Mohon tunggu...
Piere Barutu
Piere Barutu Mohon Tunggu... Administrasi - Citizen Journalism

Email : pierebarutu@gmail.com .

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perdukunan Resmi Masuk Kebudayaan Bangsa ?

13 April 2013   07:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:17 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13658141571350708869

[caption id="attachment_237790" align="aligncenter" width="491" caption="Ilustrasi diphoto oleh Piere Barutu"][/caption]

Hampir semua lingkup di negeri ini di warnai praktek perdukunan, walau tidak semua berani transparan unjuk telunjuk mengakuinya, dengan ditutup berbagai kedok berbau kesucian, rajin berderma tutur bicara bernafaskan kebijaksanaan.

Menjadi persoalan apakah perdukunan menjadi suatu yang menjadi faktor X yang dapat dianggap sesat jika banyak pakarnya mengaku mengambil power supranaturalnya melalui penggalian “harta karun” di kitab – kitab yang telah lama di gunakan oleh banyak orang selama ini ?

Dalam dunia pekerjaan untuk mempertahankan jabatan atau menaikkan karir sudah menjadi hal yang lumrah, tiap personal memegang satu atau dua “orang pintar” sebagai actor di balik kesuksesan, saya mengenal salah satu orang “pakar dunia gaib”yang diketahui menjadi pelarian beberapa pejabat dan pengusaha papan atas, jika beliaudi undang atau dipanggil ke rumah kliennya, selalu ada – ada saja mengalir dari penerawangannya energi negative, di sini ada ini, disana harus dibeginikan sehingga menumbuhkan rasa untuk selalu waspada dan ketakutan.

Dalam pergaulan sehari – hari saya pribadi dan cerita para kerabat di perantauan mereka sering mengalami guyonan – guyonan sindiran pada saat awal berkenalan dengan orang – orang dari desa atau kabupaten asal keluarga kami berada, seperti biasa sambil bersalaman tentu orang akan mengatakan dari mana asal, kalau kami menjawab dari kampung Par… atau tanoh Pak … bukan main kagetnya kenalan baru itu.

Orang tua yang notabene berasal dari sana pun selalu berpesan saat , jika kalian pulang kampung jangan pernah ambil buah durian, mangga atau apapun tanpa minta ijin kepada siempunya dengan tambahan nanti bisa begitu dan begini dan tidak akan pernah ada obatnya, selain minta maaf kepada si pemilik.

Bukan tanpa sebab sebenarnya ijin dan minta maaf di kampung kami sedemikian menjadi keharusan, tragedi yang tidak bisa dilupakan keluarga adalah pernah adik orang tuaku laki – laki memutuskan hubungan dengan pacarnya sepihak dan membuat sakit hati mendalam si wanita, selang beberapa hari saja adik orang tuaku itu kehilangan akal sehat berteriak – teriak ( mirip kesurupan ) dan mulai bertingkah diluar kewajaran, keluarga besar di kampung mengetahui latar belakang derita ini, segera mengumpulkan seluruh keluarga menyambangi pihak wanita bermaksud meminta maaf, dengan membawa makanan sebagai sarana ungkapan perdamaian.

Tetapi sangat di sayangkan si wanita telah merantau jauh ke daerah lain dan sangat sulit ditemui atau dihubungi, sehingga kesimpulannya tidak pernah ada kata maaf sebagai pengampunan kepada mantan pacarnya yang sakit, karena tidak pernah bisa disembuhkan walau telah melalui berbagai pengobatan medis, akhirnya belasan tahun dengan penuh kasih sayang walau harus di pasung sampai meninggal di dalam kamarnya, sempat berkali – kali dalam bahasa daerah beliau berpesan “jangan pernah sakiti pacarmu”.

Kisah nyata lain sisi di provinsi asal kami, sebuah aliran Parma… yang sudah ada sejak jaman agama resmi belum masuk, aliran yang melakukan ritual mirip keagamaan dan dengan totalitas berpegang teguh sebagai penjaga adat istiadat leluhurternyata kerap di anggap sebagai aliran sesat dan tidak bisa mendapat KTP, padahal pengikutnya mencapai ribuan orang, (sangat disayangkan) semakin di perparah rumah - rumah mereka terkadang menjadi sasaran kebringasan penganut agama resmi yang menjalankan / menghormati penuh adat istiadat yang dilahirkan oleh penganut aliran tersebut.

Sekarang di banyak kota metropolitan dunia mistik, perdukunan dan semacamnya ternyata bisa ditemui dengan mudah ada yang laris manis seperti eyang S, dan K Ah, bahkan dengan terang – terangan sempat ada yang memasang iklan di koran dengan slogan anti potret ketika sudah tenar senang doyan di potret, semua ini tentu bukan karena sebab mungkin hal inisudah menjadi kebutuhan bagi sebagian masyarakat sejak dulu.

Jadi apakah perdukunan sejenisnya termasuk bilangan aset budaya negeri ?

Selamat pagi, Merdeka !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun