[caption id="attachment_336698" align="aligncenter" width="300" caption="TNI & Polri (Gambar: RADARONLINE.CO.ID)"][/caption]
Oleh: Pietro T. M. Netti
Batam, Kepulauan Riau, kembali bergejolak. Hujan peluru menderas langit malam negeri Lancang Kuning (Rabu, 19 November 2014).
Bentrok TNI-Polri kembali berkecamuk hanya karena dipicu persoalan sepele. Saling tatap menggoda antara beberapa oknum aparat keamanan tersebut mengakibatkan perseteruan yang menyeret dua institusi yang sama-sama memiliki angakatan bersenjata. Pandang bertemu pandang mengusik rindu dendam yang terpendam. Hujan peluru pun berkecamuk mengusik ketenangan rakyat sipil di jalan Trans Barelang-Trembesi, Batam. Oknum aparat yang berseteru diketahui berasal dari Yonif 134/Tuah Sakti dan Satuan Brimob Polda Kepri.
Sebelumnya, masih lekat dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu yang juga terjadi di negeri tetangga Singapore ini (21 September 2014), telah terjadi ketegangan di antara institusi TNI dan Polri sebagai akibat dari jatuhnya 4 korban luka dari pihak TNI AD yang tertembak oleh senjata aparat kepolisian. Bermula dari penggerebekan oleh aparat kepolisian terhadap gudang penyimpanan bahan bakar minyak illegal oleh oknum pengusaha setempat. Dari hasil penyelidikan tim investigasi gabungan bentukan TNI-Polri, Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya mengatakan bahwa ada anggota Yonif 134 yang menjadi tenaga pengamanan tempat penimbunan BBM tersebut (MERDEKA.COM).
Bentrokan yang terjadi (Rabu, 19/11/2014) akibat lirikan mata ini mengakibatkan 1 anggota Yonif 134/Tuah Sakti tewas dalam baku tembak kontra Brimob Polda Kepri. Anggota TNI yang tertembak dan yang belum diketahui identitasnya ini tewas sesaat setelah dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Embung Fatimah. Korban diduga mengalami pendarahan hebat akibat tertembak di bagian dada dan pundak. Sementara itu, informasi terbaru menyebutkan, masih ada seorang anggota TNI Yonif 134 lainnya yang ikut dilarikan ke RSUD Embung Fatimah dengan ambilans Yonis 134. Anggota TNI tersebut mengalami luka-luka (JPNN.COM).
Pantauan melalui MetroTV semalam menunjukkan arogansi aparat keamanan yang tidak memikirkan ketertiban dan ketenangan umum. Adu tembak berlangsung di tengah hiruk pikuk aktifitas masyarakat yang sedang bergelut dengan kehidupan. Suasana mencekam dipertontonkan di hadapan publik. Adu kuat dua institusi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat tersebut menjadi teror yang menakutkan. Jika kejadian seperti ini selalu saja terjadi, kemana/kepada siapa lagi rakyat harus mencari perlindungan? Apakah rakyat pantas meminta perlindungan kepada mereka yang hanya bisa membuat onar dan teror?
Bentrok TNI-Polri telah menjadi fenomena biasa di negeri ini semenjak Reformasi 1998, yakni sejak diberlakukan pemisahan fungsi dan tugas kedua institusi tersebut. “Ada apa sebenarnya dengan kedua lembaga ini?” Ini menjadi pertanyaan yang tak terjawab untuk sekian lama tahun sejak memasuki Orde Reformasi. Secara umum peran dan tugas TNI dan Polri sebagai berikut: TNI menjaga keamanan dan pertahanan negara, dan Polri lebih ke memberikan pelayanan masyarakat (DATABASEKONTEN.COM).
“Lalu kenapa selalu saja terjadi gesekan di antara kedua lembaga ini?”
Berikut ini adalah liputan KOMPAS.COM (9 Mei 2012): TNI dan Polri Mutlak Berubah
“Upaya menekan arogansi TNI dan Polri mutlak dilakukan dengan perubahan mendasar di tubuh kedua institusi itu. Masalah yang mengakar di kedua institusi itu harus diselesaikan secara tuntas untuk memastikan anggotanya benar-benar mengabdi kepada rakyat, bukan ”musuh” rakyat.
Menurut pengajar Universitas Pertahanan, Jakarta, Anton Aliabbas, pasca-pemisahan dari TNI, tidak terlihat perubahan mendasar yang dilakukan Polri, termasuk militerisme yang tidak dihilangkan. Polri tidak dibangun dengan wajah yang lebih humanis. ”Selama ini, penanganan oleh Polri sedikit banyak pengaruh militeristik, bukan mengedepankan bahwa polisi itu harus melayani,” kata Anton, Selasa (8/5/2012).
Sementara itu, upaya perubahan di TNI pun menghadapi kondisi tak kalah kompleks. TNI membawa beban masa lalu yang menempatkan mereka sebagai ”warga kelas satu”. ”Problem ini mau tidak mau kemudian memengaruhi arogansi,” lanjutnya.
Ia mencontohkan soal penggunaan senjata. Semestinya senjata hanya digunakan anggota yang bertugas. Tidak semua satuan di Polri perlu membawa senjata. Untuk TNI, aturannya mesti lebih ketat. Tidak ada senjata yang dibawa kalau anggotanya tidak menjalankan tugas operasi, tidak ada senjata yang dibawa pulang ke rumah.
”Kalau ada pelanggaran, tidak ada lagi sanksi yang hanya berupa etika atau disiplin. Semua harus dibawa ke pengadilan. Pelanggaran marak karena mereka merasa sanksinya ringan. Masa mukulin orang cuma sanksi etika atau disiplin?” ujar Anton.
Pengamat militer dari Universitas Indonesia, Edy Prasetiono, menilai, situasi keamanan yang gamang ini merupakan hasil dari minimnya kemampuan elite, yaitu pemerintah dan parlemen, dalam menganalisis dan membuat kebijakan keamanan. Analisis masalah tak sampai ke akarnya.
Edy menyatakan, sebenarnya sudah ada pembagian kewenangan jelas antara TNI dan Polri. TNI berfungsi untuk pertahanan internal dan eksternal. Polri bertanggung jawab dalam ketertiban masyarakat, yang demi tujuan ini melakukan penegakan hukum, pengayoman, dan perlindungan masyarakat.
Edy mengusulkan ada sistem perekrutan anggota Polri yang lebih ketat sehingga dihasilkan aparat profesional. Pengawasan yang selama ini dipegang Komisi Kepolisian Nasional harus lebih diperkuat. Untuk TNI harus diperbanyak pelatihan dan penyusunan sistem pengawasan yang ketat.
Arogansi aparat, kata Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Benny Susetyo, menunjukkan dilupakannya fungsi dan tugas melindungi rakyat. Hal itu diperparah tak adanya pemimpin yang berwibawa.
Jika ada kemauan politik dan kewibawaan pemimpin, semestinya kedua lembaga itu bisa ditata. Nilai-nilai Sapta Marga dan Bhayangkara bisa dihayati dan menjadi aturan main di lembaga penegak hukum itu.
Namun, pengajar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Surabaya, Radian Salman, menilai, sesungguhnya TNI dan Polri masih memahami fungsinya. Masalahnya, ujarnya, pendayagunaan untuk tugas-tugas mereka tidak maksimal. Ketika peran polisi di keamanan meluas, peran TNI tidak berkembang. Akibatnya, ada peluang bermain- main di lahan yang dulu menjadi bagian TNI itu. Rivalitas kedua lembaga semakin kuat.
Seharusnya, kata pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, kepolisian tidak ditempatkan di bawah presiden, tetapi di bawah kementerian. Dengan keberadaan langsung di bawah presiden, polisi rentan digunakan oleh kekuasaan. (FAJ/INA/EDN/DIK/IAM/ONG)”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H