Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hati2 Investor Saham Properti dan Konstruksi

8 Juli 2013   11:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:51 2087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Investor masih terkenang2 dengan kinerja saham properti dan konsumer yang luar biasa. Investor lupa, saham properti (JAKPROP Index) naik luar biasa di 2012-Juni 2013 setelah lama lesu (tahun 2009-2011 kinerja indeks Sektor Properti paling tertinggal dalam IHSG) sehingga valuasinya pada pertengahan 2011 menjadi paling murah. Sedangkan saham sektor Konsumer (JAKCONS Index) dan sektor Perdagangan (JAKTRAD Index) memiliki valuasi sangat mahal karena tema konsumsi domestik menjadi favorit pada 2009-2012, paska meredupnya booming sektor komoditas (2003-pertengahan 2008). Tiga sektor ini, Properti-Konstruksi, Konsumer, dan Perdagangan-Jasa, memang valuasinya paling premium dalam IHSG.

Namun sekarang proses pembalikan arah terjadi. Bunga yang turun ke titik rendah paska krisis finansial global 2008, mulai naik. Ekspansi kredit akan melambat. Efek multiplier dari booming komoditas (spt batubara dan kelapa sawit) telah sirna. Arus global investasi yg menjadikan ASEAN sbg favorit tujuan investasi sepanjang 2009-2012, sepertinya berakhir.

Bagaimana outlook IHSG sampai akhir 2013? Ada dua hal yg perlu diperhatikan, yaitu perkembangan yield Surat Utang Negara (SUN) dan rotasi global arah investasi.

Pertama, pemulihan IHSG tidak disertai pemulihan yg signifikan di bagian lain pasar modal, yaitu pasar obligasi. Harga SUN cenderung stabil, tapi tidak ada pemulihan signifikan. Bahkan pada 4 Juli turun ke titik rendah baru di 2013 (Lihat tulisan "Duel Saham vs Obligasi" pada tanggal Desember 2010, Januari 2011, dan Juli 2011 ).

Bagi investor global, saham dan Surat Utang Negara (SUN) dari Emerging Market sama-sama aset berisiko tinggi. SUN pemerintah Indonesia juga menjadi favorit bagi investor global. Jadi kalau saham rally tapi SUN stangan, ada sikap ragu2 dari investor global. Investor obligasi global umumnya investor institusional yg lebih ahli dalam analisa ekonomi makro, sedangkan investor saham banyak pemain ritel yang sekedar ikut2-an saja. Karena itu SUN bisa menjadi indikator pendahulu (leading indicator) bagi bursa (bahkan ekonomi sektor riil), sedangkan IHSG cenderung jadi indikator pengikut (lagging indicator).  (lihat artikel Prof Mark Thoma :  What does the rising Dow mean? Untuk makalah serius baca: Harvey (1989),”Forecasts ot Economic Growth from the Bond and Stock Markets”, Financial Analysts Journal, p.38-45 ).

Di tahun 2013, Indeks Harga SUN dari HSBC (grafik merah, skala kanan) sudah koreksi sejak Januari 2013, tapi IHSG (grafik biru, skala kiri) masih rally kencang di periode Februari – Mei 2013. IHSG mencapai puncak 20 Mei 2013, pada saat Indeks Harga SUN HSBC sudah turun lebih dalam sejak 14 Mei.

Grafik Indeks Harga Surat Utang Negara vs Indeks Harga Saham

[caption id="attachment_265364" align="alignleft" width="736" caption="IHSG vs Indeks Harga Obligasi"][/caption]

Apa hubungan lain yield obligasi dan bursa saham? Umumnya valuasi saham menggunakan metode Discounted Cash Flow (DCF) dimana dua faktor penting metode ini adalah: discount rate (biasanya menggunakan yield SUN) dan asumsi pertumbuhan cash flow perusahaan. Nah kalau yield SUN naik, maka discount rate dari model DCF juga naik, sehingga nilai Present Value dari cash flow masa mendatang menurun. Analis juga cenderung menurunkan target pertumbuhan perusahaan ketika yield risk free asset yaitu SUN naik. Otomatis valuasi harga saham turun drastis, dan downgrade terhadap saham dilakukan secara berlebihan (lihat: Henry Blodget, "The Folly of "Cheap" and "Expensive" Stocks”). Apalagi bila saham tersebut saham sektor finansial yg sangat sensitif terhadap kondisi suku bunga dan kebetulan memiliki bobot yg cukup besar di IHSG (sekitar 23% bobot IHSG dari sektor finansial).

Secara teknikal, perhatikan juga koreksi indeks sektoral. Saham2 properti dan konstruksi paling tertekan dan cenderung tidak pulih pada saat pasar rally kecil. Sejak akhir Juni- saat ini dimana IHSG konsolidasi dan masih lebih tinggi dari titik terendah 25 Juni, Indeks Properti turun lebih dalam. Ada dua kemungkinan:

(1)Momentum sektoral berubah, dimana momentum Indeks Properti/Konstruksi mulai berakhir.

(2)Saham sektor Properti/Konstruksi umumnya small cap, dimana investor yg punya banyak posisi saat mengejar momentum 2 tahun terakhir skrg tidak mudah keluarnya.

Bahkan dibandingkan sektor finansial, yg seharusnya terpukul berat krn banyak big-cap dan yield SUN naik tajam, saat ini properti/konstruksi masih sangat terpukul dengan koreksi harian dalam minggu ini meningkat.

Grafik return Properti & Finansial vs IHSG 2013

[caption id="attachment_265366" align="alignleft" width="736" caption="Kinerja IHSG vs Sektoral"]

13732588761193257737
13732588761193257737
[/caption]

Beberapa hal yang mungkin perlu dipertimbangkan dalam valuasi saham properti:

(1)Pertumbuhan pendapatan perusahaan properti 2-3 tahun terakhir distimulus oleh ekspansi kredit konsumer yg agresif dengan bunga yang rendah. Siklus ini sekarang melambat dan bunga kredit mulai berbalik arah.

(2)Pertumbuhan pendapatan perusahaan properti yg sangat tinggi beberapa tahun terakhir tidak bisa begitu saja diekstrapolasi menjadi pertumbuhan tinggi lanjutan dimasa mendatang. Perlu ada pertimbangan penyesuaian potensi pertumbuhan pendapatan.

(3)Kenaikan harga properti yang awalnya menarik investor spekulatif di sektor properti, sehingga harga naik lebih tinggi, pada akhirnya akan menurunkan daya beli konsumen akhir.

(4)Efek likuiditas dari booming komoditas (batubara dan kelapa sawit) yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia paska krisis global 2008 mulai hilang, terlihat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi (PDB Riil) di saat booming sektor konsumer dan properti terjadi.

Kedua, rotasi investasi dari Emerging Market ke Developed Market (Amerika).

Pertumbuhan ekonomi sering dianggap faktor penting dalam strategi investasi saham. Benar kah demikian? Bisa ada yg menjelaskan mengapa China yg memiliki pertumbuhan ekonomi paling tinggi di dunia memiliki kinerja saham yg paling buruk sepanjang 2010-2013??? Mengapa Amerika yg konon ekonominya hancur lebur dengan utang besar memiliki kinerja saham yang jauh lebih baik daripada Emerging Market??? Jadi sebenarnya tidak jelas hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan dinamika harga saham (lihat: Jay Ritter,"Is Economic Growth Good for Investors?" dan Javier Estrada, "Blinded by Growth" dalam Journal of Applied Corporate Finance, (2012), Volume 24 (no.3)).

Lihat grafik perbandingan return antara saham di Amerika (S&P500, kode SPX Index) dengan MSCI Emerging Market Index (MXEF Index) dan MSCI South East Asia Emerging Market (MXSO Index).  Selain faktor likuiditas, rotasi sektoral investasi menjadi penting. Tahun 2009-2010 memang investasi mengalir ke Emerging Market, sehingga return investasinya jauh diatas S&P500. Tapi tahun 2011-2013 adalah tahunnya Amerika. MSCI South East Asia Emerging Market kinerja yang cukup bagus di era 2011-Juni 2013, tapi masih jauh tertinggal dibandingkan dengan S&P500.

Grafik Return 2011-Jun2013: S&P500 Outperform Emerging Market

[caption id="attachment_265367" align="alignleft" width="736" caption="Perbandingan Kinerja Indeks S&P500 vs Emerging Market"]

13732590391317589916
13732590391317589916
[/caption]

Dengan kenaikan rata-rata IHSG sebesar 11% dalam periode Januari 2011-Juni 2013 , dan koreksi mencapai  11-22% pada Januari 2011, Agustus-September 2011, Juni 2012, dan Mei-Juni 2013, kondisi bursa saham Indonesia menggambarkan era “High Risk, Low Return”. Bahkan tahun 2011-2012, rata-rata imbal hasil investasi SUN lebih baik daripada investasi di saham. Ini menegaskan bahwa hubungan risiko dan return investasi tidak linier seperti dalam jargon “Low Risk - Low Return, High Risk - High Return”, tapi ada korelasi yang sangat dinamis dimana tercipta juga kondisi “Low Risk - High Return” (seperti periode 2009-2010) dan ada juga “High Risk - Low Return” (seperti tahun 2008 dan 2011-2013).

Dalam kondisi investasi “High Risk, Low Return”, pendekatan “bottom up approach” (menekankan pada fundamental perusahaan yg bagus dan valuasi yg murah) menjadi faktor terpenting untuk bertahan dan meminimumkan kerugian. Saham2 dengan optimisme yg terlalu tinggi, seperti sektor konsumer dan properti, dengan valuasi yg sangat mahal akan berpotensi terkoreksi lebih dalam dan kesulitan untuk pulih (ingat nasib saham2 komoditas paska booming tahun 2007 – awal 2008???).  Porsi uang tunai yang lebih besar juga menjadi bagian strategi investasi untuk dapat mengakumulasi saham2 pilihan dengan fundamental kuat dan valuasi relatif murah seperti: BBRI, PNBN, ASGR, BTPN, AUTO, dan WINS. Meski momentum sektor pertambangan dan agrikultur sangat negatif sejak 2010, boleh jadi saham pilihan spt UNTR, PTBA, ANTM, dan LSIP dapat dipertimbangkan untuk investasi jangka panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun