Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendekatkan yang Jauh, Menjauhkan yang Dekat

7 September 2014   00:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:25 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14099979881486293465

Anekdot tersebut sudah lumrah kita dengar. Anekdot itu bermaksud menggambarkan bagaimana pengaruh perkembangan teknologi informasi dalam membentuk wajah sosial budaya masyarakat kita. Beragam inovasi yang ditawarkan para penyedia teknologi informasi makin memampatkan dimensi ruang dan waktu masyarakat pada skala global. Dalam sekejab orang-orang yang terpisah ribuan kilometer akhirnya dapat “bertemu” secara real time melalui media komunikasi.

Memang pada awalnya teknologi komunikasi bergerak pada paket terpisah. Dulu pada masa-masa perang dunia kita mengenal telegram sebagai media untuk mengirim pesan teks. Lalu kemudian kita mengenal pager pada generasi yang baru saja kita lewati. Untuk komunikasi suara, awalnya kita menggunakan telepon yang sifatnya fixed lalu berkembang menjadi telepon bergerak.

Namun belakangan ini teknolongi komunikasi sudah mampu menyajikan paket yang lebih komprehensif. Teknologi multimedia mampu menyatukan semua paket komunikasi yang pada awalnya terpisah-pisah, sehingga pesan yang disampaikan jauh lebih hidup. Bahkan dengan perkembangan teknologi penumpangan sinyal, wajah dan suara orang yang kita ajak berkomunikasi ribuan kilometer jauhnya jadi terasa tepat ada di depan kita.

Namun seperti pisau bermata dua, perkembangan teknologi ini ternyata membawa dampak lain bagi kita. Belakangan ini vendor aplikasi sosial media semakin gencar menyasar masyarakat. Dulu hanya gadget high end saja yang bisa digunakan untuk bersosmed ria. Namun belakangan ini, pengguna middle end pun sudah bisa menikmati layanan berbagai aplikasi sosmed dengan mengeluarkan beberapa rupiah saja. Dampaknya, setiap orang semakin tenggelam dengan gadget-nya masing-masing untuk bersosialisasi dengan orang lain nun jauh disana. Kompasianer Majawati Oen yang artikelnya naik ke kolom Headline siang ini, secara khusus juga menyoroti salah satu dampak negatif dari penggunaan gadget ini.

Di saat yang sama mereka tanpa sadar semakin jauh dengan orang-orang terdekat, atau orang-orang yang ada di dekatnya. Seringkali orang yang bertemu langsung dengan kita pun kita abaikan hanya untuk menjawab telepon dari seseorang. Atau saat sedang berbincang dengan seseorang kita tidak terlalu memperhatikan topik pembicaraan karena asyik membalas chat demi chat yang masuk ke gadget kita.

Kemarin siang (5/9) saya bersama istri pergi ke salah satu rumah sakit untuk kontrol rutin kehamilan istri. Dokter yang menangani memberikan rekomendasi untuk pemeriksaan darah di laboratorium rumah sakit. Di depan ruang laboratorium ada antrian beberapa ibu dengan keperluan serupa. Semua nampak sibuk dengan gadget masing-masing. Saya sendiri bersama istri duduk di sisi yang berlawanan sehingga iseng-iseng saya menjepret aktivitas mereka.

[caption id="attachment_357624" align="alignnone" width="601" caption="Tenggelam dalam gadget masing-masing (Dokpri)"][/caption]

Saya jadi nostalgia. Jauh hari sebelum orang-orang mengenal telepon genggam, saat terjebak pada antrian seperti ini orang-orang lebih suka menghabiskan waktu dengan mengobrol satu sama lain. Mereka memperbincangkan apa saja, mulai dari keadaan politik terkini, sampai curhat masalah pribadi masing-masing. Tapi kini pemendangan seperti itu sudah jarang terlihat. Orang lebih memilih tenggelam dalam dunia mayanya masing-masing.

Kembali ke laboratorium, saat seorang ibu mendorong kursi roda yang diduduki anaknya lelakinya hendak keluar dari ruangan laboratorium, ibu itu terlihat kesulitan karena pintu lab adalah pintu otomatis (pneumatik). Dua kali dia kelihatan dia mencoba membuka pintu namun begitu kembali ke belakang kursi roda, pintu tertutup kembali. Ibu-ibu ber-gadget yang mengantri di dekat pintu lab kelihatan adem-adem saja. Entah enggan beranjak dari tempat duduknya, atau sama sekali tidak menyadari kesulitan ibu yang keluar dari dalam itu. Akhirnya saya pun beranjak dari kursi dan membantu ibu pasien ini menahan pintu agar dia bisa membawa anaknya keluar dengan leluasa.

Itu hanya salah satu contoh saja, bagaimana manusia sekarang cenderung lebih akrab dengan benda mati sehingga kurang ngeh dengan keadaan disekitarnya. Mungkin karena saat memperlakukan gadget kita tidak membutuhkan norma-norma seperti saat kita berelasi dengan manusia lainnya. Atau jika gadget ngadat karena kesalahan kita, gadgenya bisa di-reset, install atau unistal. Sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan jika berbuat kesahan kepada orang lain.

Dear kompasianer, kita pun adalah pengguna teknologi komunikasi yang dikemas dalam bentuk komunitas sosial dunia maya bernama Kompasiana ini. Mudah-mudahan eksistensi kita di rumah maya ini tidak membuat relasi kita merenggang dengan orang-orang yang menyayangi kita di rumah nyata kita. Mari kita jadi pengingat untuk anak, adik atau siapapun di sekitar kita yang cenderung menunjukkan sikap lebih akrab dengan mainan teknologi itu dibanding akrab dengan manusia lainnya. Jika generasi kita tidak mawas diri, suatu saat akan lahir generasi antisosial yang justru jauh lebih berbahaya dampaknya. (PG)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun