Pacarku bermata biru, turunan dari ibunya, seorang Belgia. Darahnya berwarna biru. Keturunan ningrat dari bapaknya, seorang pengusaha dari Jogjakarta. Hatinya juga berwarna biru. Kalau itu mungkin pantulan dari hatiku. Kata nenek peramal di pasar malam kemarin, kami adalah soulmate karena warna hati kami sama. Biru.
Sendalnya berwarna biru, meringkuk pasrah di balkon kamarku. Tadi malam cewek tomboy itu kabur dari rumahnya dan nekat menginap di kamarku.
Omega pernah meminta mata biru itu, tapi aku menolaknya. Omega hanya tertawa, tapi aku tahu dia marah. Dia juga pernah bilang ingin mencicipi darah pacarku. Dia terus meminta tapi aku mengancam akan membakar meja belajarku jika dia terus mengulang permintaanya.
Tadi malam aku lupa memasukkan Omega dalam laci meja, rumah favoritnya selama 84 tahun ini.
Sekembalinya dari dapur, aku menemukan Omega tunduk menyesal.
“Kamu sudah dibohongi, Andrew. Darah pacarmu ternyata bukan berwarna biru,” ucapnya. Ada cairan merah kental menetes dari ujung taringnya. “Hatinya juga bukan berwarna biru. Kalau itu… nenek peramal yang berbohong.”
Dinding kamarku kini penuh corak merah kehitaman, padahal tadinya berwarna putih bersih. Aku tidak bisa marah, benci atau meluapkan emosi lainnya. Omega selalu bisa mencegahnya.
Omega itu nama vampire mungil berwarna biru, sahabatku.
Lain kali aku akan mencari pacar bermata abu-abu.
----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H