Sumber: http://th01.deviantart.com/fs15/300W/f/2007/039/b/f/White_Mask_by_IElioI.jpg
Lembar-lembar malam selalu cerah. Anak-anak tertidur pulas seusai belajar dan menonton siaran televisi. Aku duduk di beranda, menikmati malam dengan segelas air putih, dan menanti suami pulang. Tepat, pukul sembilan, suara Mercedes itu pasti terasa hangat di telingaku. Pintu gerbang dibuka Pak Peno, satpam rumahku. Aku berdiri perlahan dan menunggunya keluar mobil. Fajar akan keluar, menyapa mesra, mencium keningku, dan kami masuk rumah bersama. Air panas telah siap untuk mandi dan melepas lelah kerja seharian. Nasi hangat dan hidangan malam kesukaannya pun tersedia. Kadang Yu Padmi yang memasak sambil kutemani atau masakan special yang kubuat sendiri dengan penuh cinta untuk suamiku. Lalu kudekap dia perlahan dan meminta jas kantor, kemeja, dan membiarkannya menikmati air hangat dengan aroma Mawar. Lalu, dia akan segera datang dengan rapi ke meja makan dan mulai bertanya mesra, “Masak apa, Ma, malam ini, pasti enak!” Kami pun menghabiskan waktu di meja makan. Dia akan mulai bercerita tentang kerjanya seharian, keluh kesah, pengalaman, dan berbagai kisah dengan karyawannya. Aku duduk mendengar, dengan mata terpaku pada wajah manisnya dan tentunya karisma di matanya. Kemudian sejenak, kami duduk di beranda, menatap langit malam bersama, berdoa untuk hari-hari ke depan, dan beranjak ke peraduan. Lampu kamar dimatikan. Gelap. Lelap.
Begitulah ritual malam yang senantiasa kujalani hari demi hari di rumah. Bosan? Aku sudah tidak mengenal kata bosan dalam kamus hidupku. Bagiku, pernikahan dengan Fajar adalah sebuah cerita yang akan menjadi kenangan manis dalam jejak hidupku. Dua anak kami yang lucu pun melengkapi perjalanan bahtera keluarga ini. Aku bahagia dan sangat bahagia memiliki Lina dan Gema. Tawa, senyum, canda, dan ungkapan-ungkapan polos spontan mereka selalu membuat Fajar dan aku tertawa nyaring. Keluarga yang kumiliki sekarang adalah keluarga yang sempurna. Aku mencintai Fajar dan dengan yakin, aku tahu Fajar pun mencintaiku dengan begitu mendalam. Waktunya dihabiskan untuk bekerja dan kadang lembur pun dijalani untuk mendapat hasil kerja yang lebih baik. Posisi Fajar sebagai pemimpin perusahaan Permai Dana sekaligus anggota Dewan Perwakilan Daerah I membuatku rela melepas pekerjaanku di Pusat Komestik dan Kecantikan Sophie Martin. Aku tidak ingin Lina dan Gema tumbuh besar tanpa dampingan salah satu dari kami. Aku tidak ingin suamiku pulang dan tidak mendapatiku di rumah. Aku tidak ingin waktu tersita untuk berbagai kesibukan tanpa ada yang mengurus rumah tangga dan berbagai persoalannya. Fajar sudah dapat mencukupi kebutuhan. Jadi, tak jadi masalah bagiku untuk tinggal dan menyeduh teh setiap sore di muka kolam ikan sembari membaca rangkaian kata Fira Basuki atau mendengar bait-bait kata Dewi Lestari dalam Rectoverso-nya. Juga, tak jadi masalah bagiku melakukan ritual malam berulang, menyambut Fajar yang tampak lelah. Kami masih punya week-end untuk dihabiskan di Bali atau Singapura dan itu memberikan ruang jeda yang cukup untuk keluarga, saling berbagi rasa dan cerita. Aku dan Fajar pun dapat mencari waktu untuk saling berbagi cinta, melewatkan malam dengan pemandangan laut, dan membiarkan peraduan menyimpan jejak malam kami. Sampai detik ini, duniaku adalah dunia yang sempurna. Hampir tanpa cacat. Dua anak yang lucu. Suami yang setia dan penuh cinta. Rumah yang indah dengan kolam ikan Koi dan pelataran yoga pribadi. Hidupku terada berada dalam sebuah kepenuhan dan kelengkapan. Namun, aku merasa akhir-akhir ini mendung menggelayut di hatiku. Gundah dan gelisah saling cerca dalam batinku menumpuk resah. Aku merasa ada sesuatu yang sedang terjadi dengan keluarga ini, sesuatu yang meruntuhkan kesempurnaan yang kurasakan. Sebagai wanita, aku yakin pada perasaanku, ada hal yang sedang berlangsung dengan keluargaku. Kegelisahanku tersebab Fajar yang beberapa hari ini jarang menghabiskan waktu di rumah. Terlihat terburu. Wajahnya sendu. Ada masalah yang sedang disimpannya. Pada detik-detik semacam ini, aku merasa buta soal pekerjaan suamiku.
Kini, dia pamit untuk ke luar negeri selama dua minggu. Lina dan Gema memang agak kecewa dengan keputusan ayah mereka, namun tetap saja melepas Fajar untuk tugas kerja. Aku berusaha menjelaskan pada mereka sambil merasa ada yang janggal dengan Fajar, akhir-akhir ini.
Dengan mencium keningku dan juga anak-anak, Fajar berpesan kepadaku dan anak-anak agar selalu saling mengasihi dan saling menjaga. Tak lama kemudian mobil dinaspun datang menjemput suamiku, serta mataku tak sejengkalpun meninggalkan mobil dinas tsb sampai menghilang ditikungan jalan. Setelas suamiku pergi, aku mempunyai firasat yang sangat aneh karena tifak seperti biasanya suamiku bersikap demikian. Hm ... besok pagi aku akan telepon Nani, sekretaris suamiku tuk mencari tahu, apa gerangan yang terjadi di kantor ? Malam semakin larut, tetapi aku tidak bisa tidur, aku merenung tentang masa-masa pertama kali bertemu dengan Fajar, saling jatuh cinta, bertunangan, menikah dan kemudian dikaruniai olehNya dua buah hati yang sehat. Begitu juga dengan keadaan keuangan kami, semakin hari semakin melimpah. Pernah ku bertanya kepada suamiku, mengenai rezeki yang dia dapat karena aku toh tidak bodoh, dengan melihat golongan kerjanya dan slip resmi gajinya yang cukup jauh dibawah jumlah uang yang dibawa pulang kerumah. Mendengar pertanyaanku itu, dengan tenang dan tanpa emosi, Fajar hanya bilang : ”Tak usahlah kau banyak bertanya sayang, semuanya kulakukan demi kita dan anak-anak, dan aku menginginkan agar mereka kelak bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri dan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit”. Ku kenal sifat suamiku, kalau aku banyak bertanya, sering dia merasa seperti diinterogasi oleh karena itu, aku hanya menyimak saja dan melanjutkan pekerjaan rumah tanggaku. Pagi yang cerahpun tiba, setelah meminta Yu Padmi menyiapkan sarapan untuk anak-anak, aku membangunkan kedua anakku, menyiapkan keberangkatan mereka, kami sarapan bersama dan meminta Pak Peno untuk mengantar mereka ke Sekolah. Setelah mobil yang membawa anak-anak berangkat, cepat-cepat ku sambar telepon dan memutar nomor telepon Nina. Kuatir rasa hatiku dan jantung ini berdebar-debar sambil menunggu Nina mengangkat telepon dari seberang. Terdengan suara Nina yang lembut sambil memberi salam, tanpa berformalitas panjang lebar, langsung saja saya bertanya kepada Nina, kemana suami saya pergi. Hening sejenak, hallo Nina ! ... katakanlah terus terang, kemana suamiku perginya ? tanyaku mendesak. ”Maaf ... Bu, sebenarnya saya tidak boleh memberitahukan ibu sebelum masalahnya tuntas” ”Masalah apa ?, jantungku makin keras berdetak, keringat dingin mulai mengucur di dahi begitu juga dengan rasa kesemutan di jari-jemariku. ”Baiklah Bu ! saya akan memberitahu ibu tetapi mohon ibu tenang karena semuanya ini masih dalam proses” kata Nina. ”Sekarang ini, Pak Fajar ada di Rumah Tahanan, alasannya mengapa ? lebih baik ibu menemui Pak Sugeng yang bisa menjelaskan duduk perkaranya. Dan saya akan buatkan ibu janji untuk menemui beliau besok pagi di kantor” jelas Nina. Suara Nina dari seberang sudah tak kudengar lagi, aku terduduk lemas. Oh Tuhan, apa salah suamiku ? mengapa aku tidak pernah mengikuti semua sepak terjangnya dengan diskusi atau menemaninya ke luar kota untuk berdinas ? ... 100x pertanyaan berputar di dalam otakku. Seminggu kemudian, aku mengetahui semua kesalahan dari suamiku dan dari proses pengadilan, suamiku dinyatakan bersalah karena menggelapkan uang negara melalui proyek-proyek yang ditanganinya. Aku benar-benar terpukul, kecewa dan tertekan yang luar biasa karenanya. Anak-anak sudah tak terurus lagi karena aku sering hanyat terbawa oleh masalah yang kami hadapi. Semua keluargaku campur tangan dalam mengurus anak-anak dan aktivitas rumah tanggaku sehari-hari. Aku tidak pantas hidup, anak-anakku juga tidak… kami makan dan minum, memakai serta menempati segala sesuatu hasil korupsi suami. Suami, ayah dari anak-anakku… sungguh, kami tidak pantas hidup.
Aku segera memasak yang lezat, masakanku yang paling digemari, disukai seluruh keluargaku. Aku mengirim orang paling kupercaya, agar membawa masakanku ke penjara, tempat suamiku ditahan. Sambil menunggu berita dengan jelas dan pasti bahwa makanan masakanku diterima suami di balik jeruji besi, kami duduk menghadapi meja makan. Begitu telpon berdering, dan suamiku bicara di seberang, pasti telah menerima masakan favorit dariku, kami pun segera makan bersama. Aku sengaja makan perlahan, dan paling akhir, supaya dapat melihat anak-anakku makan dengan puas. Setelah anak-anakku makan masakanku yang paling lezat, lalu melihat mereka melipat tangan di atas meja, menekuk kepala di atas tangan, seorang demi seorang, barulah aku makan sebanyak-banyaknya, sepuas-puasnya, namun sebelum makanan dan minumanku habis, tubuhku melayang dengan pandangan mata mengabur kian nanar. Langkah anak-anakku kuiikuti, aku melipat tangan, meletakkan kepala di lipatan tanganku, dan aku mulai perjalanan panjang… bersama anak-anakku, bersama suamiku… tanpa tubuh jasmani…. Tubuh jasmani kami, sudah diurus para tetangga dan sedulur, yang menemukan kami meringkuk di meja makan bersama. Demikian juga para sipir penjara segera mengautopsi jasad suamiku… ditemukan mati… dan hasil pemeriksaan dokter menyatakan, terkena dan keracunan sianida. Sang penyumbat pembuluh otak nan ampuh sehingga kami tidak perlu lagi berdampingan dengan orang-orang anti korupsi…. Aku sudah menuliskan surat wasiat, agar seluruh harta kekayaan kami dibagikan kepada rakyat miskin, karena mereka sangat berhak dan membutuhkannya. Tidak perlu disita Negara, karena dalam perjalanan sejarah bangsa ini, seluruh barang bukti tidak pernah diketahui, ke mana disimpan dan diamankan…. Rata-rata menjadi milik pribadi penjabat korupsi lain lagi. Begitulah rantai korupsi ini tidak pernah terhenti… walaupun kami ikhlas buat mati melepas tubuh fana dan hina ini…. Wassalammualaikum saudaraku… maafkan kami… karena tidak pernah mengerti… mengapa suami, ayah anak-anakku… koruptor sejati. Semoga kematian tubuh kami… bisa menjadi pengganti… setidaknya, pelipur lara sakit hati kepada siapa saja yang memiliki kesempatan korupsi…. Kalau kau punya kesempatan… jangan turuti hawa nafsu murka, iri dengki ini… cukup pada kami saja… agar adil makmur damai sejahtera tercipta di bumi pertiwi ini. Agar bumi pertiwi tidak menangis lagi. Penulis: Indriati See + Buanergis Muryono + Pieter Dolle [159] NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H