Mohon tunggu...
Vika Klaretha
Vika Klaretha Mohon Tunggu... PNS Pemkot Surakarta -

Melihat, mendengar, merenung dan belajar pada alam

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jujur dan Tuntutan Hidup Modern

30 Mei 2015   23:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali saya tertipu dengan pernyataan-pernyataan teman dan orang-orang di sekitar saya. Biasanya pernyataan yang berbeda dengan apa yg ada di hati orang tersebut (untuk menyebut 'munafik' rasanya terlalu kejam). Misalnya: seorang teman menyebut dirinya tomboi, menomor sekiankan penampilan, dan saya percaya kata-katanya. Sampai suatu ketika saya lihat dia panik ketika harus kerja bakti, merasa kulitnya sensitif dan langsung gatal-gatal, dan diikuti tidak masuk kerja akibat panik dengan kerusakan 'kecil' yg menimpa kulit mulusnya. Periksa ke dokter kulit mahal untuk sesuatu yg sesungguhnya bisa diobati dengan talc yg mengandung salicyl. Dan dia keukeuh menyataan dirinya tomboi!


Kali lain tentang orang yang biasa berdalih ketika menerima suatu pekerjaan. Alasannya bisa dari A sampai Z. Dan semuanya meyakinkan. Ditutup dengan kalimat, "Bukannya aku males loh, tapi ini kan bukan job description saya bla bla bla." Nah untungnya, saya dan teman-teman percaya statistik. Jika dalam 10 penugasan seseorang berdalih sampai 9 kali...bisalah kita katakan malas.


Seringkali saya bertanya pada lingkungan dekat saya, kenapa saya sering tertipu dengan kata-kata orang? Jawaban teman saya sungguh mengejutkan: ..karena kamu menganggap orang seperti dirimu. Mengatakan apa yang memang ada dalam hatimu. Tidak berpura-pura. Gak peduli mau dinilai buruk...


Saya rasa teman saya benar. Saya bukan orang yang mengkamuflase kelemahan saya. Ketika saya terlambat kerja misalnya, dengan terus terang saya katakan, "aaf, Bos, saya tadi terlambat bangun." Apa adanya saja. Gak peduli kalau sesudah itu kena setrap, dihukum...karena toh saya memang salah. Coba kalau saya beralasan jalanan macet, dan besok saya tanpa sengaja bercerita, "Sejak pelebaran jalan, aku ke kantor gak macet lagi."

Nah lho!


Mungkin (meski saya manusia biasa yang penuh kekurangan) karena saya menghargai nilai kejujuran. Kejujuran nilai yang selalu ditekankan dalam semua peradaban, sejak jaman bahtera Nuh, jaman Ken Dedes memimpin Dharma Wanita Singasari, jaman Rhoma Irama berkelana, sampai jaman 'edan' saat kita lihat bule korupsi (FIFA).


Apalagi di jaman modern ini, nilai kejujuran (yang melekat dengan kata 'transparansi') justru menjadi nilai yang sangat ditekankan untuk pribadi yang ingin tetap survive, apalagi ingin berhasil. Meski banyak orang pesimis dengan akhlak dan perilaku modern, teknologi telah semakin membuat manusia harus lebih jujur. Bayangkan: sekarang ada CCTV, yang bisa memantau gerak gerik seseorang. Ada social media, ada GPS; yang semuanya semakin memperkecil ruang gerak kita untuk berbohong. Bahkan saya yakin sebentar lagi ada satelit yang dapat memantau gerak kita. Akan sangat tidak lucu, jika saya, atas nama gengsi dan harga diri, menyatakan diri saya bukan penggemar jengkol. Dan sim salabim.... ada citra satelit yang menangkap kejadian saat saya sedang makan jengkol dengan lahap dan biadab!


Jadi, sebelum teknologi menjerumuskan dan memvonis saya sebagai pembohong....saya harus melatih diri untuk jujur. Tidak perlu malu mengakui kebodohan saya....


‪#PS:

ini rrenungan‬ ketika melihat dompet kosong tanggal tua. Penuh kartu yang tidak bisa digesek. Dengan jujur saya katakan ini. Hiks..

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun