Hari hampir beranjak jadi malam di bibir pantai Akarena. Air laut sedang menjauh ke samudera, meninggalkan hamparan pasir basah berwarna tembaga ditempa matahari senja. Nadine berjalan lambat, membiarkan kaki telanjangnya bersentuhan dengan pasir, lubang kepiting dan serpihan waktu.
HP-nya berbunyi. Sekali pandang, wajah lelaki yang telah menyakiti hatinya muncul di layar. Dia rasanya ingin berteriak marah saat itu, atau paling tidak menolak panggilan itu. Tapi hari-hari kontemplasi rasanya sudah cukup menetralkan kembali emosi dan kedewasaannya. Dia harus kuat di mata Ray, jadi dia memutuskan menjawab panggilan tersebut.
“Halo,” walau dengan intonasi sedingin kutub utara.
Percakapan pun terjadi. Awalnya berlangsung flat, lalu nada Nadine dan lelaki itu meninggi. Nadine menahan dirinya supaya tidak memaki. Dia lalu terdiam lama, sebelum lelaki itu memanggil-manggil
“Lupakan saja saya, Ray. Saya sudah mau menikah!” Nadine melanjutkan tuturnya dengan nada yang sudah mulai melunak.
“Hah?! Kita baru putus dua minggu, lalu kamu sudah mau menikah? Luar biasa!” terdengar suara penuh amarah dari speaker HP.
“Saya sudah dilamar lama sebenarnya. Hanya selama ini saya berusaha mempertahankan hubungan kita…”
“Siapa namanya?”
“Siapa?”
“Siapa nama laki-laki itu?”
“Widodo…”