Setelah beberapa waktu, masalah timbul bagi investor institusi karena saham tidak bisa dijual untuk realisasi keuntungan. Saat dijual, terjadi koreksi harga ekstrem kembali ke harga awal sebelum bandar melakukan manipulasi harga. Barulah investor institusi mengalami kerugian ratusan miliar sampai triliunan rupiah.
Bandar juga melakukan penjualan saham gorengan menggunakan reksa dana saham dan campuran kepada investor ritel. Bisa juga dari awal sudah ada persetujuan antara investor institusional yang memegang repo saham dengan bandar untuk menitipkan saham-saham yang digoreng di reksa dana eksklusif. Penggunaan reksa dana ini terutama untuk memudahkan bandar mengontrol kepemilikan saham. Selain itu, investor ritel juga dapat menjadi kamuflase skema manipulasi harga saham.
Semua proses transaksi saham gorengan itu berjalan sesuai ketentuan hukum yang ada. Tidak mudah bagi regulator untuk dapat menindak secara hukum terhadap si bandar dan investor repo saham.
Fakta bahwa pejabat investor institusional, seperti Dana Pensiun dan perusahaan Asuransi, adalah orang berpendidikan tinggi yang ahli dibidangnya, maka dapat dipastikan mereka mengerti apa yang terjadi. Satu-satunya alasan transaksi repo saham gorengan terjadi karena mereka punya kepentingan bertindak demikian. Jadi, uang dana pensiun dan asuransi tersebut memang dirampok bersenjatakan saham gorengan.
Sebagai penjaga rumah, maka para direksi dan komisaris perusahaan yang membukakan pintu rumah agar bisa dirampok oleh si bandar penggoreng saham. Karena itu penegak hukum harus bertindak tegas dan menghukum para pelaku seberat-beratnya untuk memperbaiki citra institusi pasar modal Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H