Mohon tunggu...
Pietro Netti
Pietro Netti Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pribadi Independen, Penghuni Rumah IDE, KARYA & KREASI. Kupang-Nusa Tenggara Timur. \r\n\r\nhttp://pietronetti.blogspot.com, \r\nhttp://rumahmuger.blogspot.com.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Faktor Penentu Elektabilitas Capres-Cawapres [Kilas Balik Pilpres 2014 -- #3]

12 November 2014   08:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:01 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14157299051316446941

[caption id="attachment_334743" align="aligncenter" width="300" caption="Grafik Tingkat Elektabilitas (Gambar: okemando.com"][/caption]

Hiruk-pikuk pilpres sudah berlalu, dari penentuan capres-cawapres, musim kampanye yang diwarnai saling hujat dan fitnah, hari-H pemilihan presiden/wakil presiden yang menghasilkan dua presiden terpilih sekaligus berdasarkan quick count lembaga-lembaga survey yang dipertanyakan independensinya, penetapan presiden/wakil presiden terpilih oleh KPU yang tidak diakui oleh pihak yang kalah, pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena diduga telah terjadi kecurangan-kecurangan yang bersifat masif, terstruktur dan sistematis, keputusan MK yang menolak seluruh gugatan pihak pemohon, sampai pada pelantikan presiden/wakil presiden RI yang digadang-gadang akan di-boikot.

Hiruk-pikuk yang terjadi sempat meresahkan dan memberi dampak negatif kepada rakyat sebagai akibat dari intrik dan manuver politik elit yang tidak bermartabat. Hiruk-pikuk yang terjadi nyaris memecah-belah persatuan dan kesatuan, dan memicu perseteruan abadi di dalam tubuh anak bangsa. Mungkin semua yang telah dilalui bisa menjadi pelajaran penting dan berharga yang patut menjadi perhatian kita semua untuk menghindari terjadinya gesekan-gesekan yang mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara di masa-masa mendatang, baik bagi mereka yang akan berkompetisi sebagai calon pemimpin maupun bagi rakyat yang akan menentukan pilihan politiknya. [Lihat tulisan sebelumnya: Saat Saya Harus Memilih]

Pada persaingan pilpres kali lalu, setiap pasangan capres-cawapres (baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK) yang bertarung tentu menginginkan tingkat elektabilitas yang tinggi. Tingkat elektabilitas calon tersebut dapat dilihat dari popularitas capres-cawapres di mata rakyat. Calon pemimpin yang popular adalah calon yang sudah dikenal luas oleh rakyat dan sudah pasti banyak diperbincangkan baik di tingkat elit maupun di kalangan rakyat kecil. Khusus di kalangan rakyat kecil, sosok yang popular pasti dibicarakan dimana-mana; di kedai kopi, pasar rakyat, sawah, ladang, terminal, dll.Kita akan banyak mendengar siapa yang lebih sering dibicarakan kemungkinan besar (atau bisa dipastikan) lebih popular.

Melihat “pertarungan” pada pilpres 9 Juli 2014 lalu, kedua pasangan calon tersebut sama-sama memiliki tingkat popularitas yang cukup tinggi di mata rakyat Indonesia. Siapa yang tidak mengenal sosok pasangan calon nomor urut 1 (Prabowo-Hatta) dan pasangan calon nomor urut 2 (Jokowi-JK) tersebut? Seluruh rakyat sudah mengenalnya. Namun seiring berjalannya waktu popularitas setiap pasangan calon bisa merangkak naik maupun melorot ke dasar jurang yang dapat berpengaruh pada tingkat elektabilitas calon. Ada faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan oleh setiap pasangan calon guna menjaga popularitas mereka, karena faktor-faktor tersebutlah yang menjadi perhatian rakyat dalam menentukan pilihannya.

(a) Visi dan misi menjadi salah satu faktor yang bisa menarik perhatian publik dalam menentukan pilihannya. Terbukti dalam pemaparan visi-misi dalam debat capres yang disiarkan televisi nasional, walaupun tidak terlalu signifikan, turut memberi dampak terhadap peningkatan popularitas masing-masing calon di mata rakyat. Dikatakan tidak terlalu signifikan karena visi-misi yang dipaparkan kedua calon (baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK) tidak menunjukkan perbedaan-perbedaan yang mencolok, atau boleh dikatakan sama. Namun demikian, visi-misi capres/cawapres tetap sangat penting, karena visi-misi menunjukkan cita-cita, program kerja, dan aksi nyata yang akan dilakukan di saat sang calon presiden dan wakil presiden terpilih nanti.

(b) Track record (rekam jejak) sangat menentukan keberpihakan publik. Hampir seluruh rakyat Indonesia telah mengenal sosok dan ketokohan capres-cawapres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Sama-sama telah memiliki segudang pengalaman dalam hal mengabdi kepada bangsa dan negara. Tidak salah jika rakyat dalam menentukan pilihannya akhirnya harus membanding-bandingkan (berdasarkan pikiran dan/atau perasaan rakyat) siapa yang terbaik dari yang terbaik. Dan menurut analisis (pikiran/perasaan) saya dan sebagian besar rakyat Indonesia, Jokowi-JK memiliki track record yang relatif sangat baik dibandingkan dengan Prabowo-Hatta.

Khusus tentang Jokowi, bukan hanya rakyat Solo atau DKI Jakarta saja yang mencintainya, melainkan seluruh rakyat Indonesia di berbagai daerah mencintainya. Dari pemberitaan-pemberitaan yang ada, Jokowi hampir tidak memiliki cacat dalam kepemimpinan. Apalagi Jokowi dikenal sebagai sosok yang sangat memperhatikan dan membela hak rakyat kecil. Kebijakan-kebijakan yang diambil seluruhnya untuk kepentingan rakyat kecil. Seluruh rakyat Indonesia mengetahui sepak terjang Jokowi tersebut. Sampai-sampai seluruh rakyat di pelosok negeri ini mengidam-idamkan sosok pemimpin di daerahnya agar bisa seperti dan/atau bekerja ala Jokowi.

(c) Karakter dan kepribadian adalah salah satu faktor penting yang sangat menunjang elektabilitas capres-cawapres. Rakyat sangat mengidam-idamkan sosok pemimpin bangsa yang memiliki karakter dan kepribadian yang baik dan kuat. Sosok yang rendah hati, murah hati, berpikir dan bekerja dengan hati sangat dicintai oleh rakyat. Karakter dan kepribadian seperti ini tidak bisa direkayasa dan dimanipulasi untuk mengelabui rakyat. Rakyat sudah pandai dalam membaca dan mengidentifikasi semua gerak-gerik tubuh para calon yang berasal dari hati. Segala sesuatu yang keluar dari hati akan sampai juga ke hati. Kepura-puraan dan kemunafikan hanya akan menelanjangi karakter dan kepribadian seseorang yang sesungguhnya.

Karakter dan kepribadian adalah faktor yang sangat kuat dimiliki oleh Jokowi-JK. Faktor ini pulalah yang sangat mendongkrak popularitas dan elektabilitas Jokowi-JK. Khusus tentang Jokowi, ia memang telah dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dengan rakyatnya baik saat masih sebagai Walikota maupun saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Jokowi, dalam berbagai kesempatan, tidak berusaha menjaga jarak dengan rakyatnya. Dan itu dilakukannya bukan untuk pencitraan dan cari muka, tapi merupakan cerminan kepribadian Jokowi yang asli apa adanya.

Dalam menjalankan tugasnya, Jokowi selalu membuka diri untuk dikritik, dan membalas kritik dengan kerja, kerja dan kerja. Jokowi pun tidak pernah membalas cercaan, hinaan dan bahkan fitnah lawan-lawan politiknya. Jokowi tidak pernah membalas “serangan-serangan lawan” dengan cara “menyerang balik”, atau tidak membalas kritik dengan kritik, atau tidak membalas jahat dengan jahat. Ini adalah salah satu karakter dan kepribadian Jokowi yang sangat unik dan tidak dimiliki oleh Prabowo Subianto. Sifat dan kepribadian seperti ini menunjukkan tingkat kematangan intelektual dan emosional yang sangat tinggi yang mau tidak mau rakyat sangat bersimpati dan mencintainya. Setiap serangan dan/atau kritik pasti rakyat sendiri yang membela dengan cara memberi dukungan (hak suara) kepadanya.

(d) Black Campaign/Kampanye Hitam adalah satu senjata yang biasa dipakai untuk menyerang pihak lawan politik. Serangan-serangan yang tidak beralasan tersebut sengaja dibuat untuk menjatuhkan citra lawan politik di mata konstituen pemilih. Sayangnya, isi black campaign itu sendiri adalah cenderung fitnah dan selalu fitnah, karena tidak berdasarkan fakta dan bukti yang benar-benar terjadi. Dan percaya atau tidak, black campaign bisa menjadi pendongkrak popularitas dan meningkatkan elektabilitas calon/pasangan calon yang diserang.

Pada pertarungan pilpres kali lalu, black campaign sangat marak terjadi di antara dua kubu pendukung capres-cawapres.Dari sudut pandang saya, pasangan Jokowi-JK (khususnya Jokowi) sangat banyak mendapat serangan. Serangan-serangan black campaign yang marak ditujukan kepada Jokowi jugalah yang sangat signifikan mengangkat popularitas Jokowi di mata publik. Black campaign yang diciptakan kubu yang pro Prabowo memang sungguh di luar nalar/akal sehat. Walau pun kedua kandidat, Jokowi dan Prabowo sama-sama merasa tersakiti, namun rakyat yang cerdas dan memiliki hati nurani bisa melihat dan merasakan siapa di antara keduanya yang paling disakiti.

Bagaimana mungkin seorang Jokowi dikatakan bukan Islam, hanya karena ada sederetan nama-nama non Islam yang mendukung pencalonan Jokowi? Bagaimana mungkin seorang Jokowi disebut-sebut sebagai Presiden Boneka (boneka-nya Megawati SP) jika terpilih nanti, hanya karena Jokowi adalah kader partai yang dipimpin oleh Megawati SP? Bagaimana mungkin Jokowi dan keluarganya dituduh sebagai PKI, hanya karena pernyataan ibunda Jokowi yang dengan tegas mengatakan akan bergerilya untuk memenangkan puteranya menjadi Presiden? Dan masih banyak lagi cemooh, caci-maki, hujatan dan fitnahan yang ditujukan kepada Jokowi yang didiamkan begitu saja dan tidak sedikit pun diusut oleh aparat penegak hukum. Prabowo pun diam seakan-akan menikmati serangan-serangan yang ditujukan kepada Jokowi tersebut oleh para pendukungnya tanpa sedikit pun “menegur” para pendukungnya yang gemar “menyakiti” lawan.

Saling “tembak” di antara dua kubu tidak terelakkan, dan justru “tembak-menembak” tersebut dimotori oleh elit masing-masing kubu yang berimbas pula pada saling “tembak” di tingkat bawah. Elit di tingkat atas yang katanya orang-orang pintar/cerdas menunjukkan sikap yang tidak simpatik dan dan tidak elegan yang akhirnya menyebabkan perpecahan di tubuh elit pendukung itu sendiri. Fenomena ini menjadi preseden buruk bagi rakyat kecil di tingkat bawah, termasuk saya yang juga rakyat kecil. Ada tontonan menggelikan yang dilakoni oleh elit negeri ini yang sungguh tidak mencerminkan keadaban dan kepribadian bangsa.

Jika demikian, salahkah saya bila terlanjur memberi nilai ‘merah’ pada semua sifat dan kelakuan yang sedikit pun tidak mencerminkan nilai, norma dan etika berbangsa dan bernegara? Jika sifat dan kelakuan yang dipertontonkan seperti yang telah disebutkan di atas (tidak terhormat, tidak bermartabat, tidak berperikemanusiaan), patutkah saya memberi nilai ‘baik’? “No way!”

Saat ini saya sangat berharap jika penilaian yang saya utarakan di atas yang sudah terlanjur melekat di hati dan pikiran saya (atau mungkin di hati dan pikiran sebagian besar rakyat Indonesia) itu salah. “Mudah-mudahan!” [Next: Saatnya Bersatu Untuk Indonesia Raya]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun