Mohon tunggu...
Fithriadi Feisal
Fithriadi Feisal Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Muslim sejati, Pembaca, penulis, pemusik dan juga pelukis\r\nhttp://pietart-id.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melihat Indonesia Tuhan Pun Berseru: "OMG..!"

26 Juni 2011   05:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:10 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemarin di desa tempat saya tinggal, Pertamina menyalurkan minyak tanah bersubsidi untuk rakyat. Ribuan rakyat datang untuk mengantri membeli satu jeriken minyak tanah. Saya tidak tahu berapa jumlah liter maksimal yang bisa dibeli oleh seseorang. Namun yang membuat saya tertarik adalah fenomena mengantri seperti ini yang ternyata masih juga ada seperti cerita-cerita orang tua saya dan penjelasan-penjelasan pada buku sejarah tentang gambaran situasi kehidupan di Indonesia puluhan tahun yang lalu. Rakyat Indonesia masih saja bersedia mengantri demi kebutuhan pokok setelah hampir 70 tahun merdeka.

Di televisi atau bahkan secara langsung, kita juga sering melihat rakyat mengantri demi mendapatkan pembagian zakat. Dan yang lebih mengenaskan lagi adalah adanya kebijakan Bantuan Langsung Tunai yang mengindikasikan bahwa masih banyak rakyat miskin di Indonesia setelah hampir 70 tahun merdeka.

Jika dibuat statistik, bisa saja Indonesia termasuk salah satu negara yang paling banyak mendistribusikan penduduknya di negara-negara lain. Namun bukan sebagai tenaga professional yang ahli atau pengusaha-pengusaha, namun sebagai tenaga pembantu yang hanya menggunakan tenaga, kesopanan dan ketaatan terhadap sang tuan. Banyak diantara mereka yang professional namun lebih banyak lagi yang bahkan tidak mengerti apapun dan berujung kepada penyiksaan dan penganiayaan. Ini disebabkan karena sangat minimnya lapangan pekerjaan di Indonesia yang mampu menyerap mereka sebagai tenaga kerja dan mungkin juga karena lebih mudah mendapatkan uang yang banyak di negeri orang daripada negeri sendiri dan mungkin juga karena mereka DIMANFAATKAN SECARA HALUS oleh penyelenggara negara ini untuk memasukkan devisa.

Ketika kita tidak setuju dengan kebijakan sesuatu, akhir-akhir ini kita lebih sering membuat kerusuhan. Konon yang namanya mahasiswa masih tetap sama seperti mahasiswa-mahasiswa jamannya Cosmas Batubara. Mahasiswa identik dengan pejuang bagi rakyat yang menyuarakan hati rakyat. Sampai saat ini mahasiswa masih menjadi pilar terdepan. Mereka melakukan demo dan turun ke jalan-jalan. Agenda utama adalah “membakar ban”. Dan selanjutnya sambil tertawa mendorong aparat keamanan dan berujung kepada perusakan aset Negara.Ini bukti bahwa saat ini kita masih saja berada dalam era perjuangan rakyat yang dicirikan dengan gaya mahasiswanya berunjuk rasa.

Namun sebagai mahasiswa yang identik dengan intelektualitas, nilai-nilai pendidikan, ilmu pengetahuan dan metoda-metoda ilmiah, tidak seharusnya mahasiwa sekarang berunjuk rasa dengan cara seperti itu. Seharusnya mereka menggunakan ilmu mereka, pendidikan mereka dan cara-cara ilmiah mereka dalam melakukan unjuk rasa. Bukan cara-cara yang seorang petani buta huruf pun bisa melakukannya.

Baru saja di www.kompas.com kita diberitakan bahwa aparat TNI dan Polri masih saja tidak professional. Baca di sini. Mereka tidak pernah belajar dari pengalaman-pengalaman masa lalu. Mereka tidak pernah belajar dari pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah, dari DI-TII hingga konflik di Aceh. Sekali lagi jika ada yang memberontak, kita hanya menyalahkan dan memberikan penilaian yang negatif terhadap kaum pemberontak, bahkan terhadap suku pemberontak itu sendiri. Namun kita tidak pernah sedikitpun untuk berkontemplasi untuk menyajikan dalam pikiran mengapa mereka memberontak. Kita tidak pernah menyediakan tempat yang terhormat tentang akar permasalahan yang memberontak hingga akhirnya kita menegakkan dan mempertahankan NKRI ini tidak dengan cara-cara yang bermartabat dan manusiawi. Bangsa ini seperti mempertahankan kesatuan negaranya melalui kolonialisme dan jauh dari keadilan sosial.

Daerah-daerah yang jauh dari ibukota seperti Papua dan Aceh, terlihat jauh dibelakang dalam pembangunan. Papua juga seperti terlupakan. Tidak banyak orang-orang pintar dari Papua yang bermain di ibukota. Saya tidak mengerti apakah situasi ini seperti dibiarkan. Alangkah indahnya dan beragamnya negara ini jika orang-orang Papua dan bangsa-bangsa dari belahan provinsi lainnya menghiasi permainan catur politik, ekonomi, dan segala sendi pembangunan negara di NKRI ini. Bukankah semuanya memiliki hak untuk maju? Dan hak untuk dimajukan dan diberdayakan? Namun kita sering terjebak ke dalam ide bahwa jika ingin maju, mulailah dari diri sendiri atau jika sebuah daerah ingin maju maka daerah tersebut harus memulainya. Tetapi yang jauh lebih penting adalah, kepedulian pemerintah pusat yang tulus bagaimana bisa memberdayakan daerah-daerah tertinggal agar dalam waktu yang tidak lama mereka bisa mengambil porsi yang signifikan dalam peran membangun negara dalam wadah NKRI.

Masihkan saat ini ketika kita hampir 7 dekade merdeka tetap saja kita tidak mempunyai mimpi bahwa suatu saat Presiden RI berasal dari Papua, Aceh, NTT atau lainnya? Saya rasa mimpi itu hanya milik segelintir orang. Bahkan orang-orang dari sanapun, belum pernah bermimpi seperti itu. Ketika daerah-daerah ingin maju sendiri, mereka meminta otonomi yang pada akhirnya justru membuat mereka lebih bobrok dari situasi sebelumnya. Namun masalahnya bukan pada apa yang mereka lakukan terhadap status otonom tersebut, tetapi jauh daripada itu adalah (sekali lagi) bagaimana mereka bisa sampai meminta ke-otonomian tersebut dan mengapa mereka ingin memekarkan diri. Saya rasa sebabnya adalah karena pemerintah tidak pernah mau bersungguh-sungguh dan tidak memiliki inisiatif yang tulus dalam pembangunan merata yang berkeadilan sosial.

Jika kita membicarakan pemerintah dan moral serta itikad baik dalam membangun negara ini, saya dan juga anda akan memohon ampunan untuk apa yang tidak sanggup kita ungkapkan atas banyaknya dosa dan ketidaktulusan pemerintah. Negara kita adalah negara pembohong, pendusta dan penipu. Kita korup. Dari rakyat kecil hingga pemerintah. Sebagai rakyat, kita sering mengeluhkan hal ini. Namun di sisi lain ketika kita sebagai rakyat, pada situasi tertentu, akan tidak segan-segan untuk menyuap dan menyogok orang lain agar anak kita bisa lulus jadi polisi, bekerja di kejaksaan, pegawai negeri dan bahkan yang sedihnya, kita mendukung anak-anak kita untuk mencontek demi lulus sekolah dasar. Jika saya bisa dan boleh berkata seperti ini, maka saya akan meneriakkan: MELIHAT INDONESIA, TUHANPUN AKAN BERSERU “ OMG!!!”

Saya dan begitu juga kita semua, ingin sekali bisa bangga terhadap Republik ini. Namun jangankan membuat bangsa ini besar dan disegani diseluruh penjuru dunia, terhadap negara tetangga sendiri kita jauh tertinggal. Sangat jauh malah. Sering kita marah ketika negara-negara tetangga dan lainnya menginjak-injak harga diri bangsa ini. Namun kita tidak pernah menyadari bahwa yang sebenarnya menginjak-injak harga diri bangsa ini adalah kita sendiri dan kita yang membuat mereka bisa melakukannya.

Ketika hampir tujuh dekade kemerdekaan Indonesia, apa yang masih kita banggakan sebagai bangsa Indonesia? Masihkah rasa nasionalisme yang besar ini kita gunakan dengan cara-cara yang tidak seharusnya lagi kita pakai di zaman global ini? Masihkan suara yang peduli terhadap rakyat hanya digunakan untuk mencapai puncak kekuasaan saja? Masihkah kita membiarkan diri kita tertinggal dan menjadi bangsa yang primitif? Masihkan kita menginginkan budaya kita hanya ada pada pentas-pentas kesenian dan wisata saja tanpa merasuk kuat dalam pribadi bangsa ini?

Semoga kita mampu duduk secara bersama untuk melenyapkan semua ketidakadilan, moral yang bejat dan korup dalam setiap sendi pemerintahan kita. Mari kita berdoa agar kita sebagai rakyat mampu bekerja memajukan bangsa ini dan bisa menggantikan semua penyelenggara negara yang bejat, munafik dan tidak peduli terhadap kemajuan bangsa ini. Saya yakin, masih terlalu banyak orang-orang yang tulus di Negara ini.

Demi nama Tuhan, Majulah Indonesiaku..!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun