[caption id="attachment_202757" align="aligncenter" width="554" caption="Seorang nenek (Opung Boru) sedang mamiari kopi, photo file HKBP Adiannangka"][/caption]
Peralihan peruntukkan tanah dari kopi ke sawit mulai banyak terjadi di Sumatera, pemilik lahan seakan sudah enggan karena terlalu minimnya keuntungan financial yang di dapatkan dari menanam kopi.
Padahal Indonesia termasuk dalam urutan lima besar pemain kopi spesial di kancah internasional, sekitar 95 % lebih, kopi terbaik di ekspor ke luar negeri dari jenis kopi Arabica, sedangkan untuk jenis kopi Robusta lebih banyak di konsumsi oleh lokal, diseduh oleh petani dan di jual di pasar sekitar saja.
Sebenarnya para petani / pengusaha kopi tidak kehabisan akal dalam menyiasati anggapan dari rendahnya nilai dari jenis kopi Robusta, diSumatera Utara mereka sudah mencoba mengembangkan dengan kerjasama produktif dengan Luwak liar dan ternyata mendapat respon sangat baik dari dalam dan luar negeri, sehingga di waktu selanjutnya kedua varian kopi Robusta dan Arabica dengan mediasi Luwak dapat di jadikan salah satu andalan kopi asal Indonesia.
Biasanya dari hasil panen kopi terbaik masih ada hasil splitan atau mamiari ( dalam bahasa batak ) biasanya akan terpilih sekitar 5 % biji kopi sangat special dari keseluruhan panen.
Untuk Kopi Luwak yang telah di kemas oleh industri lokal di jual dengan harga variatif :
Seorang peneliti dan pengusaha kopi di kampung halaman kami Sumatera Utara dalam blognya menjual kopi Luwak Peaberry dalam bentuk kemasan 1Kg seharga Rp 3.160.000, untuk kopi luwak regular atau standar 1Kg nya dihargai Rp 1.250.000, kopi ini dapat di seduh sampai 100 cangkir.
Kopi Indonesia, yang sangat di minati ternyata masih harus bersaing dengan kopi tetangganya Vietnam , penyebabnya antara lain ; kecepatan panen yang lambat di karenakan tidak menggunakan bahan kimia ( kebanyakan pupuk kandang )Â dan penyuluhan cara bertanam serta memetik yang benar.
Bentuk dataran pertanian kopi di Brazil, dari pengamatan saya cukup mirip dengan lahan kopi di Sumatera Utara, seperti Kabupaten Pakpak Bharat, Dairi serta Humbahas. suatu anugerah yang baik, jika dapat dimanfaatkan dengan maksimal baik oleh masyarakat serta pemerintah.
Keluh dan kesah para petani kopi di Sumatera, kurangnya promosi yang gencar dan tepat sasaran, sehingga cukup banyak pihak ketiga dan seterusya nimbrung untung yang mengakibatkan para petani merasa di anak tirikan , mereka tangan pertama kebingungan dengan standar mutu yang ditetapkan untuk go Internasional, jika negara asing memesan kopi mereka selalu di minta sertifikasi, akhirnya kopi – kopi mereka ditampung oleh para pelaku eksportir kelas kakap yang memiliki pabrik besar yang mampu memenuhi standar mutu internasional. Sehingga aroma dan kenikmatan kopi Sumatera Utara yang telah menjelajah ke seantero dunia belum senikmat harga dan keuntungan seimbang yang mereka dapatkan
[caption id="attachment_202771" align="aligncenter" width="520" caption="Latar Belakang Kebun Kelapa Sawit, Kabupaten Siak Riau, Photo Oleh Piere Barutu"]
Pelan tapi pasti jika ini terus terjadi lahan pertanian kopi Sumatera Utara akan beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit yang mulai melintang mengikuti bukit barisan dan telah membuat provinsi tetangga mereka seperti Riau ( bumi lancang kuning ) jaya dan memiliki motto guyonan semangat “ Di bawah tanah Minyak, di atas kami Minyak.
MERDEKA !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H