Mohon tunggu...
Buzz Cerigiz
Buzz Cerigiz Mohon Tunggu... lainnya -

@BuzzCerigiz

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[MPK] Jejak Sendu

10 Juni 2011   13:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:39 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

sumber gambar: http://stat.kompasiana.com/files/2010/09/jejak-langkah11.jpg

“Mas Reno, ini jalan ke mana ya? Perasaan baru kali ini kita lewat sini, apa aku yang lupa ya?” tanyaku sambil terus mengingat-ingat jalan yang kami lewati malam itu.

“Aduh…Sayang, kita sudah sering lewat jalan ini, masak kamu lupa terus sih!!!“ jawab Reno dengan nada agak kesal. “ Ngapain juga aku ngingat-ngingat jalan, kan ada kamu. Orang tiap kali jalan kan sama kamu terus.” Jawabku manja padanya. “Bener juga, tapi kan ngga’ selamanya aku bisa nemenin kamu, Sayang. Kalau suatu saat nanti aku ngga’ bisa nemenin gimana, tersesat dong jadinya, kamu. Hahahahahahaha…” Tawamu berderai begitu lepas malam itu. “Emang, kamu mau ke mana, Mas, sampai ngga’ bisa nemenin aku? Mau pergi jauh, emang bisa lama-lama jauh dariku, Mas? Hehehehehe…” sambil tersenyum simpul kubalas sekenanya. Mendengar jawabanku itu, Reno pun hanya tersenyum sambil memandangku dengan pandangan mata yang tampak sayu. Tak pernah kusangka sebelumnya, malam itu jadi malam terakhir aku bersenda gurau dengan Reno. Obrolan di dalam mobil itu pun adalah obrolan percakapan terakhirku dengannya. Pertemuan kami memang mungkin sudah digariskan oleh Sang Kuasa. Dia menghadirkan sosok Reno tepat ketika aku berada dalam keterpurukan. Reno begitu sabar menemaniku menghadapi masa-masa sulit dalam perjalanan hidupku, ketika aku kehilangan seorang Ayah dan berada jauh dari keluargaku. Saat itu, aku sebatang kara, sendiri menjalani lembar-lembar hidup di tanah rantau. Dalam kesendirianku Reno hadir di hadapanku karena kebetulan dia adalah rekan sekantor. Kami kerap saling tukar pikiran dalam hal apapun, baik dalam hal pekerjaan pun dalam permasalahan kehidupan. Bagiku, Reno adalah pribadi yang begitu dewasa. Awalnya, kami hanyalah teman biasa yang membangun persahabatan karena berada di satu tempat kerja. Itulah awal hubungan kami, sampai suatu saat musibah itu datang menyapaku. Yah, musibah ketika aku mendapatkan kabar bahwa Ayahku meninggal dunia. Peristiwa itu sangat menyakitkan bagiku karena aku tidak sempat melihat ayahku untuk terakhir kalinya. Dalam keputusasaan dan kesedihan mendalam, Reno berada di sisiku dan menemaniku melewati hari-hari yang sulit. Tanpa kusadari, hubungan kami menjadi semakin akrab dan dekat. Reno dengan kedewasaannya mampu mengimbangi sikapku yang masih seperti anak-anak. Aku merasa hari-hariku berjalan dengan begitu indah bersamanya. Derai tawa dan senyum manisnya mengisi relung-relung hatiku yang sepi. Seolah, aku menemukan dermaga hangat tempatku melabuhkan segala keluh kesah dan letih hidupku. Reno pun setia menghabiskan malam bersamaku ketika aku ingin bercerita, berbagi tentang berbagai kisah. Aku butuh teman untuk bicara dan Reno membuka ruang hatinya lebar-lebar untuk kumasuki dan berdiam di sana. Langkah-langkah kami senada, pandangan kami pun mulai seirama, dan kehidupan kurasakan mengalun seperti harmoni yang merdu. Perasaan yang memenuhi ruang-ruang batinku adalah bahagia dan damai ketika berada di dekat Reno. Kini, aku melihat kegelapan di depanku. Aku merasa seolah akan ditinggalkan oleh orang yang kucintai. Entah firasat dari mana aku tak tahu. Reno duduk di sampingku, menyetir dengan pandangan kosong ke depan.

“Mikirin apa sih, Mas?” tanyaku pada Reno dengan gelisah. “Oh…ehm…itu…bagaimana kabar ibumu di Yogya?” dia balas bertanya dengan nada yang jelas terbaca sekedar mencari-cari cara beralih rasa. “Mas, kok kelihatan kurang semangat sih, capek ya, atau lagi ada masalah, cerita aja…” rengekku mencoba menggali resah yang nampak di raut Reno. Tidak banyak yang dikatakan Reno malam itu. Setelah percakapan awal kami dia lebih banyak diam dan memandang ke arah kejauhan, seolah ada sesuatu yang perlu dipandang. Sorot matanya tampak kelu bagiku. Aku sendiri tidak tahu masalah apa yang sedang mengisi benaknya. “Gimana, Lan, langsung pulang atau melihat bulan sejenak?” kata Reno perlahan namun terasa begitu hangat dan dekat. “Mas Reno kelihatan lelah, Wulan langsung pulang saja, biar Mas bisa langsung istirahat, kan besok masih harus menyelesaikan susunan proposal proyek…” jawabku memberi ruang tenang padanya. “Bener nih, ngga nyesel lho, bulan dan bintang lagi bagus-bagusnya tuh di langit malam…ha ha ha romantis kan…” candanya membuatku yakin tidak ada masalah serius dengan dirinya. “Ah, Mas Reno, mulai ngelantur kan, bener kok, Mas, Wulan langsung pulang, besok datang lagi deh untuk bantu-bantu sedikit buat proposal.” balasku mesra pada sosok pria yang begitu kusayangi ini. “Oke deh, langsung cabut…” sambil mengecup keningku, Mas Reno kembali menjalankan mobil menyusuri jalan panjang menuju rumah kontrakanku di Lingkar Permai. Malam yang dingin terasa sampai ke dalam mobil karena kaca jendela memang sengaja dibuka supaya udara sejuk dapat masuk menemani kami berdua. Mas Reno masih menyetir dan menatap ke depan. Aku menatapnya dalam-dalam, merekam jejak-jejak kedewasaan yang ada pada raut wajahnya, mencari hangat pada mata lembutnya yang setia memandang penuh kasih padaku. Aku tidak ingin berpisah lagi dengan orang yang kucintai dan begitu mencintaiku. Aku tidak ingin terpisah jauh dari Mas Reno. Tepat sebelum jam sepuluh malam, aku tiba di kontrakanku. Sengaja, aku tidak menyuruhnya mampir ke rumah, karena aku melihat Reno perlu segera istirahat. “ Ehm…kelupaan, Sayang…besok aku ngga’ bisa jemput kamu ke kantor ya, ngga apa-apa kan, kalau sekali-sekali berangkat ke kantor sendirian, he he he, soalnya aku kan nyiapin proposal buat proyek besok neh… “ kata Reno sesaat sebelum beranjak dari kontrakanku “ Ehmm…ngga’ masalah, nanti kita ketemuan di kantor aja. Sudah, istirahat dulu sana, Mas. Hati-hati di jalan. Salamku buat Mamamu, Mas. “ balasku sambil mencium tangan Reno. Aneh. Aku merasakan ada perasaan aneh berdesir di relung hatiku, ketika aku melihat laju mobil Reno meninggalkan kontrakanku. Ada gelisah yang menggundah menimbun resah. Gelap yang terlihat di kejauhan seolah ingin menyelubungi orang yang kukasihi untuk selamanya. “Ah…hanya pikiran buruk saja!” kata batinku mencoba mengusir perasaan kacau dalam diri. ***

Jam dinding di ruang kerjaku sudah menunjukkan pukul 11.50. Sepuluh menit lagi waktu makan siang. Namun, sampai detik ini pun Reno belum terlihat. Tidak seperti biasanya Reno tidak ada kabar seperti. Yang bikin aneh adalah, bosnya sendiripun tidak tahu menahu perihal tidak munculnya Reno hari ini di kantor. Sms dan teleponku dari tadi tidak ada balasan sama sekali. Semakin resah aku dibuatnya. Berbagai pikiran buruk berkecamuk di benakku. Reno memang tipikal orang yang susah untuk ditebak, namun tidak pernah sedikitpun selama aku jalan sama dia, sampai membuatku khawatir seperti sekarang ini. Ah Reno, ada apakah dengan dirimu. Sekarang kamu ada di mana, Sayang? Gundah membabi buta dalam hatiku.Kesibukan dan keramaian kantor tidak mengaburkan kegelisahanku memikirkanmu. Capek dengan pikiran-pikiran yang kian tak menentu, aku memutuskan untuk makan siang di luar kantor. Dengan lesu kuraih tas dan hpku di atas meja. Betapa terkejutnya aku, ketika aku melihat di layar hpku sms dari Mama Reno yang menyuruhku segera datang ke rumah sakit. Seketika itu juga persendianku terasa lemas. Berbagai pertanyaan muncul di benakku dan menambah kegelisahan dan debar jantungku. Tanpa pikir panjang, aku segera meluncur ke rumah sakit. Di rumah sakit, Mama Reno serta merta langsung memelukku dengan penuh isak tangis. “Sabar ya, Lan, ikhlaskan kepergian Reno”, kata Mama Reno sambil sesenggukan memelukku. Tiba-tiba aku merasakan kepalaku begitu berat. Aku belum menangkap peristiwa yang sedang terjadi di depan mataku ini. Setelah kehilangan ayah dan mendapat sosok dewasa yang sanggup menemaniku kiniuh…semua terasa buram. Salah satu perawat menceritakan padaku tentang kecelakaan yang menimpa Reno. Mobil Reno tergilas truk barang kemarin malam, hanya karena sopir truk sedang dalam keadaan ngantuk. Tak pernah kusangka, kejadian naas ini menimpa hidup Reno. Kepergian menyisakan jejak-jejak pedih dan perih pada hati ini. Aku keluar dari rumah sakit. Terduduk. Terisak. Terpaku pandangku di taman. Tiba-tiba rintik hujan turun perlahan. Kubiarkan hujan membasahi diriku beserta segala kenangan dan nyeri hati. Inikah garis hidup itu? Selamat jalan Reno. Tawa, canda, dan senyum manis itu kusimpan rapi pada kotak kenangan hatiku. Penulis: perawan alas + pietdolle (42.) NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun