Pieter Sanga Lewar
Tanpa sedikit pun niat untuk menganggap "angin lalu" legalitas penggunaan ungkapan "merdeka belajar" sebagai merek alat tulis kantor (Kelas 16) dan jasa (Kelas 41), kebijakan merdeka belajar Mendikbud Nadiem Makarim bukanlah "bintang" Â yang jatuh dari langit, melainkan hasil sebuah refleksi fenomenologis terhadap sepak terjang dunia pendidikan nasional. Kebijakan ini sontak melahirkan proposisi asumtif.Â
Barangkali merdeka belajar  adalah sebuah afirmasi induktif karena memuat simpulan dari gejala-gejala yang menandai ketidakmerdekaan belajar selama ini. Barangkali juga merdeka belajar adalah adagium abstraktif karena dalam gejala ketidakmerdekaan belajar, sepertinya kebijakan merdeka belajar memahami apa yang esensial dan tidak esensial dari sebuah kegiatan belajar.
Proposisi asumtif itu kemudian merangsang lahirnya hipotesis, bahwa merdeka belajar adalah deregulasi dan debirokratisasi kegiatan pembelajaran di lingkungan sekolah formal, yang selama ini terbelenggu oleh tuntutan administratif, kesombongan institusional, Â dan tekanan kekuasaan otonomi daerah.Â
Tindakan belajar sebagai kegiatan inti hominisasi dan humanisasi (proses pemanusiaan manusia) perlu dibebaskan dari kungkungan teknis kekuasaan politik pendidikan sehingga manusia yang belajar mengalami  nilai kebebasan fisik (ketiadaan paksaan fisik), moral (ketiadaan paksaan aturan atau kewajiban), dan psikologis (ketiadaan paksaan psikis untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Persoalan yang muncul kemudian adalah apa hakikat merdeka belajar itu sehingga seorang milenial Nadiem Makarim memroklamasikan kebijakan merdeka belajar langsung setelah dipilih menjadi Mendikbud? Bagaimana konsep implementatif merdeka belajar itu sehingga terkoneksi dengan budaya kecerdasan yang telah digariskan dalam visi pendidikan?
Hakikat Merdeka Belajar
Merdeka belajar adalah  sebuah perspektif psikologis pembelajaran yang ditawarkan  untuk mengoreksi kelemahan-kelamahan kondisi pembelajaran selama ini.
Pilihan merdeka belajar sebagai perpektif tergantung  pada nilai, kepentingan, dan tujuan yang diistimewakan oleh subjek pencetus. Hal itu  berarti bahwa perspektif merdeka belajar selalu sudah ada dalam "jeratan" aksiologis atau diarahkan nilai tertentu.
Dengan kata lain, perspektif "merdeka belajar adalah perspektif circumstanses (suasana atau kondisi) pembelajaran yang tidak melulu logis bagi semua orang, bebas nilai, Â atau objektif karena tetap memungkinkan sejumlah penafsiran.
Patut dicatat terlebih dahulu bahwa merdeka belajar bukanlah belajar "semau gue" atau belajar tanpa arah, melainkan belajar yang memerdekakan. Belajar yang memerdekakan itu  berarti belajar yang terbebas dari rasa takut, bebas dari tekanan administratif, dan bebas dari intimidasi kekuasaan dalam mengoptimalisasi potensi diri peserta pembelajaran, baik guru maupun siswa.