"Mas, tadi temen-temen kerja Mas besuk Umi. Mas kenapa ndak bilang?" Nabila akhirnya tau.
"Kamu fokus aja jaga Umi, ya. Insyaallah semua bakal baik-baik aja." Elakku singkat
"Aku pamit tarawih di Masjid. Kamu jaga Umi, ya." Sambungku.
Aku mondar mandir di depan warung di seberang rumah sakit. Gerimis yang turun kembali, dan dibatasinya pengunjung rumah sakit membuat daerah ini agak sepi. Ada tumpukan roti dan  kurma kering di atas rak, terpanjang menggungung. Aku ingat Umi. Tapi uang di dompetku hanya tinggal dua puluh ribu.
Kuamati sekitarku. Kuberanikan diriku melakukan kesalahan ini untuk pertama kalinya dihidupku. Dan demi Allah, ini juga akan jadi yang terakhir. Setelah aku yakin aman, secepat kilat kusambar sekotak kurma dari warung itu. Sungguh begitu besar rasa bersalahku jika harus memberi Umi makan dari hasil yang tak baik ini. Tapi jika memang harus menanggung kesalahan ini dengan neraka, aku tak apa. Kugadaikan surga akhiratku demi permintaan Umi. Demi memenuhi keinginan Umi.
Kupandangi wajah Umi yang semakin lemah. Tujuh butir kurma dan madu hangat yang kusiapkan, dengan lahap disantapnya. Aku duduk di samping tempat tidur Umi sambil berdzikir. Aku melihat Abi berdiri di ujung temat tidur Umi. Datang untuk menjemput cintanya agar tak tersesat menuju firdaus. Wajah Umi kian bercahaya. Senyum Umi begitu manis. Mereka sudah begitu lama saling merindu.
"Mas, aku panggil suster atau dokter, ya." Tangis Nabila mulai pecah.
"Nggak usah, Bil." Jawabku menahan tangis.
Aku mendekat pada Umi. Bertanya padanya apa yang ingin dia sampaikan pada kami.
"Jaga adikmu." Pesan Umi dengan napas berat.
"Dan jangan pernah mencuri lagi. Dengan alasan apa pun. Nanti, pergilah akui kesalahanmu."