Sepanjang 2017, Rupiah mayoritas bergerak di sekitar  Rp 13.300/ US$. Sempat melemah ke Rp 13.500- 13.600 di akhir tahun 2017, namun kemudian menguat kembali ke Rp 13.300 pada awal 2018.
Sekarang Rupiah kembali melemah ke sekitar Rp 13.700, bahkan sempat menyentuh Rp13.800 (9 Maret 2018).
Saya tidak akan membahas faktor apa penyebab pelemahan/penguatan Rupiah. Sudah banyak yang komentar dan akhirnya sadar sendiri: tidak ada yang tahu mengapa. Lalu mengapa pengamat tetap komentar mengenai pergerakan Rupiah??? Karena wartawan nanya terus dan pengamat juga harus tampil terus, ya serupa dengan artis2 baru yang lagi nyari popularitas.
Setelah baca-baca lagi berita tentang nilai tukar 2011-2018 (catatan: dalam periode itu Rupiah terkuat di sekitar Rp 8.600 di pertengahan 2011, paling rendah di Rp 14.700 di Sept2015) maka tahapan komentar standar dari berbagai pejabat pemerintah / pengamat tentang pelemahan Rupiah adalah sbb:
1. saat pejabat bilang "Rupiah di BawahNilaiFundamentalnya", artinya BI masih intervensi dan mempertahankan nilai tukar Rupiah sesuai berbagai asumsi dokumen resmi pemerintah (APBN, Laporan Tahunan BI).
2. saat pejabat bilang "Rupiah Menujuke KeseimbanganBaru", artinya Rupiah baru menembus angka ribuan-baru ( 10.000 , 11.000 , 12.000 , 13.000 , 14.000, dst...) dan biasanya BI sudah berhenti intervensi (karena BI lebih sayang ama cadangan devisa daripada ama nilai tukar. Atau karena trader BI sadar gak ada gunanya malawan spekulan valas).
3. saat pejabat bilang "Pelemahan Rupiah akibat Ulah Spekulan", artinya semua pejabat nyerah dan siap2 doa Istighosah, berharap bantuan dari Yang Maha Kuasa. Pada saat seperti ini, biasanya Rupiah sudah siap menguat tanpa ada tindakan apa pun dari pemerintah.
Kalau Rupiah menguat, semua berlomba2 muncul mengklaim diri paling tahu dan paling benar kebijakannya. Giliran Rupiah melemah, komentar jadi gak konsisten.
Moral cerita, seperti Hayek ingatkan: "The curious task of economics is to demonstrate to men how little they really know about what they imagine they can design." (sumber: The Fatal Conceit; The Errors of Socialism, hal 76 ).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H