[caption id="" align="aligncenter" width="460" caption="Referendum Skotlandia"][/caption]
Oleh: Pietro T. M. Netti
Rakyat Skotlandia baru saja melaksanakan referendum pada Kamis, 18 September 2014 dengan dua opsi: ingin merdeka (pisah dari Inggris) dan tidak ingin merdeka (tetap bersama Inggris). Hasil pemungutan suara dari 32 wilayah regional (daerah pemilihan) di Skotlandia, kemenangan diraih oleh pihak yang tidak ingin merdeka (tetap bersama Inggris) dengan selisih 10 persen. Pihak “Yes”, yang menyatakan ingin merdeka hanya memperoleh 1.617.898 (44,7%) suara, dan pihak “No”, yang tidak ingin merdeka meraih 2.001.926 (55,3%) suara [sumber data: id.wikipedia.org].
Sejauh pemberitaan yang ada, referendum berlangsung dengan aman dan damai. Walaupun ada dua kubu yang saling head to head (berhadap-hadapan), tapi tidak sedikitpun menimbulkan gesekan-gesekan yang sekiranya mengganggu tatanan kehidupan bermasyarakat dan/atau bernegara. Referendum Skotladia sangat berbeda dengan referendum yang pernah dialami oleh rakyat Timor Timur (provinsi Indonesia ke-27 di masa Orde Baru) pada tahun 1999 silam (sekarang Republik Demokratik Timor Leste) yang menyisakan konflik, perseteruan dan duka mendalam dan berkepanjangan hingga kini. Terjadi eksodus besar-besaran dari pihak yang kalah yakni pihak yang ingin tetap bersama Indonesia (pro otonomi) akibat diintimidasi oleh pihak-pihak yang ingin pisah dari Indonesia (pro kemerdekaan) yang menang.
Referendum Skotlandia boleh dikatakan, mungkin saja, berlangsung panas di awal-awal, tapi bermuara dengan happy ending. Kekalahan pihak yang pro kemerdekaan tidak sampai menimbulkan kasak-kusuk yang berlebihan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan. Ini ditunjukkan oleh perilaku elit yang menunjukkan sikap terhormat; siap menang dan siap kalah.
Menyikapi kekalahan pihak pro kemerdekaan, Alex Salmond yang notabene sebagai elit yang pro kemerdekaan langsung saja mengundurkan diri tanpa basa-basi dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Besar Skotlandia. Sikap sang mantan Perdana Menteri Besar ini patut diacungi dua jempol, bukan karena mundur dari jabatannya saja, tetapi lebih dari itu karena ia menunjukkan sikap tunduk pada pilihan rakyatnya yang masih tetap bersatu dengan Britania Raya. Sikap siap kalah inilah yang patut menjadi perhatian contoh bagi semua elit pemimpin maupun politisi di mana pun di belahan dunia ini.
Salmond pun tidak membuat argumen-argumen yang intinya hanya siap menang dan tidak siap kalah. Salmond dan pihak-pihak yang pro kemerdekaan tidak sedikit pun menciptakan suasana “perang badar” bagi dua kubu yang bersaing untuk meraih kemenangan. Bahkan ia tidak melakukan manuver politik picik dan licik yang ujung-ujungnya hanya merefleksikan ketidaknegarawanannya dan ketidakmatangaannya sebagai politisi.
Pilihan dan kehendak rakyat di atas segalanya, walaupun selisih kemenangan/kekalahan tidak terlampau jauh. Jika saja sang mantan Perdana Menteri Besar mua menunjukkan sikap kekanak-kanakan-nya dan kebodohan-nya, maka ia bisa saja berupaya sekuat tenaga untuk kalau boleh men-delegitimasi pilihan rakyat tersebut melalui lembaga-lembaga yang berwewenang, atau melalui cara yang tidak bermoral lainnya. Ia dan kelompoknya bisa saja menciptakan opini publik seolah-olah kubu pro kemerdekaanlah yang harus menang, karena hampir setengah rakyat Skotlandia menginginkan kemerdekaan. Ia dan kelompoknya pun bisa saja membentuk koalisi baru untuk menghambat dan merongrong kebijakan pemerintahan Britania Raya.
Namun, sepertinya semua yang telah dikemukakan di atas tidak akan dilakukan, karena Salmond dan kelompoknya bukanlah tipe politisi opurtunis yang, mumpung ada kesempatan (“kalau bukan sekarang kapan lagi, dan kalau bukan kita siapa lagi”), gemar mempermainkan kehendak rakyat untuk memenuhi birahi kekuasaan mereka. Untungnya Salmond dan kelompoknya tidak sedang birahi sehingga tidak perlu melampiaskan hasrat mereka melalui demonstrasi di sana-sini, gugat, hujat, caci-maki, dan fitnah membabi buta yang tidak bermoral dan beretika. Mereka pun tidak perlu membentuk koalisi-koalisian di parlemen hanya untuk mengakomodir kepentingan sesaat (jangka pendek) mereka yang sebenarnya bertentangan dengan kehendak rakyat; lagi-lagi karena mereka tidak sedang birahi.
Ternyata keinginan berkuasa dan fanatisme keberpihakan yang membabi buta identik dengan nafsu birahi seksual yang meluap-luap dan liar. Ini disebabkan oleh karena kebebasan yang disalahartikan oleh oknum-oknum yang merasa mendapat kepercayaan rakyat, dan mengaku-ngaku dimandatkan oleh rakyat. Untungnya, pihak Salmond dkk tidak “over pe-de” (percaya diri yang berlebihan) sehingga merasa bahwa mereka adalah satu-satu-nya yang mewakili dan dimandatkan oleh rakyat Skolandia.
Dari kenyataan-kenyataan yang disebutkan di atas, saya bisa menebak bahwa Salmond dkk dalam memperjuangkan kemerdekaan Skotlandia bukan didasarkan pada orientasi kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya saja, tetapi lebih dari itu untuk kepentingan rakyat Skotlandia secara keseluruhan. Ternyata perjuangan mereka harus terhenti untuk saat ini karena sebagian besar rakyat Skotlandia masih menginginkan tetap berada sebagai bagian tak terpisahkan dari Britania Raya (Inggris).
Pertanyaannya: “Apakah Salmond dkk harus menelan kekecewaan yang berlebihan?”
Jawabanya: “Tidak perlu! Karena perjuangan mereka telah dijawab secara jelas dan tegas oleh rakyat Skotlandia sendiri! Tidak perlu lagi melakukan intrik-intrik politik yang sengaja melawan kehendak rakyat! Kehendak rakyat sudah jelas, tinggal patuh dan menjalankan kehendak rakyat!”
Demikian pembahasan tentang Referendum Skotlandia yang menarik untuk dicermati. Referendum Skotlandia patut menjadi perhatian dan pelajaran bagi kita semua khususnya bagi para elit politik dan para pemimpin di Indonesia. Ada banyak pelajaran menarik yang dapat dipetik oleh kita dalam menghadapi musim-musim politik baik dalam skala nasional (Pemilu) maupun skala daerah (Pilkada). Sudah saatnya seluruh anak bangsa dan elit negeri ini belajar untuk lebih dewasa dan bijak dalam memaknai setiap momentum dan perjuangan politik ke depannya.
Dewasa mencerminkan sebuah fase kehidupan yang matang dan bukan tergolong dalam fase tumbuh kembang anak-anak/remaja. Dan Bijak/bijaksana adalah suatu tingkat kedewasaan berpikir dan kematangan emosional yang berada satu tingkat di atas tingkatan cerdas/kecerdasan. “Orang bijak pasti cerdas!”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI