Ketika sang anak mempertanyakan mengapa Golput tidak dinyatakan sebagai pemenang Pemilu padahal prosentase Golput jauh lebih tinggi dibanding prosentase perolehan suara partai peserta Pemilu, saya menyadari bahwa ada masalah logika berpikir sebagian masyarakat kita.
Saya kemudian menjelaskan pada sang anak bahwa Golput bukanlah peserta pemilu, bahwa golput adalah sebutan atau istilah bagi mereka yang tidak memanfaatkan hak pilihnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Saya jelaskan juga bahwa sebagian orang berhalangan atau dihalang-halangi untuk melaksanakan hak pilihnya pada hari pelaksanaan pemilu.
Karena perhatian saya pada logika berpikir, maka saya mencoba menjelaskan lebih lanjut mengenai logika dari proses partisipasi pemilih dalam Pemilu. Saya buat gambar sederhana di bawah ini untuk membantu penjelasan saya.
[caption id="attachment_303891" align="alignnone" width="618" caption="Alur partisipasi pemilih dalam Pemilu"][/caption]
Terdapat dua konteks proses yang dapat diukur pada gambar di atas, yaitu yang pertama adalah tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu dan kedua adalah perolehan suara masing-masing partai.
Pengukuran tingkat partisipasi pemilih akan menghasilkan prosentase pemilih yang melaksanakan hak pilihanya dan pemilih yang tidak melaksanakan hak pilihnya (golput). Pada Pemilu Legislatif 2014 yang lalu LSI memprediksi angka Golput mencapai 30% dari seluruh pemilik hak pilih, yang berarti angka non golput mencapai 70% dari seluruh pemilik hak pilih. Pada pertandingan memilih atau tidak memilih ini (boolean) Golput kalah telak.
Golput tidak disertakan dalam pengukuran proses berikutnya (perolehan partai-partai) karena golput bukanlah partai peserta pemilu. Apabila didapati suara yang tidak sah pada penghitungan, maka dianggap bahwa pemilik hak pilih tersebut memilih untuk tidak memilih alias Golput di mana angka Golput hanya valid pada proses pengukuran tingkat partisipasi masyarakat (pemilik hak pilih).
Membandingkan angka Golput dengan angka perolehan suara sebuah partai adalah tindakan yang absurd karena keduanya muncul pada konteks yang berbeda. Lucunya justru lembaga survey seperti LSI malah memunculkan opini bahwa Golput adalah pemenang Pemilu 2014, yang tentunya menyesatkan. Dua kemungkinan muncul dalam benak saya mengapa LSI berlaku demikian, yang pertama adalah mereka tidak paham konteks pengukuran hasil pemilu atau mereka paham sepenuhnya konteks penghitungan hasil pemilu namun berusaha menyesatkan masyarakat.
Balik ke tanggapan sang anak terhadap penjelasan saya.
"Lalu mengapa ada pemikiran Golput untuk mengajukan Calon Presiden?" dia bertanya sambil menunjukkan sebuah laman berita mengenai deklarasi pencalonan presiden dari Golput.
Saya tawarkan sebuah analogi sebagai jawaban. "Pada suatu lomba masak yang diikuti banyak peserta diberlakukan babak penyisihan, semi final dan final untuk menentukan pemenangnya. Sebagian peserta ternyata menolak untuk ikut penyisihan dan semi final karena alasan tertentu, dan mereka hanya mau ikut langsung di finalnya saja."