Inilah balada yang ditiupkan dari antara kaki metropolitan, tiap kali senja membangunkan geliat ekonomi akar rumput
tentang pembeli
tentang pedagang
tentang recehan dan uang lembaran yang berputar dari dompet, tangan, saku dan kembali ke dompet.
.
Lalu lalang kaki-kaki mencipratkan becek dan tanah ke kaki lapak-lapak. Riuh rendah adu harga berbaur dengan deru mesin pemarut kelapa,
gurih terigu dan mentega bercampur karbon monoksida
lalu ada potongan-potongan senyum, pertanda transaksi telah di-closing dan pembeli pun pergi dengan hati senang.
.
Tak semua pedagang menanti,
bocah penjaja jalangkote gesit merobos kaki-kaki pembeli, mencoba peruntungan di lorong bau laut, di antara ikan merah, ikan mairo, udang dan kepiting.
Buruh pikul berkeringat duduk menatang semilir, tak peduli juragan beras marah-marah karena orderan tiba terlambat.
.
“Seikat, dua ribu, tiga ikat lima ribu,”
emak menggoda dengan pricing strategy dari belakang tumpukan bayam dan kangkung.
.
Inilah derap rupiah parade para jelata.
Sungguh alami, hampir tak tersentuh depresiasi
hempasan badai moneter global pun hanya terdengar sayup dari bawah sini
Seperti kakek penjual singkong yang tetap tersenyum, tak peduli di atas sana investor sedang wait and see atau terkena panik akut
.
Lantas lampu-lampu neon dinyalakan mengiringi malam yang mulai melebarkan sayap.
Pasar pun bertambah semarak, bak perawan di relung metropolitan yang sedang menyapukan bedak di pipi dan gincu di bibirnya.
________________________
ilustrasi gambar: dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H