku berkeringat. Panas. Matahari bersinar memancarkan panasnya seperti tak peduli pada orang-orang di sini yang semakin kegerahan. Memang beda dengan tempat asalku di Kalimantan di Jawa lebih panas. Tak tahu mengapa padahal dari garis khatulistiwa lebih dekat Kalimantan daripada Jawa. Tetapi untung saja aku mempunyai ibu yang selalu di dekatku, siap melayani apapun kebutuhanku dan bagaimanapun keadaannya.

“Sss…..t, jangan menangis terus!” Ibuku mengibaskan kipas di tangannya sambil mengendong aku. Aku ingin bicara banyak padanya tetapi kalau aku bicara ibu selalu menanggapi dengan perkataan :”Jangan menangis!” dan dikiranya aku lapar. Disodorkannya sebotol susu ke mulutku. Aku tak mau minum. Aku tak lapar. Aku hanya ingin mengungkapkan rasa sayangku padanya.

“Dari tadi nangis terus, sini gantian , biar aku yang gendong. Anak manis sama bapak, ya!” Kali ini aku pindah tangan. Ayahku sangat baik, kadang diceritakannya tentang bebek, tentang rosul, tentang islam dan masih banyak lagi. Beliau selalu mengatakan, “Besok kalau sudah besar harus jadi orang yang bertakwa, berbakti pada orang tua.” Begitu katanya.

Aku dibawa keluar oleh bapakku. Aku diam, soalnya kalau ngomong akan membuat ayah dan ibuku sedih dan murung. Udara lebih segar di luar. Banyak pepohonan, itulah yang aku suka di Jawa. Di Kalimantan juga ada pohon tetapi beda dengan di sini. Di sini pohonnya kecil-kecil, aku bisa menyentuh ujungnya, itupun kalau ada yang menolongku. Sementara ayahku terus berjalan melewati halaman, masuk ke jalan depan rumah lalu belok kiri. Aku mengamat-amati pemandangan di sekitar jalan.

“Lihat. Orang-oranmg sedang gotong-royong.” Sambil memutar badan ayah menghadapkan mukaku ke orang-orang di jalan yang sedang ramai. Rupanya ini yang dinamakan gotong-royong. Sangat beragam pekerjaan mereka. Ada yang mengambil pasir, menata batu, ada juga yang banyak omong, tuding sana tuding sini.

“Yang menunjuk-nunjuk iu pemimpinnya, Nak. Kalau sudah besar kamu juga harus jadi pemimpin. Jangan hanya jadi kacung yang kerjaannya hanya diperintah orang.” Kami berhenti di atas jembatan, kira-kira lima meter dari orang-orang yang sedang gotong-royong. Aku terus mencoba menangkap apa yang dikatakan ayah.

Kuperhatikan mereka sangat bersemangat. Diantara orang-orang itu terlihat seorang anak, tapi agaknya aneh. Celananya pendek hitam dan telanjang dada. Ia juga memperhatikan orang-orang tapi tak ikut bekerja. Aku memperhatikannya dari jauh.

Lama-lama tahu juga ia kalau aku memperhatikannya. Ia mendekat ke sini. Aneh, kenapa ayahku sepertinya tak peduli pada anak ini, biasanya kalau ada orang asing mendekatiku beliau langsung menyapa dan memperkenalkannya padaku. Semakin dekat wajahnya tampak jelas dan ia beda dengan kebanyakan orang yang kukenal.

“Hei, siapa kamu?” tanyanya

“Kamu ngomong denganku?”Aku balik tanya.

“Siapa lagi?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun