Aku menguping pembicaraannya dengan Tuhan dipojokan kamar, di tempat yang paling sudut. Sesekali berucap, memohon menyebutkan namaku. Lebih dari seluruhnya, dia larut dalam air mata yang dia nikmati sendiri. Sebentar tadi, dia adalah pahlawanku, berjuang untukku sedari matahri terbit sampai berganti sang bulan. Begitulah sejak aku lahir.Â
Sekarang, aku sedang menonton. Menonton kebesaran cinta yang selalu dia suguhkan untukku. Begini ternyata, ketika kata-kata luntur, ketika dia menyerah, ketika seorang ibu menampakkan wujud aslinya sebagai seorang manusia biasa. Wujud yang tak pernah dinampakkannya padaku.
"Ma, maafin Zan. Zan sungguh tak bermaksud meragukan perjuangan mama untuk Zan. Zan hanya...." Aku memberanikan diriku menghampiri mama yang sudah selesai berbicara dengan Tuhan.
"Ma, Zan sayang mama." Sambungku dengan air mata tumpah ruah membasahi pipiku.
Mama memelukku dengan begitu lembut. Seburuk apapun keadaanku, pelukan mama selalu bisa membuat hatiku pulih.
"Mama tau Zaneta begitu sayang mama. Sudah. Jangan nangis lagi. Mama tak pernah sanggup melihat air matamu jatuh."
Kata-kata mama semakin membuatku merasa bersalah. Aku tau aku sudah begitu melukai hatinya. Emosiku pasti sudah begitu menghancurkan perasaannya.
"Kalau mama mau hukum Zan, Zan siap ma."
"Oke kalau begitu. Sekarang Zan harus mama hukum ya."
Aku menunduk menyiapkan hatiku untuk mendengar hukuman apa yang akan dihadiahkan mama padaku.
"Sekarang, Zan harus berhenti nangis. Hapus air mata yang ada di pipi Zan. Lalu tidurlah di sini dengan mama malam ini. Itu hukuman buat Zan."
Aku menurut seperti seorang anak kecil yang sedang menjalani hukuman. Kami tidur berhadapan, dengan selimut yang sama. Aku bisa melihat jelas mata indah mama. Mata bulat mama yang kecoklatan.