[caption caption="Ilustrasi gambar dari: dokumentasi Fiksiana Community"][/caption]
Â
No. 52. Pical Gadi
-----
Dear Diary,
Air Conditioner sudah disetel kencang tapi peluh masih saja membanjiri kening dan leher istriku. Aku juga sepertinya merasa kepanasan, sekaligus merinding ngeri, mendengar jeritan demi jeritan sang istri di atas pembaringan. Baru kali ini aku melihat manusia bergulat dengan rasa sakit yang luar biasa seperti itu. Aku yang memandangnya saja hampir tak tahan lagi, bagaimana dengan dia, Dear Diary?
Jarum jam dinding di ruang bersalin juga seperti tidak mau pergi jauh-jauh dari angka sepuluh. Padahal sejak check- in siang tadi, rasanya sudah puluhan jam kami habiskan di ruangan ini, menyisakan botol-botol air mineral yang kosong dan setengah kosong, dan rupa-rupa roti untuk pengganjal perut.
Tidak terpikirkan sama sekali untuk mencari makan malam nasi plus lauk pauk seperti biasa, karena pikiran saat ini dipenuhi wajah kesakitan perempuan yang aku cintai, perempuan calon ibu anakku.
Ibu mertua yang juga hadir memang tidak berhenti memberi kata-kata penyemangat sejak tadi, tapi sepertinya tidak kunjung meluruhkan kepedihan yang mendekati titik nadir itu.
Saat seseorang menderita, selalu ada yang bisa disalahkan. Begitu pula saat seseorang kesakitan. Tetapi sayang, kali ini tidak. Tidak ada orang yang bisa dituding, dihardik dan disumpahi untuk melepaskan emosi yang terkurung di ubun-ubun.
Jadi untuk menghibur diri, aku akan menyumpahi tablet seukuran kuku yang tadi dibawa masuk oleh bidan yang bertugas. Setelah tablet itu berpindah ke rahim istriku, dimulailah jam-jam penuh rasa sakit itu.