Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila dan Dunia Maya Kita

2 Juni 2017   21:50 Diperbarui: 2 Juni 2017   22:22 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peringatan hari lahir Pancasila menjadi istimewa karena begitu aktual di tengah situasi negara dan bangsa kita saat ini. Akhir-akhir ini keutuhan dan integrasi bangsa diuji oleh berbagai masalah dan isu-isu sosial politik. Ujian ini diperberat lagi oleh upaya segelintir orang yang terus mengusik dan ingin mengganti Pancasila dengan ideologi yang lain.

Orang-orang ini boleh saja berpikir Pancasila bukan dasar negara yang terbaik, tapi mengganti Pancasila dengan yang lain taruhannya terlalu tinggi. Sejarah puluhan tahun telah membuktikan Pancasila cukup teruji sebagai dasar berbangsa dan bernegara di tanah air tercinta ini. Selama ini Pancasila mampu menjadi perekat bangsa yang sangat majemuk baik suku, agama dan pandangan politik.

Belakangan ini penghayatan kita terhadap Bhineka Tunggal Ika kembali teruji. Atmosfer perseteruan ini mulai terasa khususnya di dunia maya, terutama menjelang Pilgub DKI yang baru saja selesai.  Setelah perhelatan tersebut tuntas, mestinya tensi mereda. Tapi nyatanya saling tuduh dan saling benci tetap saja terjadi. Pihak-pihak yang berseberangan masih saja bertikai dan saling menyerang satu sama lain melalui opini yang wajar sampai saling bully dan caci maki.

Prihatin dan sedih melihat fenomena ini. Kita mesti aware karena biasanya di tengah-tengah permusuhan, ada orang-orang tertentu yang ingin menunggangi dan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri.  Lagi pula upaya memecah belah persatuan dan kesatuan belum tentu hanya ulah sesama anak bangsa. Jika antara kita sendiri saling menjatuhkan dan menyerang, maka ancaman dari luar akan lebih mudah masuk dan lebih mudah merusak integritas bangsa.

Melihat konstelasi dan dinamika dunia maya selama ini saya mengambil kesimpulan sebenarnya ada dua hal yang membuat konflik berpotensi semakin tajam dan semakin luas. Dua masalah tersebut terlihat sepele, tapi dua hal ini bisa menjadi pintu masuk bagi orang-orang memiliki kepentingan dengan merebaknya kebencian di dunia maya.

  • Over generalisasi atau generalisasi berlebihan. Orang-orang tertentu kerap memainkan strategi ini untuk framing, menyudutkan pihak lain atau mencari pendukung sebanyak-banyaknya. Misalnya pada saat kampanye Pilgub DKI lalu, ada yang mengecap orang-orang yang pro Ahok otomatis pro Kebhinekaan dan sebaliknya. Ini kan generalisasi karena Ahok adalah calon gubernur yang bisa dipilih atau tidak. Ada yang tidak memilih dia kembali karena kecewa dengan kebijakan-kebijakan selama kepemimpinannya. Tapi pilihan itu tidak lantas menjadi justifikasi kalau yang bersangkutan tidak berpihak pada kebhinekaan. Atau misalnya yang saat ini sedang hangat-hangatnya terkait kasus Habib Rizieq Shihab. Para pendukungnya menuding kalau pemerintah sedang melakukan kriminalisasi ulama dan Presiden kita anti Islam. Padahal terjeratnya satu dua orang ulama tidak bisa serta merta kita jadikan sebuah kesimpulan umum kalau Jokowi memusuhi agama sendiri apalagi mengkriminalisasikan ulama. Jadi generalisasi berlebihan ini sangat berpotensi mempertajam dan memperluas perselisihan sehingga kita mesti lebih hati-hati menanggapi sebuah topik. Jangan mudah menggeneralisasi atau mudah ikut-ikutan dalam pemikiran yang salah.
  • Mudah Percaya Hoax. Hoax sejak awal memang menjadi masalah yang tidak pernah kelar di dunia maya kita. Literasi kita masih rendah, namun menjadi bangsa pengguna sosial media yang besar. Akibatnya? Jempol kita cenderung bergerak lebih cepat daripada rasio kita. Berita-berita yang tidak valid sangat mudah ditemukan di dunia maya, karena selalu ada yang melahap dan membagikan berita-berita tersebut. Masyarakat cenderung memilih berita yang memuaskan keinginannya dan idealismenya tanpa mau bersusah payah mencari referensi dari berita lain atau melihat versi lain berita tersebut. Budaya riset di dunia maya yang rendah ini membuat portal-portal penyedia berita palsu dan akun-akun penebar berita bohong terus bertumbuh karena selalu menemukan audiensnya. Padahal jika saja pengguna sosial media mau menelisik kebenaran berita sebelum menanggapi atau membagikannya, sosial media kita menjadi tempat yang aman untuk pencari dan sumber informasi.

Mudah-mudahan peringatan hari lahirnya Pancasila menjadi momentum untuk kembali merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan dan kerukunan di tengah-tengah masyarakat kita yang sangat bhineka. Kita bisa mulai dengan menjaga setiap status dan postingan kita di media sosial, jangan sampai karena ketidakpahaman kita jadi ikut-ikutan menjadi penebar kebencian dan permusuhan. (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun