[caption id="attachment_335867" align="aligncenter" width="300" caption="Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Gambar: Tribune News)"][/caption]
“Lagi-lagi dewan…lagi-lagi dewan!”
Ya, itulah kata-kata yang terucap ketika menyaksikan tontonan berita televisi dan headline berita surat kabar dan media-media online akhir-akhir ini. Bosan rasanya melihat acara televisi yang selalu diwarnai dengan adegan-adegan tidak mendidik dari sebagian anggota dewan di negeri ini. Mau muntah (pinjam Nurul Arifin) rasanya membaca berita yang hanya berisi kisruh dewan melulu.
Setelah sekian lama rakyat muntah-muntah melihat kisruh dewan di Senayan, kini anggota DPRD DKI Jakarta pun mulai berulah atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat, dan katanya lagi, hendak memberikan pendidikan dan pembelajaran politik kepada rakyatnya(?). Dari segi pendidikan politik, entah unsur pendidikan dan pembelajaran politik macam apa yang hendak diajarkan kepada rakyat. Sedangkan aksi-aksi yang dipertontonkan hanyalah aksi kekanak-kanakan yang cenderung menunjukkan ketidakcerdasan dan ketololan mereka.
Manfaat apa yang dapat dipetik dan dirasakan oleh rakyat jika ulah dan aksi anggota dewan jelas-jelas mencerminkan isi kepala dewan yang hanya dipenuhi dengan hawa nafsu kekuasaan? Sangat menyedihkan melihat kenyataan di pihak elit saat ini yang selalu tidak mau kalah atau mau menang sendiri dan merasa benar sendiri. Apakah kenyataan seperti ini yang mau diajarkan kepada rakyat?
DPRD DKI Jakarta kembali menunjukkan hal yang sama yang pernah dilakukan oleh DPR RI belum lama ini. Masih jelas dalam ingatan bahwa perseteruan dan pertikaian di antara dua kubu koalisi di DPR RI (Koalisi Merah Putih dan Kolisi Indonesia Hebat) saling unjuk gigi dalam memperebutkan kursi kekuasaan pimpinan dan alat kelengkapan dewan yang berujung pada mosi tidak percaya dan dualisme kepemimpinan dari pihak koalisi yang kalah. Aksi yang sama pun tengah dipertontonkan saat ini oleh para anggota dewan di parlemen DKI.
Kekisruhan parlemen DKI bermula dari polemik berkepanjangan seputar penetapan Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Ir. H. Joko Widodo yang telah menduduki kursi RI 1. Ada berbagai macam tafsiran terhadap undang-undang yang berkaitan dengan boleh atau tidaknya Ahok (sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama) menggantikan Jokowi (sapaan akrab Ir. H. Joko Widodo) sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Saya tidak akan membahas secara khusus tentang isi undang-undang apa/mana yang menjadi pro-kontra tersebut. Secara garis besar, yang menjadi penyebab kekisruhan di parlemen DKI saat ini adalah ada kubu yang pro (KIH) dan ada kubu yang kontra (KMP) dengan rencana penetapan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi. Kubu KIH mengatakan bahwa Ahok secara otomatis harus ditetapkan sebagai Gubernur menggantikan Jokowi ketika Jokowi telah ditetapkan/dilantik sebagai Presiden RI. Sedangkan kubu KMP mengacu pada undang-undang lain yang menyatakan sebaliknya. Entah mana yang benar dan/atau mana yang salah(?). Kenyataan ini sangat membingungkan rakyat.
Kubu KIH berada pada posisi yang sama dengan pemerintah pusat yakni Kementerian Dalam Negeri RI yang telah memerintahkan DPRD DKI Jakarta untuk segera menetapkan dan/atau melantik Plt. Gubernur DKI Jakarta, Ahok, menjadi Gubernur DKI Jakarta definitif hingga tahun 2017 mendatang. Sedangkan kubu KMP berada pada posisi yang sama dengan Front Pembela Islam (FPI) yang secara mati-matian menolak penetapan dan/atau pelantikan dimaksud.
Perbedaan pandangan dua kubu yang sangat tajam ini akhirnya berujung pada ketidakhadiran seluruh anggota dewan dari kubu KMP dalam Sidang Paripurna Istimewa DPRD DKI Jakarta (Jumat, 14 November 2014) dalam rangka menetapkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Perbedaan yang sangat tajam itu pula berimbas pada munculnya wacana dari kubu KMP untuk melaksanakan Sidang Paripurna Istimewa tandingan. “Sedikit-sedikit tandingan…! Sedikit-sedikit tandingan…! Tandingan kok cuman sedikit?” (he..he..)
Penolakan terhadap Ahok untuk menduduki kursi DKI 1 sebenarnya telah dimulai sesaat setelah Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur resmi dicalonkan menjadi calon presiden oleh PDIP untuk Pilpres 2014. Rupanya pencalonan Jokowi running for president tersebut sudah menjadi momok tersendiri dan sekaligus menimbulkan kekuatiran luar biasa bagi kelompok yang juga ingin bersaing dalam pilpres. Begitu pula kekuatiran yang sama dialami oleh oknum dan kelompok tertentu di DKI yang tidak rela DKI bakal dipimpin oleh Ahok yang bermata sipit dan Nasrani itu jika akhirnya Jokowi harus menang pada pilpres.
Kekuatiran yang berlebihan tersebut melahirkan kreatifitas negatif untuk menjegal langkah Jokowi ke istana negara, sekaligus menghalangi langkah Ahok menjadi orang numero uno di Balaikota Jakarta. Black campaign berupa Isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) diangkat sebagai senjata pamungkas untuk menyerang Jokowi dan Ahok sekaligus. Jokowi dituduh kafir karena selalu/sengaja menggandeng pasangan non Muslim di dua ajang pilkada yang berbeda. Di Solo, Wakil Walikota F. X. Hadi Rudyatmo akhirnya menjabat Walikota Solo setelah Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan jangan sampai di Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T. Purnama akan menjadi Gubernur jika Jokowi lolos melenggang ke Isatana Kepresidenan.
Pada akhirnya, segala kekuatiran yang menghantui menjadi kenyataan yang tidak bisa tidak diterima. Jokowi, di luar dugaan kubu pesaing, keluar sebagai pemenang pilpres dan mau tidak mau Jokowi pun nantinya harus menitipkan Jakarta kepada wakilnya yang bukan beragama mayoritas. Untuk kedua kalinya Jokowi harus menyerahkan kursi emas DKI 1 yang digiuri banyak pihak kepada si Nasrani dan bermata sipit pula. Apa kata para “peserakah” kekuasaan yang hanya bisa menatap tanpa daya sambil meratapi langit? “Sakitnya di sini..!” sambil menekan dada (he..he..dangdut).
Sebut saja satu, dua, atau lebih anggota dewan dari kubu KMP yang gencar menolak penetapan Ahok sebagai Gubernur definitif (atau mungkin sedang birahi kekuasaan) dengan pontang-panting mencari-cari celah undang-undang yang sekiranya bisa menjegal langkah Ahok. Sebenarnya alasan undang-undang yang diumbar tersebut hanyalah topeng yang dipakai untuk menutupi “wajah garis keras” yang melekat pada diri mereka selama ini. Mereka adalah para pengecut yang bisanya cuma “lempar batu sembunyi tangan”, dan hanya bisa bersembunyi di balik ketiak FPI (Front Pembela Islam) yang secara terang-terangan menolak Ahok hanya karena Ahok beragama Kristen, yang disebut-sebut sebagai orang kafir, bahkan Ahok dikatakan sebagai musuhnya Islam.
Sungguh ironi, Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini diobrak-abrik oleh segelintir oknum dan/atau organisasi massa (ormas) yang sengaja berlindung di balik Islam untuk melawan hukum positif yang berlaku. Ormas yang menganut paham anarkisme ini pun dengan leluasanya menunggangi Islam dan sekaligus meng-kambinghitam-kan Islamuntuk menghalalkan segala tindakan biadab mereka yang tidak Islami. Oleh karenanya, pantas juga jika Ahok menyebutnya ormas yang menyimpang dari jalan Tuhan ini sebagai Front Perusak Islam dan tidak layak untuk hidup di Indonesia.
Kini Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah resmi ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan tinggal menunggu waktu pelantikan oleh Presiden atau Wakil Presiden atau Mendagri pada 18 November 2014 mendatang.
“Selamat bekerja, bapak Gubernur DKI Jakarta yang baru, bapak Basuki Tjahaja Purnama!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H