Seorang teman menanyakan prospek dilaksanakannya kebijakan Quantitative Easing 3 (QE3) sejalan dengan perlambatan ekonomi Amerika. Ada juga yg menyebutnya Operation Twist. Daripada mengulas hal yang sama dengan jawaban yang sama, maka saya lebih memilih memposting kembali tulisan lama saya di Harian KONTAN, Selasa, 6 Juli 2010, hal. 23, dengan judul “Kontradiksi Stimulus Moneter”.
Singkatnya: sebagaimana kebijakan moneter gagal menstimulus ekonomi Amerika dalam jangka panjang di tahun 2000-2001, 2007-2008, dan 2009-2010, bagaimana saat ini bisa berbeda hasilnya? Sementara mungkin stimulus moneter mendorong orang berspekulasi di sektor finansial, tapi akhirnya sektor riil yang rusak parah akan mendikte hasil akhir keseluruhan ekonomi.
+ + + +
Pemulihan ekonomi global yang dimulai akhir 2009 menimbulkan persepsi bahwa stimulus global telah berhasil. Argumen untuk intervensi pemerintah dalam menghadapi krisis dan menstabilkan ekonomi semakin menguat.
Krisis ekonomi sering dilihat sebagai kegagalan pasar dan menjadi pembenaran bagi intervensi pemerintah. Pada krisis global 2008, sektor finansial dianggap sumber utama kegagalan pasar. Spekulasi berlebihan di sektor finansial menimbulkan ketidakstabilan ekonomi yang berdampak pada sektor riil seperti menurunnya kegiatan ekonomi dan peningkatan penggangguran.
Sayang, intervensi pemerintah mendorong tumbuhnya sektor finansial yang semakin spekulatif. Hal ini dikarenakan intervensi pemerintah terfokus pada penyelamatan perusahaan finansial yang bermasalah karena kelebihan utang (over-leverage). Intervensi Bank Sentral, yaitu penurunan suku bunga, pembelian surat utang bermasalah, dan pemberian pinjaman likuiditas, berarti memberikan stimulus bagi spekulator yang ceroboh. Sebaliknya, suku bunga yang rendah merupakan hukuman bagi penabung konservatif yang menyimpan uang di deposito perbankan.
* * *
Investor bisa melakukan spekulasi berlebihan bila mempunyai akses ke pinjaman dengan bunga murah (=rendah). Fenomena ini terjadi dalam spekulasi global di saham internet dan telekomunikasi akhir 1990-an dan di sektor properti dan finansial tahun 2000-an. Di China, sebagai respon dari stimulus besar-besaran tahun 2009, spekulasi properti di kota Beijing dan Shanghai mendorong kenaikan harga sampai 50% dalam setahun terakhir.
Kebijakan moneter berupa ekspansi kuantitas uang (Quantitative Easing) kembali populer sepanjang 2008-2009. Metode Kuantitatif ini bukan hal yang baru, karena sejarah kebijakan moneter memang fokus pada dinamika jumlah uang beredar, dikenal sebagai “Quantity Theory of Money” (Blaug dkk, “The Quantity Theory of Money: From Locke to Keyes and Friedman”, 1995).
Kebijakan ekspansi moneter kuantitatif sebenarnya berdampak netral terhadap ekonomi riil. Alasannya mendasar dan sederhana: mencetak uang bukan kegiatan produktif. Karena itu mencetak uang tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Efek akhir dari kebijakan ekspansi moneter adalah kenaikan harga-harga barang (inflasi) atau gejolak ekonomi.
Tidak produktifnya pencetakan uang bisa dibuktikan dengan logika sederhana. Bila seorang petani menghasilkan satu ton padi, tentunya diperlukan suatu tindakan produktif berupa mengolah lahan, merawat tanaman, dan memanennya. Untuk menghasilkan padi lebih banyak, katakanlah dua ton, diperlukan kegiatan produktif yang lebih banyak pula.
Sebaliknya, ketika Bank Sentral mencetak uang senilai Rp 1,000, atau Rp 10,000, atau Rp 100,000, hanya diperlukan keputusan instan (tanpa usaha produktif) untuk menuliskan jumlah nol yang lebih banyak di selembar kertas yang sama. Nilai riil yang dikandung uang tetap sama, yaitu selembar kertas yang tidak berguna. Bank Sentral yang memutuskan nilai nominal uang yang berbeda sesuai selera penguasa atau desakan politisi.
Efek positif berupa membaiknya ekonomi paska ekspansi moneter terjadi karena masyarakat salah persepsi tentang nilai kekayaan nominal uang baru. Dalam teori ekonomi, kebijakan moneter akan efektif bila masyarakat mengalami ilusi uang (money illusion), yaitu merasa lebih kaya karena memiliki jumlah nominal uang yang lebih banyak. Setelah pertambahan uang beredar terefleksi pada kenaikan harga-harga, barulah masyarakat sadar telah tertipu.
Eksperimen kebijakan moneter ekspansif dilakukan di Indonesia maupun negara lain. Pada masa Presiden Soekarno pertumbuhan uang beredar tahun 1965 dan 1966 sekitar 280% dan 760%, yang menyebabkan inflasi tahunan 594% dan 635%. Akhir pemerintahan Presiden Soeharto juga disertai kebijakan ekspansi moneter, berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dengan pertumbuhan uang beredar 110% per tahun (per November 1998) dan inflasi 78%.
Pada kasus ekstrim, inflasi mencapai lebih dari 50% per bulan atau dikenal sebagai hiperinflasi. Misalnya seperti di Jerman (Oktober 1923), Hungaria (Juli 1946), dan baru-baru ini Zimbabwe (November 2008), dimana inflasi bulanan masing-masing adalah sekitar 29 ribu persen, 13 ribu Triliun persen, dan 79 Miliar persen (angka itu bukan salah ketik).
Inflasi yang super-tinggi mengakibatkan kegiatan ekonomi sektor riil menjadi kacau dan terhenti. Pertumbuhan ekonomi menjadi negatif dan pengangguran meningkat tajam.
Kasus ekstrim lain adalah terjadinya deflasi. Dimana ekspansi moneter pada periode sebelumnya telah mendorong beban utang yang sangat tinggi (over-leverage), investasi yang berlebihan, dan terbentuk gelembung aset (asset bubble, seperti saham, properti, dan komoditas). Saat gelembung aset pecah, ekspansi moneter tidak efektif lagi mengimbangi proses penurunan utang (deleverage). Kelebihan kapasitas produksi dalam ekonomi juga menimbulkan tekanan harga hebat. Kombinasi pecahnya gelembung aset, proses pengurangan utang, dan tekanan harga dari kelebihan kapasitas produksi menyebabkan penurunan harga berkelanjutan seperti pada era Great Depression 1930-an dan Jepang 1990-an.
Indikasi ini terlihat dalam stimulus global 2008-2009. Meskipun stimulus moneter sangat besar, misalnya di Amerika pertumbuhan uang per akhir Mei 2010 mencapai sekitar 140% dibandingkan akhir tahun 2007, tetapi kredit perbankan pada periode yang sama hanya tumbuh 2%, dengan inflasi rendah di sekitar 2% per tahun. Hal serupa terjadi di Eropa. Harga komoditas juga tidak mampu naik melebihi harga tertinggi yang dicapai tahun 2007-2008. Kelebihan kapasitas produksi di China memungkinkan inflasi terkendali di sekitar 3%, padahal pertumbuhan ekonomi mencapai 10% per tahun. Secara global, harga instrumen finansial (saham dan obligasi) yang naik tajam pada tahun 2009, refleksi spekulasi yang berlebihan. Namun saat ini harga instrumen finansial kembali mengalami penurunan.
Akhir Efek Stimulus Moneter
Meskipun stimulus besar-besaran oleh negara maju berhasil memulihkan ekonomi global pada akhir 2009, hal ini bersifat temporer dan semu. Tanda-tandanya pun sudah terlihat. Saat ekonomi dunia mengalami pemulihan, ternyata Dubai, Yunani, dan Hungaria mengalami krisis utang. Spanyol yang sepanjang 2008-2009 sistem perbankannya dipuji karena mampu bertahan dari krisis subprime, saat ini juga dikhawatirkan terpuruk dalam krisis finansial.
Dubai, Yunani, Hungaria, dan Spanyol hanya lah gejala sakit, dengan sumber penyakitnya permasalahan sektor finansial di negara maju seperti Amerika dan Inggris. Ini mengingatkan kita bagaimana peran permasalahan sektor finansial Jepang 1990-an dalam terjadinya krisis Asia 1997-1998.
Di Amerika, stimulus besar-besaran tidak mampu mencegah kebangkrutan bank-bank. Sepanjang 2010 (per 30 Juni) sudah 86 bank yang ditutup, sedangkan pada tahun 2009 ada 140 bank yang ditutup (lihat: http://www.fdic.gov/bank/individual/failed/banklist.html). Penurunan harga rumah, yang sudah terjadi sejak Juni 2006 dan memicu krisis finansial, kembali terjadi pada periode Februari-April 2010.
Tingkat pengangguran di Amerika dan Eropa juga tetap tinggi meskipun ekonomi dinyatakan mengalami pemulihan. Dalam sejarah ekonomi, pemulihan ekonomi selalui disertai penurunan jumlah pengangguran. Indikator kegiatan ekonomi Amerika seperti ECRI Weekly Leading Index (lihat: www.businesscycle.com) yang akurat memprediksikan siklus ekonomi saat ini telah turun ke 123 (18 Juni) dari titik tertinggi 135 pada akhir April 2010.
Pelajaran berharga bagi pembuat kebijakan moneter Indonesia adalah: ekspansi moneter tidak dapat mengatasi masalah struktural ekonomi. Efek pemulihan ekonomi dari stimulus moneter hanya sementara. Kebijakan ekspansi moneter dalam ekonomi yang terbebani utang akan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi lanjutan dan akhirnya menghambat pemulihan ekonomi. Meskipun fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik daripada era 1997-1998 dan 2008, pemerintah tetap harus berhati-hati terhadap imbas kembalinya resesi dan krisis ekonomi global. Apalagi akhir-akhir ini arus modal yang masuk sangat besar dan potensial menimbulkan gejolak finansial bila terjadi pembalikan arus modal keluar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H