Optimisme Mendidik Anak Bangsa:
Memberikan Akar dan Sayap Kehidupan
Pandemi covid 19 telah mengubah pola hidup manusia dalam berbagai bidang, seperti politik, budaya, ekonomi, sosial, dan religius. Perubahan itu pun membawa serta disosiasi pola pikir (gagasan), pola perilaku (sikap), dan pola tindak (kerja) dari setiap individu dalam menghadapi realitas hidup.Â
Perubahan selalu menuntut tindakan berubah manusia agar dapat menyempurnakan hidupnya dan dunia sekitarnya. Oleh karena perubahan itu "abadi", mentalitas adaptif menjadi sebuah keniscayaan untuk membangun habitus baru (new normal) dalam berkehidupan ini.Â
Orang harus berubah agar mampu menyelaraskan hidupnya dengan dunia sekitarnya. Â Sepertinya kita harus meyakini kebenaran adagium Latin ini, Â tempora mutantur et nos mutamur in illis (waktu berubah dan kita berubah dalam waktu).
Salah satu perubahan yang koinsidensi (terjadi pada waktu yang sama) Â dengan merebaknya pandemi covid 19 adalah perubahan pola kegiatan dan ekosistem pembelajaran di sekolah.Â
Kegiatan pembelajaran, sebagai ciri utama tindakan "memanusiakan manusia muda ke taraf insani,"1 dilakukan dengan kerangka tindak learn from home (belajar dari rumah) atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui daring atau luring.Â
Begitu juga, jika kegiatan pembelajaran tatap muka tetap dilaksanakan, maka penerapan protokol kesehatan menjadi ekosistem baru dalam kehidupam sekolah: pakai masker, jaga jarak, cuci tangan sesering mungkin, dan pengukuran suhu tubuh.
Walaupun perubahan itu tidak terelakkan dalam proses pembelajaran, optimisme mendidik anak bangsa masih tetap "bersemi" di hati para pendidik. Selain karena aktivitas mendidik adalah panggilan hidup, dukungan pemerintah melalui berbagai kebijakan pendidikan tentu sungguh menguatkan motivasi dan optimisme para pendidik untuk terus berjuang mencerdaskan anak bangsa.Â
Apalagi pendidikan adalah hak anak bangsa ini, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan ayat (2) bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara konkret, salah satu  dukungan pemerintah itu dapat dibaca pada alokasi dana APBN untuk sektor pendidikan sebesar 20%  sesuai dengan amanat UUD 1945. Pada APBN 2020 ini jumlahnya mencapai Rp505,8 triliun atau meningkat 2,7 persen dibandingkan dengan APBN 2019 lalu sebesar Rp492,5 triliun.2 Â
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, besarnya jumlah anggaran tersebut bertujuan untuk mewujudkan visi pendidikan nasional  mencerdaskan kehidupan bangsa. Sri Mulyani mengungkapkan bahwa  banyak hal yang harus dibenahi, termasuk kualitas sumber daya  pendidik, untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik.3 Â
Dengan demikian hampir tidak ada selisih pendapat mengenai  value judgement dari optimisme pendidik dan dukungan pemerintah dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun, persoalan akan  timbul jika optimisme dan dukungan itu dihadapi sebagai kenyataan objektif. Bagaimana optimisme dan dukungan itu mampu membentuk karakter keindonesiaan generasi muda bangsa ini? Nilai-nilai apa saja yang perlu dibangun di dalam diri generasi muda bangsa agar built in dengan tuntutan perubahan zaman?
Memberikan  Akar Kehidupan
Optimisme, Â paham atau keyakinan atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan atau sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal,4 menjadi tenaga "endogen" yang membentuk kepemimpinan pembelajaran guru yang militan (tangguh), partisipatif, transformatif, dan yang melayani dengan hati.Â
Jika ketiadaan optimisme di tengah pandemi covid 19, apakah guru, yang riil mendapat tugas pembelajaran saat ini sebanyak 2.720.778 orang, mampu melayani secara efektif dan efisien peserta didik sebanyak 44.621.547 orang yang  berada pada 220.098 sekolah di Indonesia.5 Â
Kekuatan optimisme itu mampu  mengakselerasi proses "memanusiakan manusia muda ke taraf insani" dengan  memberikan nilai-nilai sebagai akar  kuat  bagi kehidupannya. Â
Memberikan akar kuat bagi anak-anak muda berarti (a) memberi kepada mereka seperangkat nilai yang akan menolong mereka untuk menghadapi badai kehidupan yang tak terelakkan; (b) berarti memberikan kemampuan memisahkan mana yang pokok, mana yang bukan pokok, mana barang yang sesungguhnya, mana yang hanya merupakan bayangan;  dan (c) berarti pula meletakkan daya absorsif  untuk membeda-bedakan mana yang abadi, mana yang hanya merupakan mode.6
Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai sebagai akar kuat itu sudah terpatri dalam Pancasila. Secara implisit, susunan  sila Pancasila mencerminkan dua tingkatan kategori nilai, yaitu nilai instrumental  dan nilai instrinsik. Pertama, nilai instrumental adalah nilai yang diterima sebagai alat yang memungkinkan manusia mencapai suatu tujuan dan sasaran dalam hidupnya.Â
Hal ini terbaca dalam sila ketiga "Persatuan Indonesia", keempat "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", dan kelima "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Misalnya, nilai sila ketiga dan keempat dipakai untuk mewujudkan masyarakat paguyuban Indonesia yang bersatu dan rukun, bukan masyarakat patembayan yang lebih bersifat rasional dan mekanistik.
Kedua, nilai instrinsik (nilai metahuman) Â adalah sesuatu yang bernilai pada sesuatu itu sendiri, apa pun keadaannya. Hal ini tergambar dalam sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" dan sila kedua "Kemanusiaan yang adil dan beradab".Â
Kedua sila ini mengandung nilai instrinsik karena nilai "ketuhanan" dan "kemanusiaan" itu adalah nilai sejati, tidak peduli kita berpikir demikian atau tidak; adalah baik, tidak peduli apakah nilai-nilai itu cocok dengan minat kita atau tidak; adalah adil, tidak peduli apakah bertentangan dengan apa yang kita butuhkan secara langsung atau tidak; adalah indah, tidak peduli apakah kita kebetulan kita suka atau tidak; adalah suci, tidak peduli apakah kita mau mengakuinya atau tidak.7
Kedua kategori nilai dalam Pancasila adalah sesuatu yang pantas dibela atau diperjuangkan, sesuatu yang berharga dan demi serta terhadap nilai-nilai itu sesorang  warga bangsa Indonesia bersedia menderita, berkorban, mempertahankan, bahkan bersedia mati. Nilai-nilai itu memberikan arti dan tujuan kepada kehidupan keberbangsaan ini; nilai memberikan motif dan menetukan arah dan  kualitas hidup. Â
Dengan demkian, memberikan akar kuat  kepada generasi muda berarti mengembangkan   potensi dan kreativitas dalam diri peserta didik dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara8
Memberikan Sayap Kehidupan
Setelah memberikan akar kuat kepada kaum muda, tugas mulia kedua yang tidak mudah dilaksanakan adalah memberikan sayap kebebasan. Konsep kebebasan seringkali  disamakan dengan tanpa beban, tanpa tanggung jawab, dan tidak tergantung pada siapa pun.Â
Kebebasan sejati, sebaliknya, justru terletak pada sikap menerima dengan gembira, bahwa kita adalah makhluk sosial dengan segala keistimewaan dan batas-batas atau ikatan tanggung jawab yang merupakan akibat dari hidup bersama sebagai bangsa.Â
Kebebasan sejati itu tampak dalam karakter: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu yang positif, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, peduli sosial, peduli lingkungan, kritis, terbuka, adil, gotong royong, Â dan menghargai jalan musyawarah dalam mengambil keputusan.
Memberikan sayap kebebasan berarti membuka ruang keputusan batin kaum muda terhadap penghayatan nilai-nilai kehidupan manusia. Pada konteks inilah, tujuan pendidikan dapat dikorelasikan dengan referat global pendidikan sebagaimana dirumuskan UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization).
Pertama, learning to be (belajar menjadi diri sendiri). Pendidikan dan keseluruhan diarahkan pada proses pembelajaran peserta didik menjadi pribadi yang mandiri dan otonom. Artinya, pribadi yang memiliki kesadaran untuk bertindak berdasarkan maxime (prinsip yang berlaku secara subjektif) dan budi (prinsip yang berlaku secara objektif).Â
Dengan "maksim", peserta didik dapat berbuat apa saja menurut kaidah tindakan yang ia miliki secara personal; dengan budi, peserta didik dapat bertindak menurut patokan sebagaimana orang harus bertindak.
Kedua, learning how to think (belajar bagaimana berpikir). Pendidikan dan pembelajaran di sekolah-sekolah harus memuat aspek-aspek pembelajaran yang menjadikan peserta didik mampu berpikir rasional dalam takaran logika sederhana, logika bahasa, logika matematis, logika ilmu pengetahuan dan teknologi.Â
Dengan belajar berpikir rasional, peserta didik memiliki praksis, yaitu tindakan dasar manusia dalam dunia di luar dirinya, dalam alam atau masyarakat, baik tindakan rasional bertujuan maupun rasional komunikatif.
Ketiga, learning how to do (belajar bagaimana mengerjakan sesuatu). Pendidikan dan pembelajaran formal haruslah mencakup pengalaman melakukan sesuatu, baik pengalaman yang diperoleh secara langsung melalui kegiatan keterampilan di sekolah maupun pengalaman yang diperoleh secara tidak langsung melalui kegiatan membaca buku.
Keempat, learning how to learn (belajar bagaimana belajar). Pendidikan bertujuan (salah satu) menyadarkan peserta didik bahwa pengalaman sendiri saja tidak pernah cukup untuk memberdayakan kehidupan manusia yang begitu kompleks. Artinya, setiap orang harus terus belajar, belajar sepanjang hayat, untuk mengembangkan kemampuan pribadi selaras dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Peserta didik dikondisikan untuk terus belajar karena kita belajar bukan untuk ilmu atau pengetahuan, tetapi kita belajar untuk hidup.
Kelima, learning how to live together (belajar bagaimana hidup bersama dengan orang lain). Pendidikan memang seharusnya bertujuan memberikan bekal yang diperlukan dan berguna bagi peserta didik agar dapat hidup sebagai pribadi dan sekaligus anggota suatu masyarakat.Â
Artinya, pendidikan  harus memberi "ruang" bagi pembentukan kesadaran bahwa kita hidup dalam dunia pluralitas; pendidikan bertujuan membangun sikap dan mental, pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kelangsungan dan kemajuan masyarakat; pendidikan menjadi ajang penularan pengalaman bersolidaritas, berdemokrasi, bertanggung jawab, berkreasi, dan bertoleransi terhadap sesama manusia dan dunia sekitar manusia.
Keenam, learning to be religious (belajar untuk menjadi religius). Menjadi religius atau religiositas bukan sekadar menjadi penganut suatu agama tertentu. Religiositas lebih melihat aspek yang ada di dalam lubuk hati; riak getaran nurani pribadi; sikap personal yang menapaskan intimitas jiwa, yaitu cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia. Dengan kata lain, manusia religius adalah manusia yang berhati nurani serius, saleh, dan teliti dalam pertimbangan batin.
___________
Lampiran Catatan RujukanÂ
Â
   1Istilah yang dipakai Driyarkara untuk menyebutkan arti pendidikan. Lihat Driyarkara tentang Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 78.
     2Lht. http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/25755/t/Peningkatan+Kualitas+
Perguruan+Tinggi+Tantangan+Terbesar+Dunia+Pendidikan
  4Pengertian optimisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 705.
  5Bdk. Suyanto, "Tahun Ajaran Baru Era Pandemi" mengutip Dapodikdasmen, Rekap Nasional Semester Genap 2019/2020,  dalam Kompas (Kamis, 9 Juli 2020), hlm. 6.
  6Bdk. Christopher Glenn, Menciptakan Keseimbangan: Mengajarkan Nilai dan Kebebasan (Jakarta: Grasindo, 1997) hlm. 1.
  7Bdk. Christopher Glenn, Ibid, hlm. 11
  8Lht. Badan Standar Nasional Pendidikan, Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan Tingkat Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah (Jakarta: PT Binatama Raya, 2006), hlm. 403
   9https://www.kompasiana.com/roko/550fdbc4a33311c037ba7d35/tujuan-pendidikan-nasional-unesco
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H