Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tujuh Butir Kurma dan Air Madu Hangat untuk Umi

15 April 2021   20:28 Diperbarui: 15 April 2021   20:58 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berlomba dengan laju lalu lintas sore itu, membelah padatnya lalu lintas yang dipadati masyarakat yang sedang ngabuburit. Hujan yang baru reda menyisakan sejuk sekeliling, sementara aku, remuk hingga ke batin.

"Langsung ke rumah sakit aja, Mas." Nabila meneleponku di tengah perjalanan.

Aku ikuti petunjuk Nabila dan berputar arah. Sudah dua minggu ini memang kondisi Umi sungguh tidak baik. Dua minggu lalu, Umi dirawat di rumah sakit karena penyakit lambungnya yang sudah sangat akut. Kami hanya bisa bergantung pada BPJS untuk pengobatan Umi. Tiga hari di rawat, dokter mengijinkan Umi untuk pulang. Sekarang Umi harus kembali ke rumah sakit ini lagi karena sakit yang sama.

Aku sisir lorong rumah sakit dengan hancurnya perasaanku. Perempuan yang sudah melahirkan kami, membesarkan dan merawat kami dengan penuh cita itu sedang tidak baik-baik saja. Entah sehebat apa rasa sakit yang sedang disembunyikannya dari kami. Tubuhnya bahkan sudah sangat renta, masih harus menahan sakit sehebat ini.

"Gimana kondisi Umi, Bil?"

"Kita ngobrol di luar ya, Mas. Umi baru tidur."

Aku tahu, pada setiap yang bernyawa, hanyalah Allah yang berhak menghentikan detak jantungnya. Setinggi apa pun pemahananku tentang hal itu, tetap saja aku tak pernah siap melihat Umi-ku kesakitan. Bahkan sampai diumurku yang sekarang, aku masih belum menyiapkan hatiku untuk kehilangan Umi.

"Hasil endoskopi Umi ndak bagus, Mas. Dokter bilang Umi perlu biopsy buat pastiin sel kanker yang ada di lambung Umi." Nabila menjelaskan kondisi Umi sambil menahan tangisnya.

Ya Allah, bolehkah aku tukar sakit Umi dengan sehatku? Tolong jangan biarkan surgaku menderita. Tak ada keindahan yang lebih teramat di dunia ini selain melihat sinar cinta yang selalu terpancar dari matanya. Tak ada damai di dunia ini melebihi damainya ketika melihat Umi tersenyum.

"Bil..... Mas-mu sudah pulang?" Suara lemah Umi sampai ketelinga kami dibawa angin.

Kami bergegas menemui Umi. Sudah hampir waktu berbuka puasa. Di kondisinya yang sangat lemah, Umi tak patah untuk tetap menjalakan ibadahnya.

Aku menyiapkan air putih hangat untuk Umi. Dokter bilang, dikondisi Umi yang seperti ini, tak ada minuman yang lebih baik selain air putih hangat. Menaikkan salah satu sisi tempat tidur Umi, merapikan posisi sandaran Umi. Kami berdzikir sambil menunggu Adzan Magrib.

Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa'ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar roohimin. Amin

Aku dan Nabila berbuka dengan  segelas teh madu hangat sementara Umi hanya dengan segelas air putih hangat. Setelah berbuka dengan segelas air, Umi bertayamum menyucikan tubuh dan bersiap sholat. Tak sekali pun sejak aku lahir aku melihat Umi meninggalkan ketaatannya. Abi benar-benar membawa Umi menjadi perempuan yang luar biasa, mewariskan iman yang mendarahdaging.

Aku menunda makanku demi bisa menyuapi Umi makan. Kupandang-pandangi wajah Umi. Raut wajahnya seolah sudah memberikanku salam perpisahan. Umi terlihat bercahaya, wajahnya begitu bersih dan cantik sekali pun keriput sudah bergelayutan diseluruh tubuhya. Hatiku remuk. Bisakah aku bernegosiasi dengan Sang Maha pemilik nyawa? Bisakah menukar seluruh umurku agar Umiku bisa hidup lebih lama? Sungguh aku tak pernah ingin kehilangan lagi.

"Besok kamu libur ndak, Il?" Suara Umi sungguh lemah. Semakin aku dengar suara lemah Umi, hatiku rasanya makin teriris.

"Besok kamu bisa temenin Umi dulu ndak, Il?" Sambung Umi.

"Iya, Mi. Ismail besok di sini nemenin Umi, ya." Aku meraih tangan Umi.

Entah bagaimana aku menjelaskan pada Nabila dan Umi kalau aku sudah hampir sebulan ini tidak lagi bekerja. Aku bahkan harus meminjam akun ojek online temanku demi bisa mencari uang masuk setiap hari sambil menunggu panggilan kerja lainnya. Untung saja Amin berbaik hati untuk meminjamkan akunnya. Aku bisa narik ojol di jam kerjanya.

"Il, sahur nanti, Umi mau kurma, ya." Entah kenapa, permintaan Umi ini rasanya terdengar seperti permintaan terkahirnya.

"Iya, Mi. Tujuh butir kurma, kan.  Tapi air madunya yang hangat aja ya, Mi. Umi kan ndak boleh minum air dingin." Aku teringat Abi. Tujuh butir kurma dan air madu dingin adalah menu sarapan wajib Abi setiap hari.

Kualihkan pandanganku ke kotak kurma kosong di atas meja di tepi tempat tidur Umi. Hari ini orderanku sepi, aku bahkan harus nombok untuk mengisi bensin.

"Mas, tadi temen-temen kerja Mas besuk Umi. Mas kenapa ndak bilang?" Nabila akhirnya tau.

"Kamu fokus aja jaga Umi, ya. Insyaallah semua bakal baik-baik aja." Elakku singkat

"Aku pamit tarawih di Masjid. Kamu jaga Umi, ya." Sambungku.

Aku mondar mandir di depan warung di seberang rumah sakit. Gerimis yang turun kembali, dan dibatasinya pengunjung rumah sakit membuat daerah ini agak sepi. Ada tumpukan roti dan  kurma kering di atas rak, terpanjang menggungung. Aku ingat Umi. Tapi uang di dompetku hanya tinggal dua puluh ribu.

Kuamati sekitarku. Kuberanikan diriku melakukan kesalahan ini untuk pertama kalinya dihidupku. Dan demi Allah, ini juga akan jadi yang terakhir. Setelah aku yakin aman, secepat kilat kusambar sekotak kurma dari warung itu. Sungguh begitu besar rasa bersalahku jika harus memberi Umi makan dari hasil yang tak baik ini. Tapi jika memang harus menanggung kesalahan ini dengan neraka, aku tak apa. Kugadaikan surga akhiratku demi permintaan Umi. Demi memenuhi keinginan Umi.

Kupandangi wajah Umi yang semakin lemah. Tujuh butir kurma dan madu hangat yang kusiapkan, dengan lahap disantapnya. Aku duduk di samping tempat tidur Umi sambil berdzikir. Aku melihat Abi berdiri di ujung temat tidur Umi. Datang untuk menjemput cintanya agar tak tersesat menuju firdaus. Wajah Umi kian bercahaya. Senyum Umi begitu manis. Mereka sudah begitu lama saling merindu.

"Mas, aku panggil suster atau dokter, ya." Tangis Nabila mulai pecah.

"Nggak usah, Bil." Jawabku menahan tangis.

Aku mendekat pada Umi. Bertanya padanya apa yang ingin dia sampaikan pada kami.

"Jaga adikmu." Pesan Umi dengan napas berat.

"Dan jangan pernah mencuri lagi. Dengan alasan apa pun. Nanti, pergilah akui kesalahanmu."

Umi mencabik-cabik hatiku dengan kata-kata yang disampaikannya sambil tersenyum.

Aku menuntun Umi mengucapkan laa ilaha illaaallah.

Pulanglah Umi. Abi sudah menjemputmu untuk membawamu ke surga. Cintamu pada kami sudah membuatmu begitu kuat.Jika kau lelah, tidurlah. 

Fatimah Zahratunnisa. Kudukakan nama yang tertulis di atas nisan itu.

***

Aku mendatangi warung itu. Tempat dimana aku menggadaikan akhiratku demi Umi. Kutemui pemilik warung tersebut, mengakui apa yang sudah aku lakukan. Aku mengakuinya bukan hanya karena amanah Umi. Terlebih karena aku tak ingin Umi-ku disiksa di akhirat karena gagal menuntunku melakukan yang baik di dunia ini.

Fatimah Zahratunnisa....

Jatuh cinta pertamaku. Semoga nakalku tak menjadi sumber siksa kuburmu. Ramadhan ini kita berpisah. Insyaallah, satu Ramadhan kelak, kita bertemu di firdaus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun