Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, besarnya jumlah anggaran tersebut bertujuan untuk mewujudkan visi pendidikan nasional  mencerdaskan kehidupan bangsa. Sri Mulyani mengungkapkan bahwa  banyak hal yang harus dibenahi, termasuk kualitas sumber daya  pendidik, untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik.3 Â
Dengan demikian hampir tidak ada selisih pendapat mengenai  value judgement dari optimisme pendidik dan dukungan pemerintah dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun, persoalan akan  timbul jika optimisme dan dukungan itu dihadapi sebagai kenyataan objektif. Bagaimana optimisme dan dukungan itu mampu membentuk karakter keindonesiaan generasi muda bangsa ini? Nilai-nilai apa saja yang perlu dibangun di dalam diri generasi muda bangsa agar built in dengan tuntutan perubahan zaman?
Memberikan  Akar Kehidupan
Optimisme, Â paham atau keyakinan atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan atau sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal,4 menjadi tenaga "endogen" yang membentuk kepemimpinan pembelajaran guru yang militan (tangguh), partisipatif, transformatif, dan yang melayani dengan hati.Â
Jika ketiadaan optimisme di tengah pandemi covid 19, apakah guru, yang riil mendapat tugas pembelajaran saat ini sebanyak 2.720.778 orang, mampu melayani secara efektif dan efisien peserta didik sebanyak 44.621.547 orang yang  berada pada 220.098 sekolah di Indonesia.5 Â
Kekuatan optimisme itu mampu  mengakselerasi proses "memanusiakan manusia muda ke taraf insani" dengan  memberikan nilai-nilai sebagai akar  kuat  bagi kehidupannya. Â
Memberikan akar kuat bagi anak-anak muda berarti (a) memberi kepada mereka seperangkat nilai yang akan menolong mereka untuk menghadapi badai kehidupan yang tak terelakkan; (b) berarti memberikan kemampuan memisahkan mana yang pokok, mana yang bukan pokok, mana barang yang sesungguhnya, mana yang hanya merupakan bayangan;  dan (c) berarti pula meletakkan daya absorsif  untuk membeda-bedakan mana yang abadi, mana yang hanya merupakan mode.6
Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai sebagai akar kuat itu sudah terpatri dalam Pancasila. Secara implisit, susunan  sila Pancasila mencerminkan dua tingkatan kategori nilai, yaitu nilai instrumental  dan nilai instrinsik. Pertama, nilai instrumental adalah nilai yang diterima sebagai alat yang memungkinkan manusia mencapai suatu tujuan dan sasaran dalam hidupnya.Â
Hal ini terbaca dalam sila ketiga "Persatuan Indonesia", keempat "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", dan kelima "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Misalnya, nilai sila ketiga dan keempat dipakai untuk mewujudkan masyarakat paguyuban Indonesia yang bersatu dan rukun, bukan masyarakat patembayan yang lebih bersifat rasional dan mekanistik.
Kedua, nilai instrinsik (nilai metahuman) Â adalah sesuatu yang bernilai pada sesuatu itu sendiri, apa pun keadaannya. Hal ini tergambar dalam sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" dan sila kedua "Kemanusiaan yang adil dan beradab".Â
Kedua sila ini mengandung nilai instrinsik karena nilai "ketuhanan" dan "kemanusiaan" itu adalah nilai sejati, tidak peduli kita berpikir demikian atau tidak; adalah baik, tidak peduli apakah nilai-nilai itu cocok dengan minat kita atau tidak; adalah adil, tidak peduli apakah bertentangan dengan apa yang kita butuhkan secara langsung atau tidak; adalah indah, tidak peduli apakah kita kebetulan kita suka atau tidak; adalah suci, tidak peduli apakah kita mau mengakuinya atau tidak.7