"Memberi & menerima"
Dua tindakan manis yang sama-sama membutuhkan keikhlasan, membutuhkan kebesaran hati yang akan sama-sama memancarkan kemenawanan hati. Jangan dikira hanya memberi yang membutuhkan hati tapi menerima pun adalah perbuatan hati yang tak kalah indahnya karena mampu mengalahkan harga sebuah diri & ego sebuah pribadi, menjadikan malaikat disurga bernyanyi riang penuh suka cita karena ada manusia-manusia yang saling merendahkan hati.
Saya pernah menawarkan bantuan baik berupa materi maupun dukungan spiritual, apa mereka yang bagi saya butuh dibantu itu pasti menerimanya? Tidak juga, banyak juga yang merasa mereka mampu dengan kekuatan mereka sendiri. Salah kah? Entahlah.
Tidak sedikit memang orang yang menolak untuk dibantu, benar jika mereka sesungguhnya mampu, mampu secara ekonomi, mampu secara mental dan mampu secara hati. Tapi bagaimana jika mereka yang menolak adalah orang-orang 'merasa mampu padahal rapuh'? D"Memberi & menerima" dua tindakan manis yang sama-sama membutuhkan keikhlasan.
Jangan dikira hanya memberi yang membutuhkan hati tapi menerima adalah perbuatan hati yang tak kalah indahnya karena mampu mengalahkan harga sebuah diri & ego sebuah pribadi, menjadikan malaikat disurga bernyanyi riang penuh suka cita karena ada manusia-manusia yang saling merendahkan hati.
Tentang maaf dan memaafkan, sadarkah kita bahwa itupun suatu tindakan memberi dan menerima yang sering kita sepelekan nilainya?
Ketika ego menghampiri setiap pribadi terkadang maaf dan memaafkan adalah hal mahal bahkan haram dilakukan, gengsi meminta maaf karena merasa benar atau merasa tinggi derajatnya, ataupun gengsi memberikan maaf dengan alasan yang sama, merasa benar atau merasa tinggi derajatnya. Hanya dua alasan itu? Tentu tidak sesederhana itu ada banyak alasan-alasan yang dilakukan setiap pribadi untuk mencari pembenaran atas sikap tidak maunya mereka.
Kita kadang lupa, perdamaian lah yang menjadi tugas kita di dunia, baik berdamai dengan diri sendiri atau berdamai dengan diri orang lain. Saat emosi terpendam sejenak saja didada, bukankah diri kita sendiri yang merasakan kegelisahan? Mood yang buruk, pikiran yang semrawut, tawa yang tidak lepas dan semua perasaan-perasaan tak nyaman bagi diri sendiri. Saat itu mungkin pihak yang kita rasa salah sudah mengantarkan maafnya tapi kita dengan angkuhnya menolak itu semua, padahal dia sudah berdamai dengan menciptakan perdamaiannya tapi karena penolakan kita, kita masih dengan kebusukan di hati, bahagiakah??? Tidak saya jamin.Â
Biarlah dalam kehidupan bersama ini, pikiran yang beda ini, hasrat yang berbeda dan cara yang berbeda ini kita dapat menciptakan perdamaian dengan saling memberi dan menerima dalam segala hal termasuk menghantar maaf dan memaafkan.
Tidak sedikit memang orang yang menolak untuk dibantu, benar jika mereka sesungguhnya mampu, mampu secara ekonomi, mampu secara mental dan mampu secara hati. Tapi bagaimana jika mereka yang menolak adalah orang-orang 'merasa mampu padahal rapuh'? Merasa tidak perlu dibantu untuk memulihkan kekerasan hatinya? Padahal ia sendiri yang merasakan kehancurannya.
Â