[caption caption="Ilustrasi gambar dari: writosophy.com"][/caption]
Kita sampai di tempat terakhir untuk memandang jiwa-jiwa rehat sejenak, melepas penat duniawi yang dipanggul berjam-jam tanpa boleh lelah.
sejenak saja….
Segala topeng dilepas sudah, biarkan malam mencumbu setiap jiwa yang telanjang, membawanya menari-nari di atas bulan purnama.
_____
Puisi di atas adalah penggalan puisi berjudul “Ujung Malam” yang saya publish kurang lebih setahun lalu. Sengaja dipajang di awal tulisan karena “proses produksi” puisi ini berkaitan dengan tulisan saya selanjutnya.
Seingat saya saat menulis puisi ini saya baru saja menyelesaikan tugas kantor yang saya bawa pulang ke rumah. Waktu itu malam sudah terlewati separuhnya. Rasa letih, penat dan kantuk campur aduk jadi satu. Saat mengetik kata demi kata, saya pun mesti berjuang setengah mati menjaga mata saya tetap terbuka. Tidak ada kiat-kiat khusus untuk menulis saat itu. Saya membiarkan kata-kata mengalir dengan alami, lalu saya membaca ulang dari awal untuk mengedit ejaan dan beberapa perbaikan diksi.
Setelah itu puisi saya publish dengan sukses di kanal Fiksiana.
Saat bangun pagi beberapa jam kemudian, saya lihat puisi ini sudah disundul jadi headline article oleh admin. Selama menulis di K, puisi saya belum pernah headline jadi senang sekali rasanya saat itu.
Saya kurang pandai menulis puisi, beda dengan beberapa kawan fiksianer yang lain. Tapi sepakat dengan satu hal bahwa emosi adalah komposisi terbesar dari sebuah puisi.