Dua hari lalu, dinding facebook saya nampak semarak. Salah satu kawan kantor baru saja menerima anugerah kelahiran putra pertamanya. Ucapan syukurnya dinyatakan lewat status di facebook. Ucapan selamat pun berdatangan, sehingga beberapa waktu lamanya posting-an tersebut selalu nangkring di tempat teratas.
Pada waktu yang hampir bersamaan salah satu kawan, teman kelas SLTP dulu, mendapat musibah. Ibundanya yang telah lama sakit akhirnya dipanggil Sang Khalik. Posting status berisi berita duka itu juga cukup lama nangkring di tempat teratas karena cukup banyak yang memberi ucapan belasungkawa.
Kemarin, saat menghadiri doa penghiburan duka di rumah salah satu warga lingkungan kami, pemimpin doa seorang pendeta, mengawali renungannya dengan pertanyaan: “Apa tujuan hidup kita?”
Pertanyaan itu meresap menyentuh lubuk hati yang paling dalam. Peristiwa dukacita dan sukacita dari orang-orang dekat yang baru saja terjadi menambah dalam pertanyaan reflektif tersebut.
Siklus Kehidupan
Setiap kehidupan memiliki sebuah kelahiran dan kematian, awal dan akhir, alfa dan omega. Kelahiran adalah titik mula dari sebuah perjalanan panjang menuju titik henti yang kita sebut kematian. Kedua peristiwa ini sudah jadi takdir yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Setiap dari kita pasti memiliki suratan takdir tersebut.
Namun yang membuat setiap dari kita berbeda, adalah cara memaknai kehidupan kita. Ada orang yang memaknai kehidupannya sebagai sebuah perjuangan berat, ada pula yang memaknai kehidupannya sebagai sebuah jalan yang menyenangkan. Ada yang memaknai kehidupan dengan penuh syukur, ada pula yang menganggap kehidupannya sebagai rentetan musibah. Anda pun mungkin punya pandangan tersendiri mengenai kehidupan anda.
Dari cara kita memaknai kehidupan ini muncullah jawaban dari pertanyaan: Apa tujuan hidup kita?
Jawaban pertanyaan ini kemudian sangat relatif. Setiap orang akan memiliki jawaban yang berbeda-beda. Namun orang-orang yang memaknai kehidupannya dengan rasa syukur pada umumnya akan berprinsip, rasanya sayang jika kehidupan yang telah dititipkan Tuhan ini kita lewatkan begitu saja. Maka mulailah kita membangun nilai-nilai dalam diri kita dan berupaya agar kehidupan kita mendatangkan manfaat bagi orang-orang di sekitar kita. Syukur-syukur kalau dalam hidup ini, kita juga bisa berbuat sesuatu yang lebih besar untuk masyarakat atau komunitas kita.
Tujuan Hidup Seorang Penulis
Permenungan tersebut mendaratkan saya pada aktivitas yang selama ini saya dan rekan-rekan pembaca sekalian geluti. Ada rasa syukur tersendiri bisa bergabung di dalam komunitas besar bernama Kompasiana ini. Di sini kita bisa berbagi keprihatinan dan harapan secara fair melalui tulisan demi tulisan.