[caption id="attachment_337238" align="aligncenter" width="302" caption="Hukum Pidana Pornofrafi (Gambar: Liputan6)"][/caption]
Oleh: Pietro T. M. Netti
Pornografi di dunia maya tumbuh laksana jamur di musim hujan, walaupun tidak sedikit situs/ website berisi pornografi yang sudah diblokir oleh pemerintah di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Nama yang kerap menjadi sorotan media karena sibuk membredel situs-situs berbahaya ini lewat kementeriannya adalah mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Tifatul Sembiring.
Alasannya sudah pasti agar dapat melindungi rakyat Indonesia supaya tidak terjerumus dalam konten-konten pornografi sebagaiamana yang dicontohkan oleh salah satu mantan anggota dewan rekan separtainya, Arifinto. Sang anggota DPR RI asal PKS tersebut tertangkap basah oleh kamera wartawan sedang asik menikmati adegan mesum melalui gadget handphone-nya di dalam ruang sidang DPR RI. Namun sahabat baik Tifatul ini membantah jika ia tidak sedang asik menikmati, tetapi ia tidak sengaja membuka link yang dikirim oleh temannya (hehe…alasan…alasan..!). Dan kalau tidak salah, di era Tifatul menjabat sebagai Menkominfo pulalah seluruh tayangan televisi di-blur bagian-bagian yang “terpampang nyata” (pinjam Syahrini) demi tidak mengumbar aurat yang mengundang syahwat dan birahi.
Di dunia maya (dumay), tersedia begitu banyak layanan/konten pornografi yang mudah diakses oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja, sampai-sampai sang Menteri yang kerjanya memerangi situs-situs haram inipun salah meng-klik alias tidak sengaja atau tidak berniat meng-klik (katanya sih) dan tentu saja tidak pula berniat menjadi follower dari salah satu akun porno di twitter (hehe…senjata makan tuan atau tuan makan senjata nih?). Tayangan-tayangan iklan yang berhubungan dengan pornografi pun tersebar luas dimana-mana lengkap dengan ungkapan, gambar, animasi dan video yang fulgar. Iklan-iklan tersebut menawarkan banyak hal yang berhubungan dangan dan/atau mengandung unsur pornografi.
Di tengah pesatnya perkembangan media online saat ini, mau tidak mau kita harus berhadapan (head to head) dengan derasnya arus informasi yang datang di hadapan kita. Benar kata pepatah “dunia tidak selebar daun kelor” tapi cuma selebar layar monitor komputer, dan layar gadget Ipad/HP. Seluruh informasi yang ada di bawah kolong langit ini dapat diakses bebas oleh siapapun tanpa mengenal ruang dan waktu. Pertanyaan yang muncul: “Sudah siapkah kita saat ini menyikapi derasnya arus informasi di media-media online dan menyaring konten-konten informasi mana saja yang patut atau tidak patut dan/atau layak atau tidak layak dikonsumsi?”
Sebagai pengguna internet (netizen), kita bebas menentukan kemana arah langkah kita berselancar di dunia maya; menuju ke konten-konten positif atau ke konten-konten negatif. Semua pilihan terserah pada kita sendiri yang memutuskan. Dan hal lain yang sangat penting adalah kita juga diberi kebebasan seluas-luasnya untuk mau atau tidak mau membentengi diri sendiri dengan nilai-nilai (moral, etika, dan agama) agar bisa terhindar dan tidak terjerumus pada pilihan-pilihan yang menyesatkan. Sekali lagi, semua terserah kita! (Lihat: Wajarkah Iklan Dewasa Ditayang Di Kompasiana?)
Siapapun kita bisa menjadi netizen. Apalagi dengan maraknya media-media sosial yang bermunculan, kita bebas bergabung dan berinteraksi. Kita dapat sebebas-bebasnya memberikan pendapat, pandangan dan opini kita tentang apa saja yang sedang terjadi. Kita pun bebas mengekspresikan diri melalui media-media ini baik dalam kata-kata, gambar, animasi, audio maupun video. Hanya saja yang terjadi belakangan ini adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi yang kita miliki disalahartikan dengan bebas (baca: sewenang-wenang) menyerang orang/pribadi tertentu dengan tidak lagi mempedulikan tatanan nilai, moral, etika dan religiusitas di dalam masyarakat beradab yang berketuhanan dan berperikemanusiaan.
Masih segar dalam ingatan kita kasus penyebaran gambar porno oleh si pembantu tukang sate, Muhammad Arsyad, belum lama ini. Arsyad dilaporkan ke polisi oleh politisi PDIP Hendri Yosoningrat pada 27 Juli 2014 atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran gambar pornografi Presiden Jokowi. Pada Kamis, 23 Oktober 2014, ia ditangkap dan ditahan di Bareskrim Polri.
Atas tindakannya, Arsyad dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 29 Juncto Pasal 4. Ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE.
Khusus tentang pornografi, berikut ini adalah ulasan tentang undang-undang pornografi di dunia maya yang dikutip dari Hukum Online. Ulasan berikut adalah sebuah jawaban oleh Shanti Rachmadsyah, SH atas pertanyaan seputar Cyber Pornografi (Pornografi di dunia maya).
Pertanyaan: Cyber pornography (pornografi dunia maya). “Selamat sore, saya mau bertanya, andaikata ada permasalahan mengenai pornografi dunia maya (cyber pornography) misalnya, website atau pun forum tertentu, undang-undang manakah yang akan berlaku, apakah KUHP, UU Pornografi atau UU ITE? Apakah asas lex specialis derogat legi generalis berlaku terhadap undang-undang tersebut (tiga UU yang dimaksud di atas)? Atau apakah ada pertentangan atau konflik di antara ketiga UU tersebut? (kalau ada, maka UU manakah yang dipergunakan?) Terima kasih sebelumnya.” EDUARDNONG
Jawaban: Pornografi di dunia maya disebut dengan istilah cyber pornography yang dapat diartikan sebagai penyebaran muatan pornografi melalui internet. Tindak pidana pornografi di dunia maya dapat dijerat dengan pasal-pasal di dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik), dan Undang-undang Pornografi.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Memang dalam KUHP tidak dikenal istilah dan/atau kejahatan pornography, tapi ada pasal yang dapat dikenakan terhadap perbuatan ini, yakni pasal 282 KUHP:
“Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”
UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik)
Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun tidak mengenal adanya istilah pornography, tetapi muatan yang melanggar kesusilaan. Penyebarluasan muatan yang melanggar kesusilaan melalui internet diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai Perbuatan yang Dilarang, yaitu:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Pelanggaran terhadap pasal 27 ayat (1) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 milyar (pasal 45 ayat [1] UU ITE).
UU Pornografi (Undang-undang Pornografi)
Undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai pornografi melalui internet adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 angka 1 UU Pornografi adalah:
“… gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
Pelarangan penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui di internet, diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, yaitu;
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin; atau
- pornografi anak.”
Pelanggaran pasal 4 ayat (1) UU Pornografi diancam pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar (pasal 29 UU Pornografi).
Pasal 44 UU Pornografi menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H