Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Tak Takut Miskin, Kalau Kamu?

25 Juli 2021   14:22 Diperbarui: 25 Juli 2021   14:54 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembicaraan kami masih tetap tentang tawaran pekerjaan yang aku terima baru-baru ini. Sudah sejak Januari lalu aku sudah tak bekerja lagi. Yah begitulah! Aku adalah salah satu orang yang meramaikan bursa pengangguran di negeri ini setelah pandemik. Beberapa hari lalu aku mendapat tawaran bekerja di luar kota. Papua! Tawaran itu datang dari salah satu penyedia jasa catering rumah sakit. Iya! Rumah sakit swasta yang juga merupakan rumah sakit rujukan covid. Sudah beberapa hari ini aku mencoba membujuk suamiku untuk memberikanku ijin.

"Jadi gimana ini, Bang?" Ini hari ketiga aku mencoba membujuknya.

Segala pertimbangan sudah aku berikan. Mulai dari tunggakan uang sekolah dua anak kami yang sudah sejak Februari lalu tak terbayar sampai kebutuhan sehari-hari yang tak juga bisa kami penuhi.

"Kau ditawarkan gaji berapa rupanya di sana?"

Kami mulai menghitung-hitung dan memperkirakan antara gaji dan resiko yang akan kami hadapi kelak.

"Kalau cuma enam juta yang bisa kau kirim ke Medan, mending nggak usah." Sanggah suamiku tegas.

"Enam juta itu bukan duit rupanya? Aku kerja di Medan pun tak pernah bisa dapat enam juta, Bang. Lalu kita nutupin kebutuhan kita pakai apa? Tunggakan uang sekolah aja sudah sejak Februari. Dua bulan lagi mesti bayar kontrakkan rumah pake apa?"

"Ya lihat nanti aja. Jangan seperti tak punya Tuhan."

Kondisi keuangan rumah tanggaku semakin memburuk sejak aku resmi tak bekerja. Suamiku yang hanya seorang freelancer, sejak dulu penghasilannya memang tak menetap. Darinya, aku biasa menerima tiga puluh sampai lima puluh ribu per sekali dia kerja. Seminggu dia biasa kerja dua sampai empat kali.

Aku menepiskan ego dan rasa takutku, memberanikan diri melanjutkan tawaran pekerjaan yang masih kugantungkan itu.

"Kau takut miskin? Medan-Papua itu jauh. Apa yang ada di otakmu sampai kau berani pergi sejauh itu demi uang?" Tanya suamiku dengan nada bicara tinggi.

"Aku tak takut miskin. Sejak kecil aku bersahabat dengan rasa lapar. Tapi aku takut anak-anakku putus sekolah. Aku tak mau mereka bersahabat dengan rasa lapar." Jawabku dengan suara bergetar menahan tangis.

"Kan sudah kubilang, jangan seperti tak punya Tuhan."

"Tuhan memang memelihara burung di udara. Tapi Tuhan tak memelihara orang malas yang tak mau berusaha."

Plakkk....

Aku mendapatkan hadiah tepat di pipi kiriku.

"Maksudmu aku orang malas itu?"

Rasanya suamiku siap menelanku hidup-hidup. Matanya nanar. Wajahnya merah padam.

"Tuhan tak akan memberi makan orang yang sejak pagi sampai sore kerjaannya hanya tidur. Bangun hanya untuk bermain game, makan, dan buang air." Aku menggila.

"Bagimu nikmat bekerja seadanya, pasrah sama keadaan. Kalau ada yang manggil, kau kerja. Kalau nggak ada yang manggil kau tenang. Darimana kau peroleh ketenangan waktu kau lihat beras di dapur tak ada. Darimana kau bisa tenang waktu anak-anak sakit seperti kemarin dan  satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah menelepon keluargaku untuk minta bantuan dari mereka. Kau sehat, tak pantas kau meminta-minta untuk disantuni."

Pranggg...

Dia mengamuk. Menarik rak piring mungil kami dan memecahkan semua yang ada di dalamnya.

Sekarang kami semakin tak punya apa pun.

***

"Kau tak masak?" Tanya suamiku setengah marah melihatku masih duduk santai padahal jam menunjukkan pukul sepuluh.

"Karna lapar kau terbangun? Kau mau aku masak apa?" Tanyaku ketus.

"Ya masak apa aja. Aku lapar."

"Kau takut miskin?" Tanyaku sinis.

"Maksudmu?"

"Beras sudah tak ada sedikit pun. Apa lagi uang!"

"Lalu??"

"Ya lalu apa? Nggak usa takut. Jangan seperti tak punya Tuhan. Sehari tak makan tak akan membuat manusia lantas mati." Jawabku meniru kata-kata yang pernah diucapkannya.

Hidup memang pilihan. Berhati-hatilah menentukan pilihanmu karena keadaanmu hari ini, bisa jadi adalah hasil keputusanmu kemarin, bulan lalu, tahun lalu atau bahkan sepuluh tahun yang lalu.

Ego seringkali membawa manusia pada kehancuran. Dan gengsi seringkali membawa manusia pada titik terendah di hidupnya. Patriarki, sesungguhnya hanya akan mendatangkan masalah untuk kaum adam jika tidak diikuti dengan usaha memantaskan diri untuk dihormati. Jika kaum hawa bahkan siap berbagi peran menjadi tulang punggung keluarga, kenapa masih banyak kaum adam yang menjunjung patriarki dibalik alasan kodrat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun