Siang terik menyapa kota. Matahari baru saja menguapkan cerita tentang “saudara tua” yang menyerah di tangan pasukan sekutu. Tapi gema letusan-letusan bedil seperti masih terngiang-ngiang di gendang pendengaran. Aroma peperangan juga belum bisa sepenuhnya pergi dari penciumanku.
Siang ini aku berjalan penasaran menyusuri pinggir jalan Tunjungan. Insting dan desas desus di ujung pagi membawaku ke tempat ini.
Dari kejauhan, semakin nampak kerumunan manusia di depan sebuah gedung, hotel peninggalan Belanda yang setelah diambil alih Jepang diberi nama hotel Yamato. Aku seketika kembali mencium hawa mencekam dari sana.
“Heh, kamu!” suara itu mengejutkanku.
“Kesini sebentar.”
Aku pun menyimpangkan langkah, berjalan menuju sosok lelaki setengah baya berpeci yang duduk di atas sebuah ban bekas.
“Mau apa kamu ke sana?” tanyanya. Suaranya sedikit kasar.
“Melihat-lihat keadaan, Pak,” sahutku.
Setelah mendekat barulah lebih jelas terlihat keadaan sebenarnya bapak itu. Ternyata sebelah kakinya telah tiada, hilang dibalik celana panjang hitam yang dikenakannya. Sebuah tongkat bersandar pasrah di bahunya. Dia cacat tapi gurat-gurat wajahnya menyiratkan ketegaran dan keberanian.
“Jangan ke sana dulu. Keadaan masih genting. Kamu bisa melihat-lihat keadaan dari sini.”
Hotel Yamato kini sekitar 100 meter dari tempat kami. Pada lantai paling atas hotel itu bendera Belanda berkibar-kibar angkuh. Ternyata desas-desus itu benar adanya. Pada pintu hotel nampak beberapa serdadu Jepang sedang berjaga-jaga. Walaupun aku yakin kalau arek-arek penuh amarah itu menyerbu masuk, mereka tidak bisa berbuat banyak.