Pembicaraan kami masih tetap tentang tawaran pekerjaan yang aku terima baru-baru ini. Sudah sejak Januari lalu aku sudah tak bekerja lagi. Yah begitulah! Aku adalah salah satu orang yang meramaikan bursa pengangguran di negeri ini setelah pandemik. Beberapa hari lalu aku mendapat tawaran bekerja di luar kota. Papua! Tawaran itu datang dari salah satu penyedia jasa catering rumah sakit. Iya! Rumah sakit swasta yang juga merupakan rumah sakit rujukan covid. Sudah beberapa hari ini aku mencoba membujuk suamiku untuk memberikanku ijin.
"Jadi gimana ini, Bang?" Ini hari ketiga aku mencoba membujuknya.
Segala pertimbangan sudah aku berikan. Mulai dari tunggakan uang sekolah dua anak kami yang sudah sejak Februari lalu tak terbayar sampai kebutuhan sehari-hari yang tak juga bisa kami penuhi.
"Kau ditawarkan gaji berapa rupanya di sana?"
Kami mulai menghitung-hitung dan memperkirakan antara gaji dan resiko yang akan kami hadapi kelak.
"Kalau cuma enam juta yang bisa kau kirim ke Medan, mending nggak usah." Sanggah suamiku tegas.
"Enam juta itu bukan duit rupanya? Aku kerja di Medan pun tak pernah bisa dapat enam juta, Bang. Lalu kita nutupin kebutuhan kita pakai apa? Tunggakan uang sekolah aja sudah sejak Februari. Dua bulan lagi mesti bayar kontrakkan rumah pake apa?"
"Ya lihat nanti aja. Jangan seperti tak punya Tuhan."
Kondisi keuangan rumah tanggaku semakin memburuk sejak aku resmi tak bekerja. Suamiku yang hanya seorang freelancer, sejak dulu penghasilannya memang tak menetap. Darinya, aku biasa menerima tiga puluh sampai lima puluh ribu per sekali dia kerja. Seminggu dia biasa kerja dua sampai empat kali.
Aku menepiskan ego dan rasa takutku, memberanikan diri melanjutkan tawaran pekerjaan yang masih kugantungkan itu.
"Kau takut miskin? Medan-Papua itu jauh. Apa yang ada di otakmu sampai kau berani pergi sejauh itu demi uang?" Tanya suamiku dengan nada bicara tinggi.