Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PR Besar Bernama Toleransi

17 Juli 2015   22:12 Diperbarui: 17 Juli 2015   22:12 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari raya Idul Fitri yang mestinya berlangsung khidmat dan penuh kegembiraan dinodai oleh aksi yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab. Pagi tadi saat warga muslim sedang melaksanakan Sholat Ied di Kabupaten Tolikara Papua, terjadi insiden amuk massa dan pembakaran Mushola oleh segelintir massa. Petugas gabungan dari Brimob dan Yonif 756 sampai mengeluarkan tembakan peringatan untuk membubarkan massa. Kendati demikian sebagian jemaah membubarkan diri dan berlindung ke Koramil setempat untuk menghindar dari amuk massa.

Peristiwa ini langung mendapat sorotan dari berbagai pihak. Para tokoh dan organisasi Islam mengecam keras peristiwa tersebut. KWI dan PGI juga mengambil sikap yang sama dengan mengatakan kalau pembakaran Mushola tersebut sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai Kristiani serta meminta aparat untuk menindak tegas siapapun yang terlibat dan bersalah. Komentar para netizen pada portal berita puntidak kalah kerasnya. Bahkan ada satu dua komentar yang mulai miring menyerempetkan masalah ini kepada masalah Kristen versus Islam. Untunglah para pemimpin kita bertindak bijak dan cepat dengan meminta masyarakat untuk menahan diri dan dan tidak cepat terprovokasi.

Peristiwa kelam ini langsung menjadi fokus penyelidikan pihak yang berwenang. Polda Papua masih mendalami penyebab terjadinya amuk massa yang berujung pada pembakaran tersebut. Sampai saat ini belum ada rilis resmi dari pihak kepolisian. Namun pihak Kepolisian sejauh ini telah mengambil langkah-langkah strategis termasuk melakukan pendekatan kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mencari sebab sekaligus jalan keluar dari permasalahan ini.

Apapun alasannya, peristiwa ini sekali lagi membuktikan bahwa memasyarakatkan toleransi antar umat beragama masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Tidak berhenti hanya pada retorika, gimmick atau sekedar teori dalam kurikulum, toleransi ini mesti menyentuh dan dihayati sampai ke tingkat akar rumput masyarakat kita. Pada tataran pemimpin keagamaan, bisa saja toleransi ini dibangun melalui kegiatan yang bersifat dialogis dan akademis. Namun pada tataran masyarakat akar rumput, toleransi harus dibangun lebih implementatif dalam bentuk kegiatan yang lebih konkrit. Misalnya gotong royong membersihkan kompleks atau kegiatan-kegiatan karitatif seperti bekerja sama menyelenggarakan baksos dan lain-lain.

Seperti yang dicontohkan oleh kawan-kawan kita di Malang. Beberapa tahun terakhir ini jemaah yang mengikuti Sholat Ied di Masjid Agung Jami Malang mencapai ribuan orang, sampai pelataran Masjid pun tidak memadai lagi untuk ditempati jemaah. Tetangga masjid Agung Jami, gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus dengan gembira membuka diri dengan menyediakan pelataran di kompleks gereja untuk menampung jemaah yang tidak kebagian tempat. Pengurus gereja mengatakan hal ini sudah menjadi agenda tahunan. Setiap hari Lebaran tiba, mereka juga ikut bersiap-siap. Bangun subuh untuk membuka gerbang kompleks gereja bagi warga yang akan melaksanakan Sholat Ied di halaman gereja dan membersihkan sisa-sisa koran yang digunakan oleh jemaah begitu Sholat Ied selesai. Bahkan tahun lalu, saat hari pertama Lebaran bertepatan dengan hari Minggu, ibadat di gereja sempat ditunda beberapa waktu untuk memberikan kesempatan kepada jemaah yang hendak menuntaskan sholad Ied mereka. Ini adalah berita yang menyejukkan bagi kita.

 Mestinya seiring perbaikan kualitas pendidikan di tanah air, masalah-masalah intoleransi yang berujung pada perusakan tidak terjadi lagi. Pemicu pembakaran Mushola ini pasti adalah masalah person to person atau people to people. Mestinya ini yang dicari jalan keluarnya. Penyerangan benda mati seperti simbol atau infranstruktur yang tidak terlibat langsung adalah tanda masih dangkalnya pemahaman pelaku mengenai norma-norma kemasyarakatan. Bahkan kalau boleh sedikit satire, menjadikan bangunan fisik sebagi sasaran emosi adalah perbuatan orang-orang yang kurang berpendidikan atau kejiwaannya labil. Kemungkinan kedua, jika pelaku “orang berpendidikan” maka tujuannya hanya satu, memecah belah persatuan di tengah masyarakat. (PG)

 

Referensi:

nasional.kompas.com

regional.kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun